Thursday, May 7, 2015

Hati yang Kau Sakiti (GreMids)

Hoi hoi hoi~
Coba bikin GreMids nih~
Semoga suka deh ya, soalnya bikinnya cuma sekali baca ulang.
Mana pas nulis endingnya sempet ilang feel karena nyokap nonton ((VERpacu dalam)) Teteh -.-
Ka zet el dah wa hufft.

Oh iya, sesuai judulnya. Idenya muncul dari lagu Rossa dengan judul yang sama wkwkw *galauers beut ya,,
yaudahlah, met baca~


Hati yang Kau Sakiti (GreMids)


Kota Bogor yang kita sebut sebagai Kota Hujan itu pada sore hari sudah dibasahi oleh rintikan hujan yang begitu deras. Bumi seakan ikut menangis melihat seorang gadis cantik di kamarnya yang dari tadi terus meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.
Entah apa yang ditangisi gadis itu. Dia duduk di lantai sambil bersandar pada ranjang. Ya, gadis cantik itu duduk di lantai sambil memeluk sebuah amplop. Air mata terus mengaliri pipinya. Wajahnya sudah memerah. Matanya begitu sembab.
“Hamids… kenapa?” Panggil gadis itu ditengah isak tangisnya.
Gadis itu terus menangis. Dadanya begitu sesak. Tenggorakannya serak. Nafasnya sudah tidak beraturan.
“Hamids…”
Lagi-lagi, gadis itu menyebut Hamids. Siapa? Siapakah Hamids? Siapa Dia?
Tiba-tiba HP berlogo apel milik gadis itu berbunyi. Hanya untuk mengambil HP yang tergeletak di kasur saja, gadis itu merasa malas sekali. Gadis itu memilih mengabaikan HPnya yang terus lantunkan lagu ‘Love Story’ milik Taylor Swift. Setelah beberapa kali berbunyi, akhirnya nada dering itu berhenti. Tidak ada lagi panggilan. Dengan lunglainya, gadis itu akhirnya bangkit. Mengambil HPnya.
Gadis itu membuka fitur pengaman di HPnya tertulis ‘3 missed calls: Your Hamids’. Gadis itu menarik salah satu sudut bibirnya, tersenyum miris. Senyuman yang senada dengan matanya yang jelas-jelas menunjukkan kesedihan.
Gadis itu diam duduk diatas ranjangnya, memandangi wallpaper HPnya. Foto dirinya bersama sesosok pemuda tampan. Gadis itu terlihat jauh lebih muda dari sekarang ini. Di foto, gadis itu begitu terlihat sangat bahagia sambil memegangi sebuah tangkai bunga.
Lagi, butir air mata jatuh dari mata indahnya. Pikiran gadis itu melayang pada masa lalunya…
-Flashback-
Di taman sebuah sekolah, terlihat segerombolan cowok berjalan bersama. Mereka berlima terlihat begitu rusuh. Diantara kelima murid cowok itu, salah satunya yang berdiri di tengah terlihat di seret-seret oleh dua temannya yang lain. Tentu saja hal itu menarik perhatian para murid di sekeliling mereka. Termasuk tiga murid gadis yang sedang rumpi-rumpi lucuk di bangku yang ada di pinggir taman.
“Ayolah Mids. Takut amat sih lo.” Ucap pemuda jangkung yang menyeret lengan kiri temannya.
“Gw belum siap Mar. Please, Mar!” Jawab si pemuda yang diseret.
“Yaelah payah lo, Mids! Gw udah minta tolong Elaine tau gak buat nahan Gracia.” Ucap pemuda tampan yang menyeret lengan kanan Hamids.
“Tapi Dam. Gw beneran gak siap.”
“Yaelah payah lo! Udah elah tinggal nembak doang!” Ucap Adam kembali.
“Tau nih, kalau kelamaan, gw yang nembak Gre duluan~~” Ledek teman mereka yang berjalan di belakang ketiganya.
“Wah! Ngada-ngada lo Dhif!” Protes Hamids tidak terima.
