Tuesday, April 7, 2015

Majisuka Gakuen (JKT48) - Chapter 2

Update lagi nih~
Tapi mohon maaf ya.. buat yang baca PH... ketunda lagi :'

Dan mohon maaf juga.. kalau chapter ini gak a6.. buatnya dengan rada gitu deh... (?)
Yaudah. langsung aja...
Majisuka Gakuen (JKT48)

GreKwekku~~ #dzigh
Chapter 2
Sudah hampir satu minggu berlalu semenjak….. Bacanya gak usah sambil nyanyi kali coeg wkwk :v Oke! Salah! Seminggu lebih sudah Elaine menjadi murid dan bagian dari SMA Yankee terkuat di Jakarta itu. Seperti biasa, Elaine datang dan menginjakkan kakinya di Majijo tanpa ada ketakutan di dirinya.
Dia mulai berjalan memasuki lobby, menuju loker sekolah lalu menaiki tangga menuju lantai dua. Ada pemandangan berbeda saat Elaine tiba di lantai dua. Terlihat Gracia -tentunya dengan DSLR yang dikalungi- sedang mengobrol (?) atau mungkin hanya mendengarkan seseorang yang berbicara di depannya.

“Gracia, ayolah! Ikut gw jalan, yuk.” Ucap sosok pemuda (?) yang mengenakan gakuran itu pada Gracia. “Banyak pemandangan bagus disana, emang lo gak mau foto-foto?” Tanya pemuda itu lagi, meyakinkan.
“Duh Ghai, modusan lo gak mempan buat gw.”
“Ck!” Pemuda yang dipanggil ‘Ghai’ itu melengos bete, sementara Gracia yang digoda itu hanya tertawa kecil.
Gracia makin geli saat pemuda itu melipat kedua tangannya dan memanyunkan bibirnya. Wajah tampannya jadi terlihat lucu karena mulutnya yang manyun seperti bebek itu. Elaine yang masih diam di tempat terus memperhatikan kejadian itu. Diapun teringat, pemuda ini yang pernah menggodanya (?) saat di toilet semingguan lalu. Tanpa sengaja, kedua matanya bertatapan dengan mata bulat pemuda itu.

“Loh?! Anak kelas satu yang waktu itu?” *LOL masih mikir Elaine anak kelas satu* Reflek Gracia langsung membenarkan posisinya yang tadinya menyandar dan membelakangi Elaine jadi menghadap gadis kecil itu.
Gracia cukup kaget mengetahui bahwa dia tidak sadar akan kedatangan Elaine. Raut wajahpun langsung menjadi bete dan masih tak suka melihat Elaine kembali ada di dekatnya. Sebenernya ada apa antara mereka? Tanpa pamit, Gracia pergi tinggalkan keduanya.
“Loh? Gracia? Gracia!” Gracia tetap pergi tak memperdulikan panggilan murid tampan itu. “Gak apa-apalah kalau Gracia gak mau, ada yang baru ini.” Ucapnya sambil melirik Elaine yang hanya menatapnya dalam bingung.

Elainepun memlih melanjutkan perjalanannya. Namun, saat dirinya akan menginjakkan kaki di anak tangga terakhir. Dengan cepat pemuda yang mengira dirinya lebih tua itu menghalangi Elaine.
“Kamu kok di lantai dua? Bukan anak kelas satu?” Tanyanya.
Elaine menghela nafasnya. “Aku anak kelas dua, Kak.”
Tentu saja pemuda itu kaget bukan main, tidak percaya kalau ternyata mereka satu angkatan. Elainepun melanjutkan perjalanannya. Tentu saja diikuti oleh murid laki-laki (?) itu.
“Kalau gitu gak usah panggil, Kak lah. Kan satu angkatan.” Keduanyapun berjalan dan akan melewati kelas 2-4.

Seperti biasa di dalam kelasnya, Tim Gesrek yang sedang membuat sate. Sisil –yang sedang membuat bumbu sate- yang kebetulan duduk mengarah ke pintu kelasnya jelas dapat melihat langsung pemandangan di luarnya.
“Guys, Elaine. Sama. Ghaida. Berdua.”
“Mane? Serius lu?” Tanya Jeje langsung melongok-longok dari tempatnya.
Sementara itu Nabilah…
Langsung bangkit dari duduknya dan berlari ke arah pintu kelasnya, sampai menjatuhkan sate-sate yang mereka sedang bakar. Yang bahkan juga membuat Ayana terbangun dari tidurnya.
“Ett buse si Kubil ngape, sih?!”

