Monday, April 13, 2015

Pemeran Utama (BebNjuAy)

Haloha~
Ada OS baru nih, ide ini muncul dari mimpi saya. Saya mimpiin BebAy -__- combs banget mimpinya.
Pas nyeritain ke anak-anak BeShanan, katanya kek FF mimpinya.
Yaudah deh jadiin FF wae.

Mungkin, kalau dulu gak baca PDS. BebAy mungkin bakalan jadi OTP gw ahahah!
Soal judul, ini dari lagu Raisa, kata oknum D ceritanya Beby disini kek lagu pemeran utama. Wkwk
Selamat membaca~
Semoga bikin baper xDD
Pemeran Utama (BebNjuAy)



Kami bertiga bersahabat. Semenjak kecil. Tinggal di komplek perumahan yang sama, sekolah di sekolah yang sama. Tak terpisahkan. Dari yang terlihat awalnya kayak trio kwek-kwek *grup trio anak2 di Indonesia tahun 90-an* sekarang sudah jadi seperti AB Three *grup trio dewasa tahun 90-an*.
Sebenernya kita belum setua itu kok, kami masih gadis SMA yang unyu-unyu nan lucuk eh aduh apasih, ya pokoknya kita masih remaja, ABG Labil yang memang masih dalam proses pencarian jati diri. Semua seakan berjalan begitu mulus. Sampai aku merasakan sebuah rasa. Sebuah cinta terlarang yang harusnya tidak kumiliki. Sebuah rasa yang disebut ‘Cinta’ yang menodai persahabatan kami.
Munafik bila aku bilang, aku tidak merasakan cinta. Aku merasakannya. Dan tidak jauh-jauh, karena orang aku cintai adalah sahabatku sendiri. Shania Junianatha. Si gadis manis pemilik cocochip di dagunya yang selalu displin. Shania tau ini, Shania tau betapa bodohnya si gadis pecinta Mickey ini malah jatuh cinta kepadanya. Aku menangis sejadi-jadinya saat aku mengatakannya. Tidak, rasa ini tidak salah. Shania juga tidak marah. Karena itu memang hak aku. Namun, kami sepakat untuk menyembunyikan dan merahasiakan ini dari Ayana.
Iya, Ayana Shahab. Sahabat kami yang satu lagi. Si gadis blasteran Jepang-Indonesia yang hobinya tidur. Selalu menjadi bahan bully-an aku dan Shania karena kepolosannya. Entah polos, bodoh, atau pasrah, kami juga tidak mengerti. Selalu menerima keisengan yang kami lakukan. Waktu masih kecil dia pasti akan selalu menangis dan lari ke pelukan kakaknya –Sakina, Mawadah Warahmah *eh- dan akhirnya kami juga kena omel kakaknya. Tapi, ya tetap saja kami ulangi. Sampe kakaknya capek sendiri dan males. Sekarang sih, Ayana emang udah gak nangis lagi. Paling ujung-ujungnya ngambek terus tidur. Hahaha!!
Yah pada akhirnya, Ayana akhirnya tau perasaanku pada Shania. Karena memang, orang mana yang tidak akan curiga melihat sikapku pada Shania. Telihat jelas perbedaan perlakuanku pada Ayana dan Shania. Perbedaan yang juga disadari oleh Ayana yang cuek itu. Ternyata hal itu tidak menjadi sebuah masalah besar untuk persahabatan kami dan tidak mengganggu keceriaan kami.
Tapi, keceriaan itu akhirnya pudar. Semuanya berubah dari yang awalnya indah menjadi buruk saat Shania tiba-tiba pergi, menghilang dari hadapanku dan Ayana. Tanpa pamit, tanpa izin, tanpa ada sepatah dua patah katapun salam perpisahan. Hidupku hancur, menjadi begitu hampa. Jika kami bertiga diibaratkan hanya seorang manusia. Aku ini kaki, Ayana badan dan Shania adalah kepalanya, otaknya. Manusia tanpa otak itu berarti gila. Ya, dan itulah aku. Bagai raga tak berjawa. Melangkah tapi tak tau kemana. Semua jadi aneh. Shania tidak mengatakan pergi kemana. Tidak ada kontak yang bisa kami hubungi. Hanya sebuah surat yang berisi kata maaf, maaf dan maaf yang ditinggalkannya untuk kami berdua.