“Makanya tembak!” Teriak Mario, Adam, Nadhif kompak.
“Ssst!! Yaudah sih gak usah pake teriak-teriak berapa?” Tanya Hamids kesal. “Iya, iya. Ini gw tembak. Siniin bunganya.” Hamids mengambil setangkai bunga yang dipegang temannya yang sedari tadi hanya diam.
Jantung Hamids berdegup begitu kencang, keringat mengalir di lehernya. Tangannya dingin. Dengan keberanian yang akhirnya sudah terkempul, Hamids akhirnya berjalan menghampiri tujuan awalnya. Seorang gadis yang duduk diantara kedua temannya.
“Sorry ya Gre, Sof, Len gw ganggu.”
“Gak papa kok.” Jawab Elaine dan Sofia kompak. Keduanya tersenyum seperti sudah tahu seseuatu.
“Gre, maaf nih sebelumnya. Anu-” Hamids menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Anu--”
“Kenapa Mids?” Tanya Gracia yang penasaran. Sesungguhnya gadis itu sudah tahu apa tujuan pemuda jangkung dihadapannya itu menghampirinya. Namun, Gracia tetap menunggu.
“Anu Gre-” Hamids menoleh kebelakangnya, melihat temannya yang terlihat tidak sabar. Apalagi Mario dan Adam yang sampe memperegakan gaya cara menembak (?). “Gw--”
“Iya??”
“Gw… Gw suka sama lo.” Hamids lalu duduk berlutut pada Gracia. “Would you be my girl?” Tanya Hamids sambil mengulurkan bunga yang dibawanya pada Gracia.
Gracia menoleh menatap kedua temannya secara bergantian. Elaine dan Sofia mengangguk lembut. Setelah menghembuskan nafasnya, tanpa ragu, Gracia mengambil bunga tersebut. Hamids yang sedari tadi menunduk sambil memejamkan mata langsung menatap ke arah Gracia yang tersenyum lembut padanya itu.
“Gre jadi--”
“Aku terima. Aku mau jadi pacar kamu.” Hamids langsung tersenyum lebar mendengar jawaban Gracia.
Pemuda itu langsung bangkit, memegang tangan Gracia. Selayaknya wasit pertandingan tinju, Hamids mengangkat tangan Gracia sambil tersenyum lebar pada keempat sahabatnya yang menunggu. Melihat itu, keempat sahabat Hamids langsung berlari memeluk Hamids dan mengucapkan selamat. Kecuali Adam yang malah memeluk Elaine.
“Woy Dam!! Gw yang jadian Dam!!” Protes Hamids.
“Oh iya! Maaf salah.” Adam melepaskan pelukannya pada Elaine yang hanya tersipu malu itu.
Setelah bercanda tawa singkat, mereka mengambil foto Gracia berdua Hamids.

-Flashback End-

Wpp nya ini ceritanya xD
Gracia memejamkan matanya, kepalanya terasa pening. Mungkin efek terlalu banyak menangis. Gracia merebahkan tubuhnya ke kasur. Dia menatap ke samping kirinya, hujan masih turun membasahi bumi.
Tiba-tiba HP yang masih digenggamnya bergetar, memperlihatkan ada sebuah pesan masuk. Lagi-lagi tulisan ‘1 message received: Your Hamids’ terlihat di layar HP Gracia. Gracia menghela nafasnya sebelum membuka pesan yang baru saja masuk itu.
 Your Hamids: Gre, kamu baik-baik aja, kan?
Gracia meremas HPnya. Kesal, ada rasa kesal yang dirasakannya. Atau sangat-sangat dirasakannya. Dilemparnya HP itu, dan…
PRANG!!
HP itu di lemparnya hingga memecahkan cermin yang biasa digunakannya untuk melihat pantulan dirinya. Pantulan dirinya yang keadaannya sudah begitu buruk saat ini.