Terlihat Nabilah yang biasanya berisik itu tiba-tiba larut dalam diam melihat dari kejauhan Elaine sedang mengobrol bersama si Ghaida itu.
“Aku pikir, kamu kelas satu loh! Imut banget lagian. Hehe. Maaf ya.”
“Gak apa-apa.”
“Kapan-kapan kita jalan, ya? Hehe. Oh iya, sorry, gw anterin sampe sini aja.” Ucap Ghaida saat keduanya sudah tiba di depan pintu kelas 2-1. “Yaudah, balik dulu ya. Ada urusan, nih. Dah.” Ghaida berlari tinggalkan Elaine setelah melambaikan tangannya.
“Makasih.” Ucap Elaine pelan sambil membungkuk sedikit, lalu masuk ke dalam kelasnya. Bersiap memulai pelajaran hari itu…
~~~
Yups, Gakurannya itu Ghaida~
Istirahat tiba, entah sejak Elaine seperti menjadi bagian dari Tim Gesrek –atau Tim Gesrek yang jadi anak buah Elaine?- yang pasti saat ini, gadis penyuka bebek itu sudah ada di dalam kelas 2-4. Duduk di kursi milik Nabilah sambil membaca buku tentang Sastra *ya, serah lu dah Kwek*. Sementara sang empunya kursi bersama timnya duduk di lantai sambil melakukan… ah sudahlah kalian sudah tau.
“Len, mau?” Tanya Dena yang menawarkan sate miliknya pada Elaine. “Gak usah, kebetulan tadi aku udah makan bekel dulu sebelum kesini. Makasih.” Denapun hanya mengangguk-angguk.
“Eh, Len.” Panggil Jeje. “Tadi, kita liat lo jalan sama Ghaida. Kok bisa?”
“Ghaida?”

“Murid cewek yang ganteng itu, emang kagak kenalan?” Tanya Jeje lagi.
Elaine langsung menatap Jeje dengan bingungnya, yang ditatap lebih bingung lagi.
“Cewek?”
Mendengar pertanyaan Elaine, spontan semua anggota Tim Gesrek –termasuk Ayana sambil merem- langsung menatap Elaine bersamaan dengan ekspresi dan tatapan yang… entahlah…
“Ketepu juga.” Ucap Jeje sambil menghela nafasnya.
“Dia itu cewek loh, Len. Anak kelas dua-lima, namanya Ghaida Farisya.” Jelas Sisil.
Jujur saja Elaine kaget, karena penampilan Ghaida… sama sekali tidak menunjukkan ((kewanitaannya)) mungkin hanya suaranya saja yang masih agak perempuan. Tapi, tetap saja…

“Iye, Ghaida itu-- Bil, tumben lo diem aja, sariawan ye?” Tanya Jeje pada Nabilah yang memang biasanya cerewet jadi diam saja, bukan hanya itu yang membuat Jeje heran, Nabilah yang biasanya makan dengan bringas, terlihat makan dengan pelan-pelan. “Bil?”
“Udeh elah! Lo aja gi dah yang nyeritain! Gak mood gw!!!” Bentak Nabilah. Bukan hanya Tim Gesrek yang kaget melihat itu, bahkan Elainepun juga kaget.
Memang Nabilah bukan tipe ketua tim yang benar apalagi dengan gaya bicara yang keras dan nyablak seperti itu. Tapi, untuk pertama kalinya Elaine melihat Nabilah membentak anak buahnya karena sesuatu yang bukan kesalahan. Jika mereka salahpun Nabilah biasanya paling hanya meledek atau memukul kecil (?).

“Bil? Lo kenape? Gakpape, kan? Apa lagi PMS?” Tanya Jeje.
“Gak, gak ngapa. Gak mood aja. Udeh ah, banyak cincong lu! Cerita gih. Authornya ntar yang ngamuk.
“Yaudah, jadi tuh si Ghaida itu cewek, Len. Tapi, ya gitu deh. Ya.. lo ngerti lah.” Ucap Jeje.
“Daripada berita berantemnya sih, kita lebih sering denger kabar dia mutusin cewek. Sekalinya denger kabar berantem juga urusan cewek.” Kali ini giliran Dena yang berbicara. “Kabarnya Laksani Sister, eh itu Kak Melody sama Frieska maksudnya, katanya juga pernah pacaran sama si Ghaida.” Lanjutnya.
“Ihh! Gak Kakaknyo! Yang bener itu cuman Kak Melody yang pernah pacaran, terus mereka putus karena Ghaida selingkuh sama Frieska, terus mereka berantem, terus Ghaida kalah deh.” Ucap Sisil.
“Terus-terus aja Dedeknyo. Intinya sama aja, kan?” Dena membela diri.

“Yaudah lah biarin aja ini dua orang. Intinya ya, kita mau ingetin aja. Hati-hati, Len.” Ucap Jeje kembali.
“Ah? Iya. Makasih sarannya.” Merekapun larut dalam keheningan, sampe seseorang kembali membuka suaranya, dan orang itu…
“Kak Ghaida gak ganteng, tau. Biasa aja. Gantengan juga Kak Rui Mario.” Ucap Ayana tiba-tiba.
“Nih anak ngigo?” Tanya Jeje. “Ay, lo ngigo??” Jeje terus memandangi wajah Ayana dari dekat. “Ini anak beneran tidur, kan??” Ayana yang tidur (?) sambil duduk menopang dagunya itu terlihat senyam-senyum. “Merinding gw jadinya.”

SREKK!!

Suara bunyi kaki meja yang bergesekan dengan lantai terdengar. Reflek Tim Gesrek dan Elaine langsung menatap Gracia yang terlihat habis menendang mejanya sendiri. Sedari awal Gracia memang ada di ruang kelas itu, sibuk sendiri membersihkan kamera-kameranya. Gadis itu lalu bangkit dan menatap ke arah mereka –Tim Gesrek dan juga Elaine-.
“Dari dulu gak pernah gak berisik.” Sontak Nabilah bangkit dari duduknya dan menatap Gracia.
“Hah? Apaan?” Tanya Nabilah dengan memasang tampang nyolot dan tidak sukanya pada Gracia.
Tidak menjawab pertanyaan Nabilah, Gracia beralih menatap Elaine. “Wah hebat baru semingguan udah dapet anak buah, ya?” Tanya Gracia menyindir Elaine. “Anak buah apa anjing? Berisik-berisik banget.”
“Maksud lo apa, sih?” Tanya Nabilah makin kesal.
“Kalian gak takut sama dia? Badannya aja kecil, tampang imut, nyatanya hati busuk.” Sisil, Dena dan Jeje hanya menatap Elaine dengan herannya.

“Gw gak suka ya dengerin lo ngatain Elaine dan tim gw kek gitu!” Kesal Nabilah.
“Siapa yang ngatain?” Tanya Gracia dengan tampang yang uhh menyebalkan *maaf Gre nya dibuat gini~ :P ada alasannya kok >< jgn ngamuk dulu~~
Amarah Nabilah memuncak mendengar ucapan Gracia, Nabilah tiba-tiba berlari ke arah gadis yang malah menyiapkan Digicam-nya itu, untuk memotret Nabilah??
“Nabilah!” Cegah Sisil percuma.
Dengan emosinya Nabilah melayangkan tinjunya ke arah Gracia, dengan santainya dan sambil memotret, Gracia berputar ke arah belakang Nabilah dan…
Mendorong Nabilah ke arah papan tulis hitam mereka sambil mencekek leher belakang Nabilah dengan satu tangan saja.