Kini aku dan Ayana sudah duduk di bangku kelas 3 SMA, sudah 2 tahun semenjak Shania pergi meninggalkan kami entah kemana. Kenapa dia tidak mau bilang? Dia anggap apa kami berdua? Kenapa Shania? Kenapa?!
“Beb, aku ke toilet dulu, ya.” Aku hanya mengagguk pelan. “Tungguin! Jangan pulang duluan!” Kulihat Ayana berlari dengan cepat keluar dari kelas kami.
Aku dan Ayana memang sekelas, kami juga duduk bersebalahan. Duduk di bangku paling depan. Hehe. Sebenernya Ayana sempat bete dan marah padaku karena harus duduk paling depan, dia gak bisa tidur. Biarin aja, bodo amat. Emangnya dia sekolah buat apa? Tidur? Hih! Kan buat belajar. Buat apa sekolah, kalau gak buat belajar. Ciee elah Beby bijak.
Saat aku ingin berdiri untuk menyusulnya ke toilet, kulihat ada sebuah amplop terjatuh di dekat bangku Ayana. Kuambil amplop berwarna putih itu. Ada tulisan ‘to: Beby’ untukku dong ya? Langsung saja kubuka surat itu. Gak apa-apalah, kan emang buat aku. Siapa lagi yang namanya Beby disini? Perlahan ku baca kata demi kata tulisan tangan di surat ini…

Lucuks ya :3
To: Beby CA
Aku gak tau mau mulai dari mana. Dan bagaimana nulisnya. Apa harus bilang? Atau gak?
Apa ini bener atau salah? Ahh pusing!!
Waktu Beby cerita soal Beby dan Shania, ada perih yang aku rasakan.
Ada rasa tidak suka. Aku benci, aku marah, aku kesel. Dan pada akhirnya aku menangis…
Tapi, kenapa? Apa aku merasakan hal yang sama kaya Beby ke Shania?
Awalnya aku gak yakin, gak percaya, dan gak mau. Masa sih? Tapi, itu kenyataannya…
Aku seneng setiap Beby perhatian, aku bete waktu Beby cuek dan jailin temen yang lain. Dan aku, cemburu… setiap ngeliat perlakuan Beby ke Shania yang beda dengan kelakuan Beby ke aku.
Apa ini salah? Aku sendiri juga gak tau. Waktu Beby tanya “Rasa ini gak salah kan, Ay?” Aku mesti jawab apa? Ingin rasanya aku jawab “Salah.” Atau “Masih ada aku.” Tapi siapa aku? Aku tau, mata, pikiran dan hati Beby cuman menuju satu nama. Hanya dia.
Selama ini, aku coba cuek. Mencoba mengabaikan rasa ini. Tapi, nyatanya gak bisa. Dan saat dia pergi, jujur ada sedikit rasa bahagia. Walau Beby terlihat begitu kehilangan dan membuatku sedih. Aku pikir sikap Beby ke aku bakal berubah. Nyatanya Beby malah jadi lebih perhatian padaku, apa karena aku juga yang satu-satunya perhatian pada Beby? Walau aku tau, lagi-lagi, masih namanya yang Beby sebut di setiap hembusan nafas Beby.
Aku harus bagaimana? Haruskah marah pada keadaan? Lucu, sekarang kita jadi punya pertanyaan yang sama ke Tuhan. Lucu, saat menyadari, cinta kita tidak jatuh jauh-jauh. Kenapa Tuhan memberikan ujian seperti ini pada kita? Kenapa harus dengan sebuah rasa terlarang?
Beby, maaf. Tapi, aku gak bisa bohongin diri aku. Aku cinta Beby. Hahah. :’)
Ayana S.