Gracia berjalan dengan perlahan menuju meja riasnya, memandangi cerminnya yang baru saja pecah. Kaca-kaca pecahannya berserakan di atas meja riasnya. Melihat foto yang terpajang di atas meja riasnya, Gracia mengamuk. Kembali kesal. Dihempaskannya foto dan berbagai alat make-upnya ke lantai. Tangannya menyapu segala benda yang ada di atas meja riasnya, termasuk pecahan cerminnya yang otomatis melukai tangan putihnya.
Gracia berlutut di lantai, meringis kesakitan karena ulahnya sendiri. Dipegangnya bagian telapak tangan yang tentunya teteskan darah yang begitu segar. Dihadapannya foto yang barusan terlempar itu sudah tidak pada bingkainya. Foto yang berlatar belakang sebuah lapangan basket, tentunya dengan Gracia, Elaine dan pacar mereka sebagai objek utamanya.
-Flashback-
Duduk sambil memegangi DSLRnya bersama Elaine kedua gadis cantik itu menunggu di bangku yang ada di pinggir lapangan basket. Mereka membicarakan berbagai hal sembari menunggu pacar mereka. Tak jarang Gracia sesekali mengambil potret gambaran anak-anak yang sedang main basket.
Tak lama kedua pemuda yang mereka tunggu datang dengan mobil Toyota Camry berwarna Hitam. Dari tempat supir, Adam yang mengenakan seragam tim basket Phoenix Suns itu turun dan langsung berlari memeluk dari belakang gadis mungil yang sedari tadi sedang memainkan sedotan. Tanpa ragu, pemuda tampan itu mencium lembut pipi Elaine, spontan membuat wajah gadis itu memerah.
Serupa tapi sangat tak sama, dari belakang Hamids langsung mengacak-ngacak rambut gadis yang mengenakan jersey Real Madrid bernomer punggung 7 yang sedang memainkan DSLRnya.
“Ahh~ Hamids apaan sih, berantakan tau.” Protes Gracia yang langsung merapihkan rambutnya sambil memanyunkan bibirnya. Cemberut.
“Ya ampun gitu aja ngambek.”
“Abis kamunya sih jail.” Ucap Gracia masih cemberut.
“Maaf deh princess.” Ucap Hamids sambil berlutut dan mencubit kedua pipi Gracia.
“Orang mah lu cium gitu, ini malah dicubit.” Komen Adam yang masih berdiri memeluk Elaine yang duduk di depannya.
“Suka-suka gw kek Dam. Udah lu ah ambil bolanya gih Dam.” Perintah Hamids.
“Bola yang mana?” Tanya Adam sambil menaik-naikan kedua alisnya.
“Maksud lu apaan, Dam? Wah lu mikir kotor, ya?” Curiga Hamids.
“Wah, lu tuh yang pikirannya kotor. Kan kita bawa dua bola. Dasar oon lo.”
Saat Hamids ingin menghajar Adam, pemuda itu langsung kabur kembali ke mobilnya. Setelah Adam mengambil bola basket mereka, keempatnya bermain 2 vs 2. Permainan itu terus berlangsung sengit, sengit antara Adam dan Hamids saja sih. Gracia dan Elaine main dengan santai tidak seserius pacar mereka.
Setelah 1 jam bermain, Hamids dan Adam langsung tepar. Keduanya terkapar di lapangan basket. Tapi tidak dengan gadis-gadis mereka. Elaine dan Gracia terlihat sedang latihan menembak.
“Dam, ajarin dong.” Pinta Elaine.
“Duh Kwek, pegel aku.” Jawab Adam yang masih tiduran dan memejamkan mata itu.
“Gitu deh, Adam~~” Panggil Elaine manja.
“Sana Dam ajarin. Cewek lo ngambek terus balik ke Neptunus repot lu.”
“Haduh, iya iya.” Adam dengan lemasnya akhirnya bangkit dan menghampiri Elaine. “Sini sini, mau belajar nembak dari mana?”
“Sini~~”
“Pertama arahin dulu ke ring terus…” Bukannya memegang tangan Elaine, Adam malah merangkul pinggang gadis itu dan memeluknya dari belakang.
Melihat pemandangan itu, Hamids langsung protes. “Main basket woy!! Malah adegan Titanic!!”