“Akkk.. Akkk…” Dengan dua tangannya, Nabilah coba lepaskan cengkraman Gracia itu. Nabilah merasa sesak, dia tidak bisa bernafas dengan benar.
Nabilah bisa pingsan bahkan mati kalau saja, Elaine tidak menyelamatkannya. Ya, gadis kecil itu mendekat ke arah mereka, saat Elaine ingin melepaskan cengkraman tangan Gracia di leher Nabilah, gadis yang dipanggilnya ‘Gre’ itu langsung berputar, dan…
Lagi, dalam waktu yang bersamaan, Gracia melakukan tendangan dengan kaki kirinya yang mampu di tepis tangan kanan Elaine, sementara Elaine melayangkan pukulan ke arah wajah Gracia yang sama seperti sebelumnya hanya berhenti di depan wajah manis Gracia. *sugar, yes, please *ala danti :v

“Jangan gunakan kekuatanmu itu untuk menyiksa. Apa kamu lupa itu, Gre?”
Gracia menarik kakinya, berbalik memunggungi Elaine, berputar lagi dan…
BUGH!!
Mendorong Elaine sampai tubuh kecil gadis itu menabrak papan tulis dengan begitu kencangnya. Kali ini Elaine tidak melawan, menghindar atau mencegahnya walaupun dia mampu.
“Jangan ulang kata-kata, itu.” Gracia menatap Elaine dengan tatapan begitu tajam yang dibalas Elaine dengan tatapan rindu??

Dari samping, Nabilah bisa melihat ada air mata yang keluar dari sudut mata Gracia.
“Minggir lo.” Gracia mendorong tubuh Nabilah sebelum pergi tinggalkan kelasnya.
“Nabilah!!” Anggota Tim Gesrek –kecuali Ayana tentunya- langsung menghampiri Nabilah, yang akhirnya sudah bisa bernafas dengan benar. Terlihat bekas merah di belakang leher gadis penyuka kelinci itu.
“Gre, maaf.” Ucap lirih Elaine, tentunya pada siapa lagi kalau bukan Gracia.
Gracia yang saat ini berada di atap sekolah, menangis? Ya, gadis itu menangis. Sambil menyebut nama Elaine dan juga sebuah nama, yang rasanya sudah lama tidak keluar dari mulutnya.
“Kwek bego!” Mata sipit Gracia terlihat semakin sipit. “Hamids…” Ya, Hamids, orang itu adalah, seseorang di masa lalu yang…

*nih nih yang nanya Hamids mana gw kasihhh*
“Mbang gulokuuu~~!! Grecot!!” Panggil Andela pada Elaine dan Gracia yang terlihat sedang duduk di pinggir danau yang sama dengan sebelumnya.
Melihat kedatangan sang kekasih (?) Elaine langsung menghampiri Andela, begitu juga dengan Gracia. Namun ada yang berbeda, tidak seperti biasanya. Andela datang bersama orang lain. Seorang gadis bertubuh tinggi, tunggu! Bukan tinggi, tapi jangkung! Karena cewek yang bersama Andela itu bahkan lebih tinggi dari Andela.
“Kwekku, kenalin iki sepupu aku baru dateng. Gre, kenalin nih. Namanya Hamids” Ucap Andela pada Gracia dan Elaine. “Mids, ini yang kecil imut-imut ngegemesin Elaine, pacarku loh.”
“Pacar? Emang pernah nembak?” Ledek Elaine, sambil bersalaman dengan Hamids.
“Ihh!! Kamu mah! Oh iya, ini Grecot. Sahabatnya Elaine.” Gracia hanya diam, entah kenapa hanya memandangi Hamids.

“Gre?” Panggil Elaine. Sekali lagi. “Gracia!”
“Hah? Iya? Ehh? Maaf. Gracia.”
“Hamids.” Keduanyapun saling berjabat tangan. “Andela suka ceritain soal kalian berdua, loh!”
“Oh ya?!” Tentu saja Elaine yang paling bersemangat untuk mendengarkan.
“Iya, kata Andela. Uhuk, ehem. ‘Kamu kalau liat pacar aku wes pasti gemes, pengen aku karungin bawa ke Solo rasanya.’” Ucap Hamids sambil menirukan gaya bicara Andela dengan logat Jawanya.
“Uhh. Srikandikuuwhh~~” Elaine mengucapkan itu sambil menutup mukanya yang memerah.
“Ululu~ Bebek Neptunuskuwwh~ pipinya merah kayak lagi dibakar.” Ucap Andela sambil mencubiti pipi Elaine yang menggemaskan.
“Iya, kan dibakar api asmaramu.” *anyyinggg, gw nulis ini ketawa geli sendiri* Elaine memanyunkan bibirnya, Andelapun mengikuti. Saat Andela mendekatkan bibirnya, tinggal berapa centi lagi…

BUGH!!

Elaine memukul perut Andela. Di belakang mereka Hamids dan Gracia terdengar cekikikan.
“Oh iya, terus soal Gracia. Kata Andela ‘Gracia iki bahaya Mids, aduh kalo gak ada Kwek, duh bener deh godaan terberat di dunia itu, ya Harta, Tahta, Gracia.’”
Mendengar itu, Elaine –yang sudah keluar asap dari kupingnya- tanpa basa-basi langsung melayangkan pukulan-pukulan yang mampu di tepis Andela.
“Tu-tunggu Kwek! Dengerin dulu.” Andela menghindari tendangan Elaine. “Tunggu, bisa a-”

BUGH!!

Pukulan Elaine akhirnya mengenai hidung Andela, darah sedikit keluar dari hidung gadis kelahiran Solo itu.
“Aduh, Kwek, kamu kok kejam sih.”
“Biarin! Salah sendiri. Andela jahat sih jahat.”
Hamids hanya cengo melihat perkelahian pasangan AndElaine itu. Melihat wajah cengo gadis yang baru di kenal sesaatnya itu, entah kenapa membuat Gracia gemas.
“Hey, Mids. Jangan cengo gitu. Belum pernah liat yang kaya gitu, ya?” Hamids menggeleng. “Aku sih, udah biasa.”
“Hmm…”
“Kenapa?”

“Gak apa-apa, hanya sayang aja…”
“Hmm, kamu gak kaya Andela dan jebak aku supaya ngomong ‘Sayang kenapa?’ kan?”
“Hmm? Maksudnya?” Hamids malah terlihat bingung. “Ngeliat kemampuan berkelahi mereka aku jadi sayang aja.” Kali ini Gracia yang benar-benar bingung. “Sayang aja, ngeliat mereka berantemnya kaya gitu. Ya, walau notabene mereka pacaran, cuman tetep aja.” Ahh, barulah Gracia mengerti. Memang di depannya Elaine dan Andela terlihat seperti sedang bertarung yang lebih dikuasai Elaine.

“Hmm… Tapi kalau soal mereka sih, emang Andelanya aja yang suka cari gara-gara.”
“Gracia jangan, ya?” Gracia kembali menatap Hamids. “Jangan gunain kekuatanmu kalau cuman untuk menyiksa.” Hamidspun mengakhiri kata-katanya dengan sebuah senyuman.
Senyuman yang masih menyayat dan menggores kembali luka di hati terdalam Gracia. Menimbulkan perih yang belum disembuhkan hingga saat ini…
*flashback nya kepanjangan, kah? Apa malah kurang? :v perlahan-lahan, lah ya~~
~~~