Aku tidak bisa berkata saat selesai membaca surat ini. Nafasku jadi tak karuan, kaget, air mata keluar dari sudut mataku. Sejak kapan? Kenapa aku tidak sadar? Apa karena aku terlalu… Shania… Ayana… Tuhan ini apa? Apa maksud-Mu?
“Beb, yuk kita pu-” Kutatap Ayana yang sedang berdiri di depan pintu dengan kagetnya.
Dia terlihat kaget melihatku yang memegangi suratnya. Dia mengecek tasnya yang ternyata tidak sepenuhnya tertutup. Raut wajahnya berubah, raut wajah yang bahkan tidak pernah kulihat selama 12 tahun kami bersahabat.
SRAG!
Surat tulisannya robek, saat dia yang menghampiriku tanpa ba-bi-bu langsung menariknya.
“Beby baca? Kenapa bisa ada di Beby?”
 “A-Ay, ini semua-”
Belum selesai bicara, dia berlalu tinggalkan aku. Kulihat butir air mata mulai menetes dari matanya yang selalu terlihat sayu itu. Reflek, aku langsung berlari, mengejarnya. Tentunya aku yang suka olahraga ini masih mampu mengejar larinya yang menurutku lambat.
“Mau kemana?” Tanyaku saat sudah berhasil menggenggam tangannya.
“Pulang.” Jawabnya singkat.
“Iya, aku tau. Tapi, kamu mau pulang sama siapa?”
“Sama…. Sama siapa aja kek! Udah lepasin ah, Beby.” Rengeknya yang tangannya masih kugenggam.
“Gak mau, udah sekarang kita pulang bareng. Kaya biasa.” Karena memang aku lebih kuat, kutarik dia menuju parkiran.
~~~
“Ayo naik.” Ucapku saat sudah menyiapkan sepedaku.
“Gak mau!”
“Ayana soal masalah di surat kamu-”
“Gak ada hubungannya!!”
“Ya, terus kenapa marah? Yaudah naik kalau gitu, udah sore nih.”
“Aku gak marah! Udah ah aku mau pulang sendiri.”
“Yaudah, sok atuh kalau mau pulang sendiri. Kenapa masih disini?”
Ayana melengos pergi berjalan tinggalkan aku. Hah. Aku menghembuskan nafasku dan mulai mengayuhkan sepedaku pelan, sangat pelan agar aku bisa mengikutinya dari belakang. Langkahnya terlihat gontai, isak tangis begitu terdengar di jalanan yang sepi ini. Apa aku juga seperti itu saat menangisi Shania?
Ayana berhenti. “Kenapa ngikutin aku sih?” Tanyanya sinis. Kulihat matanya sudah merah dan sembab. Aku harus apa?
“Rumah aku kan juga lewat sini.” Aku tidak bohong, kami kan memang tinggal satu daerah.
“Yaudah kalau gitu kamu jalan duluan aja.” Hah! Bodoh mana bisa aku meninggalkanmu.
Aku turun dari sepedaku, menghampirinya, dan memeluknya. Lagi-lagi dia merengek minta dilepaskan. Tapi, cuman ini satu-satunya cara yang aku tahu untuk menenangkannya agar tidak menangis lagi.
“Masalah tadi, kita bicarain nanti. Sekarang, kamu pulang sama aku. Aku harus ngomong apa nanti kalau Kak Sakina liat aku pulang gak sama kamu? Ayok ah.” Kulepaskan pelukanku, tangisnya mereda. “Ayo, Ayana.” Awalnya dia terlihat ragu untuk menaiki sepedaku, kutarik saja.
Kini aku kembali mengayuh sepedaku, dengan Ayana sudah duduk di belakangku. Dari dulu memang seperti ini. Berangkat dan pulang juga bersama. Shania membawa sepedanya sendiri. Ayana sebenarnya juga punya sepeda, tapi waktu dia bawa sepeda. Dia malah tidur di tengah jalan. Akhirnya karena aku gak tega, aku menawarkan diri untuk memboncenginya, eh malah keterusan dan keenakan. Akunya yang jadi berat dan ribet karena Ayana selalu tidur di jalan. Dasar tukang molor. T3T

Sama Boby?