“Oh iya maaf!” Elaine yang tersipu malu hanya tertawa kecil.
Adampun mulai mengajari Elaine cara menembak. Sementara Hamids masih tiduran di lapangan basket. Melihat itu, Gracia lalu duduk disampingnya dalam diam. Memandangi setiap inci wajah tampan kekasihnya. Diusapnya lembut wajah pemuda yang bermain basket dengan Jersey Chelsea itu.
“Gre.” Panggil Hamids pelan sambil memegang tangan Gracia. Diusapnya tangan itu dengan lembut. Perlahan Hamids membuka matanya, menatap gadis pecinta Cristiano Ronaldo itu dengan lembut dan dalam. “Aku sayang sama kamu.”
“Apasih Hamids tiba-tiba banget.” Gracia memukul lembut pundak Hamids, terlihat tidak suka tapi sejujurnya gadis itu sangat menyukainya. Terpancar dari pipinya yang sudah merona.
“Hehehe. Tapi, aku gak gombal kok. Aku kan bukan Adam.”
“Iya aku tau kok.” Jawab Gracia yang memalingkan wajahnya dari Hamids.
Masih memegangi tangan Gracia, Hamids lalu duduk di samping Gracia. “Gre, tatap aku dong.” Gracia masih diam. “Gre, kamu marah ya? Maaf deh.”
“Ihh gak kok. Aku--” Chu~ Hamids mencium lembut bibir pink Gracia saat gadis itu menoleh. Kagetkan Gracia. Perlahan Gracia larut dalam ciuman itu sampai Adam menyadarkan mereka.
“Woy!!” Sontak Gracia langsung mendorong Hamids. “Nyuruh orang jangan mesra-mesraan, sendirinya main nyosor aja!!” Tambah Adam.
Gracia hanya menunduk malu, sementara Hamids nyegir kuda sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Elaine hanya bisa menggeleng melihat tingkah laku kedua pemuda itu.

Foto selingan~
-Flashback End-
Gracia masih duduk berlutut memandangi foto mereka di lapangan basket 7 tahun lalu itu. Kalau diingat sudah 10 tahun semenjak Hamids menembak Gracia saat masih SMA dulu. Gracia kembali menangis, sesenggukan. Diciumnya dan diusapnya tangan yang masih berdarah itu. Tangan yang dulu diusap lembut oleh Hamids. Pemuda yang kini…
Ding-dong!
Bunyi bel rumahnya sadarkan Gracia dari lamunannya. Dengan susah payah Gracia bangkit dan berjalan menuju keluar kamarnya. Sambil memegangi pegangan tangga rumahnya, Gracia turun dari lantai dua rumahnya. Menuju lantai satu rumahnya yang sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan. Namun, Gracia seperti tidak peduli. Darah di tangannya saja dibiarkan olehnya menempel di pegangan tangga, tembok dan laci tempatnya menaruh kunci rumah.
Ding-dong!
Gracia mengambil kunci rumahnya. Lalu berjalan gontai ke depan pintu rumahnya. Diintipnya orang yang ada di luar sana dari lubang pintu rumahnya. Ternyata sosok yang sangat tidak asing bagi Gracia yang ada disana. Gadis yang kini menggunakan kacamata karena minus berdiri tersenyum sambil melambaikan tangan pada Gracia.
Gracia kembali menutup lubang pintunya. Dia menyandarkan dirinya di pintu. Terlihat ragu untuk membukan pintu untuk sahabat lamanya. Berkali-kali Elaine mengetok pintu berwarna putih itu. Tapi Gracia masih mengabaikannya.
“Kwek, udahlah. Kita balik aja.” Ucap suara seorang pria. Gracia kembali mengintip ternyata pria itu adalah Adam, remaja tengil yang kini sudah jadi pria gagah.
“Gak bisa Dam. Aku khawatir sama Gracia. Aku gak akan mau balik sebelum ketemu Gracia.” Jawab Elaine.
Adam hanya menghela nafasnya. Mendengar ucapan Elaine, Gracia meluluh. Dibukanya pintu rumahnya. Ditatapnya datar gadis mungil yang sudah lama tidak dilihatnya.