“Melamun lagi?” Tanya seseorang, reflek Gracia langung mengusap air matanya dan mendongak agar tak ada lagi air mata yang keluar.
“Siang Kak Melody.” Ucap Gracia langsung membungkuk hormat.
“Dimana mainanmu?” Gracia melihat ke arah lehernya, barulah dia sadar dirinya meninggalkan DSLRnya di kelasnya. Hanya digicam yang ada di genggaman tangannya. “Ada apa Gracia? Terlihat kusut.”
“Aku gak kenapa-kenapa, Kak. Makasih perhatiannya.” Sekali lagi Gracia membungkuk hormat. “Tapi, aku bukan Frieska yang butuh dimanjain kakaknya.” Ucap Gracia sambil menyeringai lalu berjalan ke arah Melody.
“Kalau Frieska dengar dia bisa ngamuk dan mencarimu, loh.”

“Bukannya itu yang diharapkan Kak Melody? Aku berhadapan dengan Frieska, mau tak mau berurusan dengan Rappapa dan berakhir di atas?” Tanya Gracia sambil melewati Melody.
Strike! Tebakan Gracia tepat. Melody hanya tersenyum dan tertawa kecil. Graciapun berjalan menuju pintu keluar, cukup kaget saat bertemu dengan Kinal yang berjalan santai dengan kedua tangannya berada dalam kantong jaket yang dipakainya.

Ceritanya Kinal begini tampilannya dan gayanya pas nyantai.
Gracia hanya membungkuk hormat, lalu berjalan melewati Kinal, sang wakil ketua Rappapa itu. Kinal melihat sekilas kepergian Gracia lalu kembali berjalan menghampiri sang ketua yang sedang berdiri memandangi luasnya halaman depan sekolah mereka.
“Masih berharap pada Gracia?” Tanya Kinal.
Melody menghirup udara segar yang terasa disana, membiarkan wajah dan rambutnya tersibak (?) angin yang sedang berhembus itu.
“Beberapa bulan lagi kita lulus, Nal.” Jawab Melody yang masih memejamkan matanya. “Kita gak akan tau apa yang terjadi nanti setelah kita lulus.”