Tapi, untuk pertama kalinya. Ayana sama sekali tidak tertidur. Saat kucoba mencuri lihat ke arahnya, Ayana menahan tangisnya dengan menggigit bibirnya sendiri. Sebegitu mengerikankah sebuah rasa yang disebut cinta ini? Merubah semuanya. Membutakan segalanya. Padahal saat kecil, kami bertiga penasaran dengan hal itu. Ternyata tidak seindah dan seenak bayangan kami dulu.
Tak lama, kami sampai di rumah Ayana. Tanpa kata dia langsung turun dan masuk ke dalam rumahnya. Hah. Akupun kembali mengayuh sepedaku untuk pulang. Setibanya di rumahku, aku langsung berjalan menuju ke kamarku. Aku langsung merebahkan tubuhku ke kasur. Rasanya malas sekali untuk mengganti baju. Masih teringat jelas di otakku, isi surat dari Ayana.
Kuambil suratnya yang sebagian ada padaku, yang kutaruh di kantung rokku. Kubaca ulang. “Aku cinta Beby.” Cinta? CINTA? Wajah Ayana yang menangis itu masih terekam jelas, seperti itukah wajahku saat menangisi rasa cintaku pada Shania? Ahh apasih Shania lagi, Shania lagi. Kenapa harus seperti ini?
“Kalian nanti mau punya pacar kayak apa?” Tanya Shania membuka obrolan diantara kami.
Saat itu, kami bertiga yang masih SMP sedang tiduran menatap cerahnya langit di atas taman, tempat favorit kami bertiga untuk menghabiskan waktu.
“Pacar? Aku gak mikirin itu.” Jawabku tidak sepenuhnya bohong, bagaimana punya pacar? Yang aku suka aja kamu Shan. Shania belum tau sih saat itu.
“Hmm…” Ayana seperti berpikir.
“Ahh, Ayana mah mana mikirin sih. Pasti yang ada di otaknya tidur doang.” Ledekku.
“Ihh apasih Beby.”
“Pasti kalau Ayana cari pacar juga yang empuk kaya kasur, ya? Biar bisa diajak bobo terus.”
“Ihh! Apasih Shania!!”
“Dih! Kamu kok ambigu gitu sih, Shan?!” Tanyaku.
“Ihh! Siapa yang ambigu? Beby aja yang pikirannya yang kemana-man. Maksud aku kan cowoknya jadi bantal gitu.”
“Ihh! Tetep aja.”
“Ihh! Yaudah kok jadi Beby sama Shania yang ribut? Siapa yang bilang aku gak mikirin soal pacar?”
“Oh, ya? Cerita dong, Ay!” Pinta Shania dengan mata berbinar.
“Rahasia! Lagian, kamisama…” Ucapnya pelan. Hening. Kami bertiga kembali larut dalam pikiran masing-masing.
Kamisama? Itu… Aku duduk di tepi ranjangku. Tunggu… kamisama yang disebutkan Ayana dulu itu… maksudnya “Kami sama, sejenis? Persamaan Gender?” Bodoh, dengan polosnya kupikir Ayana menyebut Tuhan. Jadi, sudah selama itu kah Ayana menyukaiku?
(Kamisama=Tuhan dalam bahasa Jepang)
Kuambil foto yang terpajang di atas meja kecil samping tempat tidurku. Foto kami bertiga. Apa ini semua ujian? Atau memang takdir Tuhan?
Masa bodo! Lebih baik aku tidur, rasanya aku lelah sekali. Entah hal apa yang membuatku lelah…
~~~
Hari berganti, aku dan Ayana berangkat bersama seperti biasa. Lagi-lagi, Ayana tidak tidur. Jadi aneh ngeliatnya. Dia hanya duduk terdiam memandangi jalanan sekitar. Matanya terlihat kosong. Entah apa yang dipikirkannya. Tiba-tiba aku teringat lagu Futari Nori no Jitensha, Ayana pernah bilang itu lagu favoritnya. Apa karena memang lagu itu yang menggambarkan keadaanya padaku?