“Gracia?” Terlihat betapa rindunya seorang Elaine Hartanto pada Gracia. Namun naas, pelukannya ditolak mentah-mentah oleh Gracia. “Gre kenapa?”
“Buat apa kamu kesini?”
“Gre aku--”
“Lebih baik kamu sama Adam pulang. Gak ada gunanya.”
Elaine terdiam, dia menghela nafasnya. Ditatapnya seorang Shania Gracia dengan lembut. Wajah cantik sahabatnya itu telah hilang ditelan kehancuran yang menggerogoti hatinya yang sangat terluka. Bibir pink sahabatnya terlihat begitu pucat, rambut indahnya begitu berantakan. Miris. Elaine begitu miris melihat sahabatnya yang bak putri telah berubah bagaikan kena kutukan nenek sihir.
Elaine menatap lembut Gracia yang menatap balik dirinya dengan sinis. Ingin rasanya Elaine jadi sandaran sahabatnya itu, memeluk sahabatnya. Tapi apa daya, kedatangannya saja sudah tidak disukai oleh Gracia. Pandangan Elaine turun ke pakaian putih Gracia yang terdapat corak berwarna merah. Mata Elaine membulat saat melihat tangan Gracia yang meneteskan darah.
“Gre, tangan kamu--” Gracia langsung menyembunyikan tangannya di balik punggungnya. “Gre jangan aneh-aneh aku mohon.”
“Aku bukan gadis bodoh, ini kecelakaan.”
“Bener kamu gak aneh-aneh?”
“Kamu udah gak percaya sama aku Len?” Diam. Keduanya larut dalam keheningan. Sampe Elaine kembali membuka suaranya.
“Gre, Hamids-”
“Apa? Kenapa sama dia?”
“Hamids khawatir sama kamu.”
“Ohh ya? Tunggu. Jangan-jangan kamu kesini disuruh dia?!”
“Gak gitu, aku--”
BRAK!!
Gracia membanting pintu rumahnya lalu mengunci pintu rumahnya.
“Pergi dari sini! Aku muak! Aku muak liat kalian!! Gak usah kemari kalau cuman karena Hamids!!” Bentak Gracia.
Tak dapat dibendung, air mata mulai mengalir dari sudut mata sipit Elaine. Dengan lesunya, Elaine berjalan balik menghampiri Adam. Sementara di dalam rumahnya, Gracia sedang memandangi Jersey asli Real Madrid bertanda tangan Cristiano Ronaldo yang dibingkai dan dipajangnya di ruang tamu rumahnya.
-Flashback-
Sambil duduk di sofa ruang tamunya, Gracia memandangi Hamids yang sedang membongkar berbagai barang yang dibelinya sepulang pemuda itu dari Eropa.
“Seru banget Gre, aku sempet ngobrol langsung sama Hazard! Bisa bayangin gak kamu? Mimpi coba apa aku.” Ucapnya yang sedang memamerkan aksesoris Chelsea pada Gracia. Gracia hanya tersenyum melihat itu. “Dan bukan cuman aku yang beruntung. Kamu juga.”
“Kok aku juga?” Tanya Gracia heran.
“Iyalah, liat dong.” Hamids mengibaskan Jersey Real Madrid yang baru dibelinya itu, membentangkan dan memamerkannya pada Gracia. “Coba liat ada tanda tangan siapa?”
Gracia mendekatkan wajahnya pada jersey yang dipegang Hamids. “Ro-Ronaldo??”
“Ehehe.” Hamids meggosok-gosok hidungnya. Terlihat bangga.
“Mids, itu buat aku?”
“Ehehe. Of course my princess.”
“Ahhh Hamids~~” Gracia langsung bangkit memeluk Hamids.
“Hehehe. Dapet salam dari Ronaldo, katanya kamu harus always smile. Gak boleh sedih-sedih.” Ucap Hamids sambil mengusap lembut kepala Gracia dan mencium kening Gracia.
“Ihh!! Iya deh demi babang Ronaldo.”