“Bukannya masih ada Beby, Shania juga Frieska?”
Melody membuka matanya dan tersenyum pada Kinal. “Tetap saja mereka butuh sosok pemimpin, kan Nal?”
“Lalu orangnya Gracia, gitu?”
“Kenapa? Kamu meragukannya?”
“Sama sekali gak, Teh. Secara kekuatan sama sekali gak. Tapi, menjadi pemimpin Rappapa sekaligus pemimpin Majijo, bukan cuman kekuatan yang diperlukan. Sesuatu yang hanya Teh Melody punya dan gak ada di diri Kinal mungkin juga Gracia.”
Melody tersenyum tipis. “Semoga ada nama lain.”
~~~

Hari kembali berganti, Elainepun sudah ada di kelasnya. Namun, belum sempat gadis itu duduk. Suara deheman dari depan pintu mengganggunya. Elainepun langsung menoleh, dengan gaya sok kerennya, terlihat Ghaida berdiri di sana dan tersenyum pada Elaine.
“Hey.” Ghaida masuk ke dalam kelas 2-1 itu, berbeda dengan saat Tim Gesrek yang masuk, saat kedatangan Ghaida, cewek ganteng itu ditatap oleh tatapan tersepona eh terpesona murid-murid di kelas Elaine. “Sibuk gak?” Elaine hanya menggeleng. “Jalan, yuk.” Elaine menatap Ghaida dalam ragu. “Udah, ayok.” Belum sempat Elaine menjawab Ghaida, tangannya sudah ditarik.

Mau tak mau, Elaine menemani Ghaida jalan-jalan. Terlihat seperti sepasang kekasih yang bolos bersama untuk kencan di jam pelajaran. Saat ini keduanya sedang ada di sebuah taman.
“Makasih, Kak.” Ucap Elaine sambil memakan es krim Vanila yang dibelikan Ghaida.
“Sama-sama, santai aja. Eh, jangan panggil ‘Kak’ atuh. Ya, walau keliatannya kamu kaya anak SMP kan kita seangkatan.” Elaine hanya mengangguk. “Elaine jalan berdua gw gini, gak ada yang marah?”
Elaine tiba-tiba berhenti, memandangi Ghaida lalu es krimnya. Tentunya nama dan bayangan Andela terlintas di kepalanya. Ya, Andela… Andela… Dimana gadis bernama Andela itu? Elaine hanya tersenyum tipis, raut wajahnya terlihat sedih.

“Len, kamu gak apa-apa, kan?” Tanya Ghaida sambil mendekat ke arah Elaine. “Kamu punya pacar, ya?”
Elaine memejamkan matanya sesaat. “Aku gak apa-apa, ayo Kak Ghaida.” Ghaidapun hanya mengikuti.
Namun, baru beberapa kali Elaine melangkah, gadis itu kembali berhenti. Merasakan ada seseorang yang mengikuti dan mengintipi mereka berdua. Elaine berbalik, kosong.
“Kenapa lagi?” Tanya Ghaida yang terus berjalan sambil melihat ke arah Elaine itu, tanpa menyadari di depannya ada…
“Kak Ghaida a-”

BUGH!!

Ghaida bertabrakan dengan murid-murid cowok dari sekolah Yankee lain.
“Wah, wah. Ada yang main tabrak-tabrak, nih.” Ucap cowok yang ditabrak Ghaida itu dengan kesalnya.
Tak bisa dihindari lagi, perkelahian Ghaida dengan 3 orang murid cowok itupun terjadi. Elaine tidak bisa mencegah itu, kedua belah pihak tetap ngotot. Elaine hanya bisa menonton dalam kekhawatirannya. Seberapun macho-nya seorang Ghaida, dia tetap perempuan. Apalagi lawannya adalah 3 orang laki-laki yang badannya kekar dan juga lebih besar dari Ghaida. Lagi, saat seperti itu, Elaine merasakan ada seseorang yang memang mengintip mereka. Tentu saja tidak ada siapapun, namun kali ini bayang-bayangnya tertangkap oleh Elaine.
 “Elaine, awas!!” Teriak Ghaida karena terlihat salah seorang dari penyerangnya berlari kea rah Elaine. Elainepun berbalik dan…

BUGH!!

Cowok yang menyerang Elaine itu terjatuh, ternyata dengan responnya yang cepat Elaine memukul ulu hati cowok itu dengan begitu keras.
“Wow.” Puji Ghaida yang kaget dengan tampang melongo yang sedikit rusak ketampanannya.
Tentu saja, siapa yang tidak heran melihat ternyata dibalik tubuh kecil Elaine, ada kekuatan besar yang tersembunyi di dalamnya. Saat Ghaida masih dalam keadaan melongo itu, 2 orang yang tersisa dari belakang menyerangnya dan…
“Kak Ghaida!!”

BUGH! BAGH! BUGH!!
Buat yg bingung, ini gambaran buat adegan di bawah..
Kedua cowok itu langsung terjatuh, terlihat ada seseorang dari belakang menendang dua orang yang akan menyerang Ghaida itu. Saat tubuh dua cowok itu jatuh, barulah Ghaida dan Elaine bisa melihat siapa yang menolong mereka. Elaine hanya bisa membuka lebar kedua mata sipitnya saat melihat siapa yang menolongnya, seseorang yang rasanya tidak mungkin… seseorang yang dirindukannya…
Andela…
Gadis berdarah Solo itu hanya menatap Elaine sekilas, lalu beralih pergi. Elainepun langsung mengejarnya.

“Andela! Tunggu aku, Andela!!” Begitu cepat Andela berlari, Elaine tak mampu mengejar sosok yang menghilang di dalam sebuah gang kecil di dekat taman itu.
“Elaine tunggu.” Dengan ngos-ngosan, akhirnya Ghaida mampu mengejar Elaine. “Elaine kamu kenapa, sih?” Bukannya menjawab pertanyaan Ghaida, Elaine malah menunduk dan mengambil sesuatu yang jatuh di dekat kakinya. Sebuah pin lambang sekolah. “Kamu kenal gadis yang nolongin kita tadi?” Tanya Ghaida yang masih tidak digubris Elaine. “Apaan tuh? Coba liat?” Tanpa izin, Ghaida mengambil pin itu. “I-Ini kan logo sekolah Yabakune! Anjirr, jadi yang nolongin gw anak rival. Untung belum bilang makasih.”

*kenapa Yabakune? Karena, kan rival awal emg Yabakune. Lagian seragam Gekiokou gak a6*
Ghaida lalu menatap Elaine kembali. “Mending kita balik aja, Len. Dan mending ini gw bu-”
“Tu-tunggu jangan dibuang.” Elaine langsung berlari ke depan Ghaida dan menggenggam tangan Ghaida. Mencegah Ghaida membuangnya.
“Kenapa Len? Yabakune ini musuh bebuyutan Majijo. Rival. Mereka itu selalu coba ngalahin kita. Tapi, tetep aja gagal. Udahlah ini gw buang aja.”
“Aku bilang jangan.”
“Mereka itu mus--” Belum sempat Ghaida menyelesaikan kata-katanya, Elaine menatapnya begitu tajam. Tatapan yang… mengerikan. Sesuatu yang belum pernah dirasakan Ghaida.
Elainepun pergi, mengambil pin itu, dan meninggalkan Ghaida tanpa pamit.
~~~