Hah. Seandainya memang aku bisa membalasnya, tapi apa daya. Otak ini masih memikirkan, mata ini masih mencari dan mulut ini masih mengucapkan sebuah nama. Shania Junianatha.
“Shan.” Panggilku padanya saat kami berdua ada di beranda kamarnya, menatap indahnya langit malam yang bertabur bintang.
“Kenapa Beb?”
Kutarik dalam-dalam nafasku dan kuhembuskan perlahan. “Beby sayang Shania.” Gila! Aku rasa aku sudah gila malam itu.
“Ihh, apasih tiba-tiba?” Dia memukul pelan pundakku.
“Aku serius. Aku sayang kamu.”
“Iya, iya. Gw tau kok.”
“Gw sayang lo lebih dari sahabat Shania.” Sontak Shania menatapku dengan tatapan terkejut.
Saat itu aku siap, bila dia marah padaku. Bila dia menertawaiku. Bila dia membenciku. Aku siap dengan segala resiko yang akan aku terima setelah menyatakan perasaan terlarang ini.
Shania tersenyum manis dan menatapku dengan lembut. “Shania juga tau itu kok. Tau soal perasaan Beby yang lebih.” Deg. Hahaha. Lucu, malah aku yang terkejut. “Maaf, aku gak bisa bales. Tapi, aku gak marah sama Beby. Itu hak Beby.” Kami berpelukan. Tangiskupun pecah dalam pelukannya.
Lalu Shania pergi. Dua bulan setelah kejadian itu. Iya, menghilang. Hatiku hancar. Dan sekarang hanya aku dan Ayana disini.
Akhirnya roda depan sepedaku memasuki gerbang sekolah, tanpa basa-basi, Ayana langsung loncat turun. Meninggalkanku yang harus memarkir dulu sepedaku ini. Kamipun memulai sekolah seperti biasa. Jujur jadi aneh saat aku dan Ayana seperti orang asing. Beruntung Ayana tidak meminta tukar tempat duduk dengan yang lainnya. Diam-diam aku memperhatikan dirinya yang suka salah tingkah.
Aku tertawa kecil saat kulihat dia mengantuk di tengah pelajaran Bahasa Inggris, beruntung ini di Lab Bahasa dan kami duduk di tengah. Kubiarkan dia tertidur kali ini, kasian juga, siapa yang bakal tega? Apalagi dengan mata yang masih terlihat sembab seperti itu. Pasti dia menangis. Kuusap kepalanya lembut.
“Maaf Ayana.” Bisikku pelan.
‘Maaf Ayana, seandainya aku bisa melupakan Shania. Atau menggantinya dengan kamu.’ Ucapku dalam hati, sambil tersenyum miris.
Sebulan setelah ‘insiden’ itu, aku dan Ayana masih saling membisu, hanya bicara sekadarnya. Memasuki bulan kedua, keluarga kami malah berpikir kami bertengkar. Memang ini beda dengan saat kejadiaan aku dan Shania. Mungkin karena aku dan Ayana sama-sama moody-an.
Akhirnya, baru di bulan ketigalah keadaan kami kembali normal. Kami kembali bermain, berbicara dan bercanda seperti dulu. Walau memang, saat kami hanya berdua rasa canggung dan aneh itu muncul. Tapi, kami berusaha menahannya demi keluarga kami. Ya, kami tidak ingin membuat keluarga kami khawatir lagi.
Sore itu, kami main di lapangan sepak bola yang ada di komplek rumah kami. Sebenernya cuman ngumpul dan ngobrol-ngobrol lucuk sih. Ingin aja main, tapi masa aku sendirian -__- udah gak ada cowok-cowok seumur kami yang main bola disini. Ya, kali aku main sama bocah-bocah SD. HufftNju.
Yaudah, jadi ngumpul aja deh. Gak cuman berdua kok. Tapi ada Andela sama Elaine. Andela ini sepupu Shania. Sementara Elaine ini sahabat… oke maksudnya pacarnya Andela. Mereka, adik kelas kami di sekolah. Iya, Andela dan Elaine emang terlibat cinta terlarang yang saling berbalas. Beda dengan nasipku atau nasip Ayana. Duh syedih.