“Lah? Gak demi aku nih?”
“Gak ah, males.”
“Idih gitu!!”
-Flashback End-
Ditatapnya tajam pajangan itu. Tanpa pikir panjang, Gracia mengambil pajangan bebek yang ada di meja ruang tamunya. Dilemparnya dengan sekuat tenaga benda itu ke arah pajangan Jersey Ronaldo yang menggantung itu.
PRANG!!
Begitu keras bunyi pecahan kacanya terdengar. Sontak Elaine yang masih belum pergi langsung berlari kembali ke arah pintu rumah Gracia. Mengabaikan hujan yang masih turun. Mengabaikan panggilan Adam, yang dengan refleknya juga langsung mengejar gadis yang sudah berstatus jadi istrinya.
“GRE!!”
“Tahan Elaine!!” Adam memeluk Elaine dari belakang menahan laju lari istrinya.
“Lepasin aku Dam!! Gracia butuh aku!!” Untuk pertama kalinya, seorang Elaine menolak pelukan suaminya. Kecewa, tidak. Adam tahu kenapa istrinya sampe segitunya. “Adam lepasin!!”
“CUKUP ELAINE!!” Bentak Adam untuk pertama kalinya selama 12 tahun menjalin kasih dengan Elaine. “Percuma! Percuma kamu paksa Gracia. Hampir setiap minggu di setiap bulannya kita mendatanginya. Tapi apa? Gre nolak kita.”
“Tapi aku khawatir Dam! Aku gak mau kehilangan Gre. Kamu tau kan hari ini-”
“Dengerin aku.” Adam memegangi wajah Elaine dengan kedua tangannya. “Kamu percaya sama Gracia, kan?” Elaine memandangi wajah Adam lalu mengangguk pelan. “Kalau gitu sekarang kita pulang. Kamu tenang aja. Gracia akan baik-baik aja. Aku apalagi kamu, tahu dengan baik siapa itu Gracia. Dia gadis yang kuat, dia akan datang, dia akan buktikan pada kamu dan Hamids dia bisa.” Elaine terlihat berpikir. “Percayalah pada Gracia. Doakan dia, ya?” Elaine hanya mengangguk. “Yaudah, sekarang kita balik.” Adam kembali membawa Elaine masuk ke dalam mobilnya.
Di dalam mobil, Elaine duduk sambil memeluk dirinya sendiri. Jaket milik Adam masih tidak cukup menghangatkan tubuhnya. Adam hanya menatap sedih istrinya. Sesungguhnya dia tidak bisa bayangkan, jika Elaine saja seperti ini bagaimana dengan Gracia yang mengalaminya? Sejujurnya Adam masih tak habis pikir, kenapa dengan tega sahabatnya menyakiti Gracia. Gadis yang dia gadang-gadang sebagai wanita impiannya?
-Flashback-
Duduk di depan sebuah kafe, Gracia memainkan dengan handal DSLR miliknya. Tak lama, sambil bergandengan tangan Adam dan Elaine datang menghampirinya. Setelah salam dan cipika-cipiki, keduanya duduk di hadapan Gracia.
“Maaf ya Gre, Adam tadi lama banget.”
“Maaf, maaf.”
“Ahaha yaudah gak apa-apa, kok. Langsung aja. Jadi pasangan yang mau nikah ini konsep pre-weddingnya mau gimana?” Tanya Gracia. “Nih, aku punya contoh-contoh dari yang pernah aku ambil juga.” Gracia menunjukkan hasil-hasil fotonya yang ada di layar laptopnya pada keduanya.
Setelah rapat sebagai photographer dan client itu terjadi. Obrolan sebagai sahabat kembali dibuka oleh Adam.
“Gre, Hamids mana deh? Susah amat gw telpon akhir-akhir ini.”
“Hmm aku juga gak tau Dam, akhir-akhir ini kan aku juga sibuk. Tadi aja aku hunting gambar dulu di sekitar sini.” Jawab Gracia sambil mengarahkan kameranya ke seberang.