Hari berganti, untuk pertama kalinya seorang Elaine Hartanto kembali bolos dari kegiatan sekolahnya. Namun, kali ini dia hanya seorang diri. Di bagian teratas gedung sekolahnya itu, berdiri melamun menatap pemandangan sekolahnya. Novel karangan Sita Karina yang berjudul “Stilla-Aria.1 Sahabat Laut” itu hanya menjadi pajangan yang terus dibawa-bawanya hari itu.
Elaine memandangi langit diatasnya, tanpa terasa, air mata mengalir dari sudut kedua mata sipitnya. Elaine menghembuskan nafasnya, memejamkan matanya, membuka mulut dan akhirnya mengucapkan sebuah kalimat…
“Andela, aku kangen.”

Iya, Elaine merindukan dengan sangat sosok yang kini sedang berjalan dengan tatapan kosong di koridor sekolahnya, Yabakune. Sekolahan yang keadaannya tidak jauh berbeda dengan Majijo, corat-coret dimana-mana, perkelahian tidak jelas terjadi, dan sebagainya. Andela terus berjalan sampai seseorang memanggil namanya.
“Andela.” Andela berhenti, menatap sekilas gadis yang memanggilnya.
Tidak ada ekspresi apapun saat Andela menatap gadis cantik yang memanggilnya itu. Andela berlalu pergi setelah merasa memang tidak ada urusan antara mereka berdua.

“Ih! Andela ngapa sih?” Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dadanya karena kesal. Tiba-tiba, dari belakang ada tangan yang melingkari pinggangnya.
“Mau ngapain sih sama Andela, Michelle?” Tanya gadis yang memeluk Michelle itu dan menaruh dagunya di pundak Michelle.
“Nadse, lepasin ah.” Saat Michelle berputar, sosok yang dipanggilnya Nadse itu menghilang, dan…

BUGH!!

Tubuh Michelle tiba-tiba terdorong, Nadse menjepit *jangan di saun gut* Michelle dianatara tubuhnya dan tembok.
“Nads…”
“Hehehe, kan udah dibilang--” Nadse mendekat ke telinga Michelle. “Kalau ada apa-apa ngomong ke aku.” Bisiknya.
“Iya! Aku bilang! Tapi, kamu harus bantu.”
“Bantu? Gampang kok.” Jawab Nadse yang dengan bingungnya menatap Michelle yang sedang tersenyum penuh arti itu. *NadseLele dikits :v abis di PH lama nih u,u
Sementara itu, bagai mengulang kejadian saat Gracia melamun seorang diri di tempat yang sama, tiba-tiba seseorang juga datang mendekati gadis penyuka bebek yang masih berdiam di tempatnya. Sosok yang sangat dikenal baik oleh Elaine dulu. Iya, dulu. Mendekat. Ya, siapa lagi kalau bukan…
*sebenernya mau ada flashback lagi, tapi ntar jd gak fokus sama cerita yg seharusnya di chapt ini*

“Gre.” Panggil pelan Elaine tanpa menatap Gracia.
“Tumben sendiri dan bengong gini.” Ucap Gracia lalu berdiri di samping Elaine, memandangi langit yang sama.
“Tumben juga-”
“Jangan pede g-”
“Mengingatkan masa lalu, ya? Langit di atas sana, sama kayak dulu.” Gracia lalu menatap Elaine dengan sinisnya.
“Gak usah ngungkit masa lalu yang kamu hancurkan sendiri, Len.” Elaine hanya menatap sekilas Gracia, sebelum akhirnya kembali menatap langit cerah di siang hari.

“Gre, kemarin aku ketemu Andela.” Sontak Gracia kembali menatap Elaine. “Andela sekolah di Yabakune.” Sekali lagi bakalan pas Elaine membuat Gracia kaget.
“Andela di Yabakune? Sekolah rival. Jangan-jangan selama ini… Kamu masuk Majijo--”
“Tu-tunggu Gre! Aku tau omongan kamu mengarah kemana. Aku gak tau apa-apa soal Andela, dan kamu juga tau kalau kita semua kepisah setelah insiden itu.”
“Siapa yang menyebabkan kita berpisah? Lalu buat apa kamu kembali kesini? Jawab aku E-”
“Hwaa!!” Terlihat Ghaida datang sambil menguap. “Wih! Ada Gracia sama Elaine. Pas banget.” Ucap Ghaida yang muncul itu entah dari mana. “Hehehe sorry gak sengaja dengerin, tadi gw lagi tidur disana.” Ucap Ghaida menunjuk belakang tembok yang selama dari tadi menutupu dirinya. “Ternyata kalian saling kenal? Wah. Terus soal cewek yang kemarin murid Yabakune itu temen kalian?”