Aha! Aku tau, pasti kalian punya pertanyaan ‘Kenapa gak tanya Shania ke Andela?’ dan sejenisnya. Hah. Andela ini baru pindah kesini setelah Shania pergi. Mereka emang sepupu, tapi sepupu jauh. Jadi, yaudah. Dia juga gak tau. Dia sama Shania juga gak akrab-akrab banget. Mamanya juga gak dikasih kabar apa-apa sama Mamanya Shania. Ya, intinya. Keluarganya Andela juga gak tau kemana Shania dan keluarganya menghilang. Huglen *eh salah nanti aku ditoyor Andela. Hugnju. Ahh au ah!!
“Kwek bagi. Suapin~~” Pinta Andela yang sedang duduk itu manja pada Elaine yang sedang makan es krim di hadapannya.
“Ihh!! Apaan sih, Ndel.”
“Ihh gitu deh, wes aku ngambek ah.” Andela memanyunkan bibirnya.
Kadang, saat aku melihat Andela seperti itu. Selalu membuatku teringat Shania. Mungkin karena wajah mereka yang sekilas mirip kali, ya? Aku tersenyum kecil. Rasanya air mata ini ingin kembali menetes. Kusadari betapa aku merindukan gadis bertubuh tinggi itu. Ayana yang berdiri di hadapanku menatapku, aku melihatnya dari sudut mataku. Aku tau ada kamu disini Ayana. Tau kok.
Kuperhatikan lagi dua sejoli yang sedang maka es krim satu buah berdua itu. Elaine yang badannya jauh lebih mungil itu malah terlihat seperti seorang ibu yang sedang menyuapi bayi besarnya.
“Suapin pake mulut~” Pinta Andela yang aneh dan tentu saja…
“Andela!!” Dibentak Elaine. Aneh-aneh aja sih anak itu.
“Sekali-kali, Kwek.”
“Sekali-kali, sekali-kali. Dari dulu juga bilangnya gitu. Udah dikabulin sekali, ntar bilang terlalu sedikit. Di kasih dua kali, bilang tiga kali aja biar pas. Di kasih tiga kali keterusan!” Celoteh Elaine.
“Idih. Toh kamu juga doyan.”
“Andela!!” Lagi, Elaine membentaknya. Ini Elaine pacaran sama Andela bisa-bisa cepet tua kali marah-marah mulu. -__-a

AndElaine dikit :3
“Uhuk. Uhuk. Nih yang pacaran berantem mulu. Inget tempat sama sekeliling kali.” Ucapku pada akhirnya.
Mereka hanya nyengir-nyegir kuda. Apalagi itu tuh, si Andela. Dasar -_-
“Eh, Beb.” Panggil Andela padaku tiba-tiba. “Kemaren nyokap aku dapet kabar soal Shania. Katanya minggu depan balik ke sini.”
“Ehh? Kamu serius? Kok kamu bisa tau, Ndel?” Tanyaku dengan mata melotot.
“Iya, itu kemaren mama aku dapet cerita dari tante aku yang lain. Ya, gitu deh. Mau ikut nanti pas kita jemput?”
“Maulah. Mau!” Jawabku dengan semangat48 *iya biarin aja 48 kan Beby imba.
“Syukurlah Shania balik ya, Beb.” Ucap Ayana pelan. Deg.
Astaga Beby!! Kenapa lo lupa ada Ayana disini?! Perlahan kulihat dirinya yang berdiri menyender tiang gawang itu. Dia tidak menatapku balik. Sok berpura menonton anak-anak yang sedang bermain bola. Padahal jelas, matanya terlihat kosong. Apa yang kamu pikirkan Ayana?
“Dengan ini, kamu bisa sama dia lagi, kan. Tanpa aku.”
“Ay.” Aku memegang tangannya, namun dengan cepat dihempaskannya.
“Tenang aja. Aku gak apa-apa, kok.” Ucapnya tanpa menatapku.