Namun, betapa terkejutnya gadis itu saat melihat kekasihnya di seberang sana merangkul gadis lain dengan mesranya. Gracia memutar tele kameranya agar lebih jelas. Jantungnya berdegup tak beraturan. Yang dilihatnya benar-benar Hamids. Dan yang lebih parah, dia dan gadis yang tidak di kenal Gracia itu masuk ke dalam toko penyewaan baju pengantin.
Sontak Gracia langsung berdiri, tanpa izin berlari ke seberang mengabaikan panggilan Elaine dan Adam. Mau tak mau, Elaine mengikuti.
Di dalam toko tersebut Hamids dan gadis lain itu sedang berbincang dengan seseorang yang sepertinya perancang busana dari gaya berpakaiannya.
“Ahh~ jadi namanya Indah. Sungguh wajahnya juga indah sesuai namanya.” Puji sang perancang busana.
“Iya dong, calon istrinya Hamids gitu loh.” Ucap Hamids bangga. Gadis loli disampingnya itu hanya tersenyum malu-malu lollipop.
“Hamids!!” Teriak Gracia dari depan pintu toko. Sontak ketiga orang yang ada di dalam langsung menatap Gracia.
“Grecot?”
Air mata mengalir dari kedua sudut mata Gracia melihat dengan tak berdosanya, Hamids menggenggam erat tangan perempuan lain di hadapan Gracia. Sadar apa yang diperhatikan Gracia, Hamids melepaskan genggamannya.
“Kamu jahat Mids.” Gracia kembali berlari dari toko tersebut. Cukup baginya.
Saat Hamids mau mengejar, dirinya dihentikan dengan keberadaan Elaine.
“Aku gak nyangka Mids.”
“Len aku bisa jelasin ini.” Elaine hanya menggeleng sebelum kembali mengejar Gracia.
Hamids hanya menatap keduanya cengo, Hamids menoleh ke arah kirinya. Betapa terkejutnya Hamids saat menyadari dari seberang sana, sahabat baiknya, seorang Adam Yuwono menatapnya tajam penuh amarah. Tatapan yang juga tunjukan kekecewaannya.
-Flashback End-
Perut Gracia berbunyi, sadarkan gadis itu dia sama sekali belum memberi makan untuk cacing-cacing ditubuhnya sejak pagi hari. Dengan kekuatan yang tersisa, Gracia coba bangkit. Namun, baru sekali dia melangkahkan kakinya…
BRUG!!
Tubuhnya terjatuh… gadis itu pingsan…
-Flashback-
“Gracia!” Dengan terburu-buru dan seenaknya, Hamids masuk ke dalam rumah Gracia. Kagetkan Adam yang duduk dalam diam di ruang tamu.
“Mau ngapain lo kesini?” Tanya Adam yang spontan langsung menghalangi jalan Hamids.
“Gw mau ketemu Gracia. Jangan halangin gw!” Bentak Hamids.
“Mau ngapain lagi lo nemuin Gracia? Bukannya lo udah punya calon istri?” Balas Adam dengan nyolotnya.
Hamids menatap Adam. “Apa urusannya sama lo? Ini bukan urusan lo.” Hamids mendorong Adam.
“Ini urusan gw juga karena--”
“Stop!!!” Teriak Elaine yang muncul dari tangga.
“Len, Gracia dimana?”
“Di kamarnya.”
Dengan cepatnya Hamids langsung berlari melewati Elaine dan menaiki tangga menuju kamar Gracia. Dibukanya pintu kamar Gracia dengan perlahan. Di dalam, Gracia sedang duduk di tepi ranjang kasurnya sambil menangis. Tentu saja.
“Gre.”
“Mau apa kamu?”
“Aku mau ngomong sama kamu.” Ucap Hamids sambil berlutut di hadapan Gracia lalu menggenggam kedua tangan Gracia.
“Mau ngomong apa? Siapa gadis itu.” Tanya Gracia sambil menatap tajam dan dalam mata Hamids.
“Namanya Indah, calon istri aku.”
“Sejak kapan? Sejak kapan kamu sama dia?”