Gracia tersenyum tipis. “Dibanding temen lebih tepat mungkin di bilang mantan. Mantan teman dan mantan pacarnya Elaine.” Ghaidapun langsung menatap Elaine yang terlihat menunduk itu. “Lo yakin Ghai mau deketin Elaine? Dia itu serigala berbulu domba. Dia itu gadis yang berbahaya, lebih baik menjauh dari pada lo juga kenapa-napa.”
“Maksud kamu, Gracia?”
“Hah! Lebih baik aku pergi, permisi.” Graciapun berjalan tinggalkan keduanya.
“Tu-tunggu Gracia! Len, maksudnya apa? Jelasin ke aku.”
“Bukan urusan Kak Ghaida!!” Bentak Elaine, cukup kagetkan Ghaida.
“Gw kan temen lo-”

“Temen? Sejak kapan? Aku gak pernah minta dan mau Kak Ghaida jadi temen aku!” Saat Elaine ingin pergi, tangan kirinya di genggam oleh Ghaida.
“Tunggu Elaine.”
“Lepasin aku Kak Ghaida!”
“Gak mau, sampe kamu mau jadi temen aku dan jelasin semuanya.”
“Sampe kapanpun temen aku cuman Andela, Hamids dan Gracia!!” Teriak Elaine, menghentikan langkah Gracia yang belum pergi jauh.
Nabilah –bersama anggota Tim Gesrek- yang kebetulan sudah tiba di sana dan berpapasan dengan Gracia dapat melihat senyum tipis terlihat sekilas sebelum Gracia pergi lanjutkan perjalanannya.
“Jelasin Elaine!” Pinta Ghaida dengan nada keras.
“Lepasin! Atau aku bakal-”

“Apa? Kalau harus berantem dulu, Kak Ghaida gak takut. Kalau itu memang cara menjadi temanmu, ayo!!”
“Kak Ghaida jangan bercanda.”
“Gw serius!” Elainepun menatap Ghaida yang menatapnya dengan tajam, tidak, tatapan serius lebih tepatnya.
Elainepun memejamkan matanya, membuka matanya, tatapan matanya berubah, dan lagi-lagi Tim Gesrek yang mendapatkan tatapan mata serius Elaine. Novel di tangan kanannyapun di lempar. Dengan cepat memelintir tangan Ghaida yang masih bertautan dengan tangan kirinya. Elaine menarik tubuh Ghaida dan…

BUGH!!

Dengan lututnya, Elaine menendang perut Ghaida, tapi tidak hanya itu Ghaida ternyata juga meninju wajah Elaine. Keduanyapun sama-sama terlempar.
“Keras banget, pantes aja.” Ucap Ghaida sambil menyeka darah di sudut bibirnya. “Hyaa!!” Ghaida kembali berlari dan menyerang Elaine dengan serangan cepat.
Ya, Ghaida memang tipe penyerang cepat. Dia melancarkan tinju bertubi-tubi yang mampu ditepis Elaine dengan sama cepatnya. Merasa sia-sia Ghaida menghentikan serangannya. Dia berjalan mundur, berbalik, reflek Elaine bersiap untuk menepis, namun…

BUGH!!

Ternyata Ghaida menyelengkat Elaine, gadis kecil itupun terjatuh, dan kepalanya membentur lantai. Dengan perlahan, Elaine bangkit, darah keluar dari keningnya. Melihat itu, Ghaida yang menyerang cukup kaget, begitu juga dengan Tim Gesrek yang tentunya menonton.
“Akhirnya ada tontonan seru juga.” Ucap Jeje sambil memakan popcorn yang entah dari mana.
“Kok lo makan popcorn sih, Je?!” Tanya Sisil heran.
“Ya, mang ngape?”
“Kan, makanannya Tim Gesrek itu sate! Bukan popcorn!” Protes Dena.
“Yailah, kelamaan keleus kalau kita nyate, keburu kelar, et dah!”
“Tapi, kan kata authornya-”

“BICIK LU PADE!” Teriak Nabilah memotong perkataan Dena.
“Iya nih berisik, kan ayana mau bobo.” Ucap Ayana yang hanya dapatkan tatapan sinis dari Jeje. Walau percuma, Ayana juga gak akan sadar karena dia merem.
Dengan raut yang entah mengapa khawatir, Nabilah terus menonton pertarungan sengit antara Ghaida dan Elaine itu. Darah sudah bercecer mewarnai seragam sekolah keduanya. Keringat dan darah yang bercampur jadi satu masih turun mengalir dari kepala Elaine.
Nafas Elaine mulai menderu tak karuan, mungkin luka ditubuhnya tidak sebanyak Ghaida, tapi darah yang dikeluarkannya lebih banyak. Melihat itu, Ghaida kembali maju menyerang, dia berputar, melayangkan tendangan, dengan mudahnya Elaine menunduk untuk menghindar. Dari bawah Elaine langsung meninju dua kali perut Ghaida, darah kembali keluar dari mulut cewek ganteng itu.

Elaine langsung berlari cepat, loncat dan melayangkan pukulan yang dengan cepat dan susah payah, Ghaida tangkis dengan mengepal tangan kecil gadis itu. Elaine kembali melayangkan tinju dengan tangan satunya, lagi Ghaida mencegahnya dengan menggenggam tangan gadis itu. Ghaida pikir dengan keadaan dua tangan dalam genggagamannya, Elaine tidak akan bisa menghajarnya.
Nyatanya, gadis itu memanfaatkan hal itu, dengan kekuatannya, mendorong Ghaida sampe ke arah tembok. Tidak memberikan kesempatan untuk Ghaida berpikir, Elaine langsung menendang perut Ghaida dengan lutut kakinya. Genggaman tangan Ghaidapun lepas satu, dengan tinjunya yang sangat keras, Elaine meninju ulu hati Ghaida, lagi darah muncrat dari mulutnya mengenai wajah Elaine. Saat tangan kanannya terbebas…

BUGH!!