Kulihat dia lagi-lagi menahan air matanya. Kupaksakan dia untuk menatap wajahku.
“Kita bertiga bakal temenan lagi kaya dulu kok. Beby, Shania dan Ayana.”
“Gak, cuman kamu dan Shania.”
“Kenapa gitu? Kamu marah sama aku? Kamu gak mau temenan lagi sama kita?”
“Marah? Beby ini bodoh atau emang gak ngerti?” Aku diam dan coba berpikir. “Kalau Shania kembali, itu tandanya udah gak akan ada lagi tempat buat aku.”
 “Kenapa ngomong gitu, sih?”
“Emang gitu kan. Aku benci Beby!!” Ayana mendorong badanku.
Kutatap sejenak Andela dan Elaine yang terlihat kaget sebelum mengejar Ayana. Ya, mereka baru mengetahui soal ini.
“Ayana kenapa sih?” Tanyaku saat menarik tangannya.
“Kenapa? Beby ini gak peka, bodoh atau gimana sih?!!” Kesalnya. “Kamu mau nyuruh aku tetep bareng kamu dan ngeliat kalian berdua mesra-mesraan, gitu?!” Aku terdiam. “Aku sayang Beby. Dan Beby udah tau itu, kan?”
“Be-”
“Iya, aku tau kamu sayangnya sama Shania.”
“Bu-”
“Biarin aku duluan yang ngomong Beby!” Hah. Baiklah Ayana. Keluarkan isi hati kamu. Katakan. “Aku sayang kamu.” Iya. Aku tau. “Tapi, kenapa? Kenapa Beby gak pernah ngeliat aku kaya kamu ngeliat Shania?” Air mata benar-benar keluar kali ini dari mata Ayana. “Padahal selama ini Shania menghilang. Tanpa pamit sama kamu. Dan gak ngabarin apa-apa. Tapi kenapa, kenapa kamu gak pernah bisa lupain dia?” Aku juga gak tau Ayana. “Padahal selama dua tahun ini cuman aku yang ada disamping Beby.” Ucapnya mulai tak karuan karena sambil menangis.
“Ay-”
“Siapa Beby jawab?! Siapa yang ada disamping kamu selama ini? Siapa yang meluk kamu saat papa pergi? Yang belain Beby dari marahnya Kak Sakina? Yang nenangin Beby saat rindu papa? Yang nemenin Beby nonton konser AKB? Yang ngurusin kamu saat tipes? Dan tentunya siapa yang jadi senderan Beby saat Shania pergi? Jawab!!” Aku terdiam. Berpikir. “Kenapa? Aku yang memperhatikan kamu. Tapi, kenapa bukan aku?”
“Ma-maaf Ayana-”
“Udahlah!” Sambil menangis dia pergi tinggalkan aku. Padahal aku belum selesai.
Aku menunduk dan berpikir. Ayana benar. Selalu dia. Dia yang selalu ada. Disampingku. Menemaniku. Dari hal yang nyenengin, malesin, sampe sedih. Ayana tidak pernah menolak permintaanku, saat Shania menolaknya. Aku merutuki diriku sendiri. Apa selama ini aku salah?
BUGH!!
Aku langsung mengangkat kepalaku, kulihat Ayana ternyata bertabrakan dengan seseorang. Tapi, tubuhku seperti beku. Tidak bisa bergerak dari tempatku berdiri. Kulihat Ayana menangis di pelukan gadis tinggi yang bertabrakan dengannya. Siapa gadis itu? Kenapa Ayana terus memeluk itu? Senyaman itukah pelukannya?
Dan kenapa aku tidak suka melihatnya? Hufft.
~~~
Seminggu kemudian, Shania benar-benar kembali. Aku dan keluarga Andela menjemputnya di bandara. Kami berpelukan. Shania terlihat makin cantik. Tapi, selain itu tidak ada yang berubah. Bahkan, parfum yang digunakannya masih sama. Shania menatapku dan tersenyum. Ahh. Aku benar-benar merindukan senyuman khasnya itu.
Akhirnya kami pulang, tiba di rumah lamanya. Saat ini, aku dan Shania ada di kamarnya. Shania langsung merebahkan tubuhnya ke kasurnya yang sprei-nya bergambar Minnie. Aku duduk di tepi ranjangnya. Mengusap lembut kepalanya. Minnie mousekuuuh.
“Beb.” Dia bangun dan duduk di sampingku. “Maaf, ya.”
Aku menghela nafas. “Udah jelasinnya nanti aja. Sekarang kamu istirahat dulu. Kan baru sampe.”
“Temenin, ya?” Aku mengangguk. Kamipun tidur bersama.
Detik demi detik, hari demi hari, kami berdua kembali menguntai benang yang telah terputus. Pelan-pelan Shania menjelaskan alasan kenapa keluarganya pergi mendadak. Jujur aku marah. Bohong kalau aku bilang tidak marah. Memangnya dia tidak menganggap keberadaan aku sama Ayana?!
Ayana… apa kabar, ya? Iya, sejak kejadian di lapangan itu, kami seperti orang bertengkar. Ayana selalu menjauhiku. Di sekolah, karena Shania sudah kembali. Aku duduk dengan Shania. Sementara, Ayana duduk di belakang jauh dengan Sonia. Setiap di tanya keluarga kami, aku selalu berbohong. Abis mau gimana lagi. Masa bilang karena masalah cinta terlarang -__- dijotos iya deh.
Ayana sampe kapan kamu begini? Aku mau kamu balik. Kembali kesini. Kembali di sisi aku. Masa saat Shania sudah kembali, kamu yang pergi? Apa kita gak bisa kembali bertiga? Apa selama kita bertiga, kamu nahan rasa cemburu? Terus sekarang udah lelah? Ayana jawab, jelasin, aku mau tau!! Argghhh!! Aku mengacak-acak rambutku. Kesal.
“Beby.” Panggil seseorang. “BEBY!” Langsung saja aku menengokkan kepalaku. Shania terlihat menatapku sambil manyun. “Katanya mau streaming AKB, tapi malah bengong.”
“Ehe, ehe, ehe. Maaf Shan.”
“Hmm. Beby kenapa sih? Kayaknya sejak Shania balik kaya gak seneng gitu?”
“Gak. Bukannya gitu.”
“Terus? Karena gak ada Ayana, ya?”
“Eh? Kenapa bisa ngira gitu?”
“Iya. Soalnya kan dulu kita biasanya main bertiga. Pas Shania ilang, kan cuman Ayana yang nemenin Beby. Jadi, wajar aja kalau sekarang jadi aneh.” Aku diam.
Iya, aneh. Ada yang aneh. Dipikiran dan dadaku ini. Rasanya sesak. Aku kesepian. Ada yang beda. Aku merasakan kehilangan. Apa ini karena Ayana?
“Beby sayang Ayana?” Tanya Shania tiba-tiba.
“Eh? Apaan? Ya, sayanglah. Eh, tapi bukan kaya ke kamu.”
“Beda juga gak apa-apa.” Ucap Shania pelan.
Shania apa sih?! Jangan ngaco ah. Yang aku sayang dengan ‘beda’ itu kan cuman… cuman… cuman…
Gak. Gak. Masa sih?
Aku…. Cinta…. Ayana…..
END (?)
Foto bertiga sbg penutup *halah
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bikin baper gak? Kalau gak, gagal dong xD
Betewe, kenapa end nya ada tanda tanya?
.
.
Karena aku sayang kamu :3 *salah!!
Ehehe, bukan deh. InsyaAllah kalau ada mood. Mungkin bakal bikin dari sisinya Ayana dan Shania.
*kalau mood ya* yaudah sekian.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih telah membaca. Ditunggu komennya :)
Sankyuu~~ m(__)m

-Jurimayu14-

1 comment:

  1. Eh thorr gue nangis luuu wkwkwkwk haduhh bagian pas ayana curhat abis abis-an sambil nangis masya allah bangettt hahaha hmm jadi baper(?)

    ReplyDelete