Pukulan terakhir melayang ke wajah Ghaida, suara bunyi patahan tulang terdengar dari hidung Ghaida. Bukan cuman itu, tentunya pukulan itu membuat luka di kepala Ghaida yang terntunya terbentur tembok. Selesai. Bersamaan dengan darah yang menetes dari kepalanya, Ghaidapun terjatuh dari tempatnya. Dengan susah payah, Elaine berjalan sambil menutupi luka di kepalanya dengan tangannya. Elaine mengambil novelnya yang kini menjadi merah karena darah yang ada di tangan Elaine. Elaine terus berjalan semakin mendekat pada Tim Gesrek yang langsung panik dan coba menghampiri Elaine.

“Gak usah! Gw gak apa-apa.” Elaine menatap pada Nabilah. “Nabilah.”
“I-Iye?”
“Tolongin Ghaida, cepat!”
“Ta-tapi, e-elu-”
“Cepet!!” Nabilahpun langsung berlari menghampiri Ghaida.
Elaine menengok sekilas ke arah keduanya, terlihat Nabilah sedang merangkul Ghaida, senyum tipis terukir di wajah Elaine. Melihat Nabilah yang kesusahan Jeje ikut berlari untuk membantu Nabilah. Sementara Dena dan Sisil mencoba mengikuti Elaine, karena Elaine menolak untuk dibantu. Elaine terus berjalan sampe perlahan pemandangannya kabur dan…

BRUG!!

Tubuh kecilnya ambruk.
~~~

Elaine membuka matanya perlahan, rasa nyeri di kepalanya masih terasa. Saat Elaine memegang kepalanya, sudah ada perban yang membalut lukanya. Elaine mencoba melihat ke sekilingnya. Dimana dia? Di sebelahnya ada satu tempat tidur seperti di rumah sakit, di depannya ada lemari obat-obatan. Apa dia di UKS?

CKLEK!

Tiba-tiba pintu di dekatnya terbuka, dengan sedikit susah Elaine mencoba melihat siapa yang datang. Terlihat sosok dua gadis dengan pakaian yang heboh… -atau… emm cukup heboh dan sepertinya akan sangat panas jika terus-terusan di pake di Indonesia- masuk.
Elaine memperhatikan keduanya, dari atas sampe bawah dan balik lagi ke atas, mereka mengenakan kostum dengan tema Gothic Lolita ternyata. Merekapun mendekat pada Elaine.
“Jadi kakak yang ngalahin Kak Ghaida ganteng?” Tanya gadis berkulit hitam yang manis itu.

CKLEK!

Tiba-tiba pintu yang lainnya dibuka.
“Waduh! Pasti si kacang, ahh!! Mending kita pergi dari sini!!” Panik gadis imut yang sepertinya blasteran –atau orang Indonesia sebut ‘bule’- sambil mendorong gadis yang satunya untuk keluar dari ruangan itu.
“Siapa yang datang?” Tanya seorang wanita yang kira-kira berusia 25an, Elaine hanya menggeleng karena tidak tahu. “Ahh, saya dokter di sekolah ini. Mereka panggil saya Chika-chan. Tadi temang-temang kamu yang bawa kamu kesini. Tapi, mereka udah pulang buat nganterin Ghaida-kun pulang. Dan Ayana-chan yang bobo itu pulang. Soalnya mereka juga tidak tahu rumah kamu.” Jelas Chika-san, dokter di Majijo yang asli dari Jepang.

Jadi, Tim Gesrek yang membawanya ke UKS sekolah untuk di sembuhkan? Elainepun tersenyum tipis. Saat dirinya sudah kuat untuk berjalan, Elaine pamit pada Chika-san dan berterima kasih pada beliau. Sambil menggenggam novel di tangannya. Elaine, berjalan pergi tinggalkan Majijo. Yang lagi-lagi, diawasi oleh seorang Frieska dari ruangan Rappapa, dan juga oleh…
Seorang Melody dari ruangan pribadinya...
TBC
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Wuih!! Akhirnya kelar juga nih chapter 2 nya!! Maaf kalau adegan actionnya kurang dapet >,< feelnya agak ilang… ehe ehe ehe…
Tuh yang nanyain Hamids! Udah muncul tuh :v Plus Andela, Michelle sama Nadse malah. Pasti pada nanya lagi nih “sekarang Hamidsnya dimana?” sabar atuh! Tunggu aja.
Ada pertanyaan apa lagi? Veranda? Aduhhh ini jugaaa sabarrr aja. Apa lagi? Siapa cewek-cewek yang pake goth loli? Tebak ae :v gw udah kasih clue di narasinya kok~
Yaudah, gitu aja.

Gancil nih
Next: Gracia in action? Nabilah and Ghaida? Elaine vs Duo gadis Goth Loli.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih telah membaca. Ditunggu komennya :)
Sankyuu~~ m(__)m

-Jurimayu14-

1 comment:

  1. Apakah ChelVan Thor????
    Wkwkwkw paling suka adegan pas ada Andela ama Nabilah
    Iya yah kurang dapet feel nya tp ini jg udah keren Thor..mangat

    ReplyDelete