Hamids menghela nafasnya. “Kita udah pernah bahas ini, kan? Kamu udah tau soal ini. Kenapa harus kamu tanyakan lagi?” Gracia hanya diam. “Kita pernah membicarakan ini sebelumnya. Kamu tau, papa sama mama aku menginginkan aku menikah. Tapi saat aku meminta kamu. Kamu menolak kan?” Gracia masih diam. “Jawab aku Gre. Jangan buat aku jadi yang paling bersalah disini.” Tiba-tiba bulir air mata keluar dari sudut mata Hamids. “Untuk melawan orang tuaku saja aku tidak berani. Apalagi melawan Tuhan. Kamu tidak pernah memaksaku, itu juga yang aku lakukan. Aku juga tidak akan memaksa kamu.”
“Pasti ada jalan Hamids.”
“Apa? Bagaiamana? Meninggalkan orang tuaku dan melawan takdir Tuhan? Atau melepas kepercayaan kita begitu saja karena cinta bukan karena sebuah cahaya? Mungkin aku bukan anak sholeh, tapi kamu umat Kristiani yang patuh. Betapa jahatnya aku kalau memaksamu keluar dari hal yang kau pegang teguh selama hidup kamu?”
“Aku mau Mids.”
“Ucapanmu itu nafsu Gracia. Baiklah kalau kamu kekeuh. Aku tanya sekarang. Maukah kau mengikuti aku ucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi istriku?” Gracia kembali terdiam. Hamids menelan ludahnya. “Kamu bukan gadis bodoh, aku senang otak kamu masih bisa berpikir lurus. Syukurlah.”
“Kita bisa menikah dengan perbedaan agama kita Hamids!”
“Tapi, aku gak bisa Gre! Kamu tau mama aku punya jantung. Aku gak mau ngecewain beliau.”
“Hamids!”
“Cukup Gracia.” Hamids berdiri. “Hubungan kita sudah selesai. Aku hargai keberanian kamu untuk melawan dunia. Tapi, mungkin bukan aku. Maafkan aku. Semua sudah terlambat sekarang.”
“Hamids, aku gak mau Mids. Aku mohon.”
Sambil memejamkan matanya, Hamids mencium lembut kening Gracia. “Aku sayang kamu. Maaf.” Perlahan Hamids pergi, lepaskan genggaman tangannya dari Gracia.
-Flashback End-

Ups
Gracia mengerjapkan kedua matanya. Begitu kabur pemandangan yang dilihatnya. Gracia mengusap matanya, darah sudah tidak lagi menetes dari tangannya yang terluka. Gracia duduk lalu bangkit perlahan. Hujan sudah berhenti dan jam sudah menunjukkan pukul 19.48 WIB. Dengan sisa tenaganya, Gracia berjalan ke dapur, mengisi perutnya dengan makanan seadanya.
Selesai itu Gracia kembali menuju kamarnya yang seperti kapal pecah, tapi Gracia tidak peduli. Gracia berjalan menuju kamar mandi, membersihkan dirinya. Tidak memakan waktu lama Gracia selesai dengan urusannya di kamar mandi.
Gracia mencari dress di lemarinya, diambilnya asal. Dengan hati-hati, berjalan menuju cerminnya yang telah hancur. Wajahnya lusuh, bibirnya pucat, matanya sembab. Gracia membuka lacinya diambilnya perban dan obat merah untuk mengobati bekas lukanya.
Beberapa menit setelah mengobati luka dan dandan sewajarnya. Gracia bangkit mengambil amplop yang tadi pagi sore ditangisinya. Gracia menuruni anak tangga rumahnya, mengambil kunci mobilnya. Setelah keluar dari rumahnya, Gracia memacu mobilnya.
Hujan kembali turun membasahi mobilnya saat Gracia tiba di sebuah kafe. Seakan ikut bersedih dengan keadaan Gracia. Tanpa payung, Gracia berjalan melangkah masuk ke dalam bagian kafe itu. Di taman luas yang ada di kafe tersebut, sedang dilangsungkan sebuah acara. Gracia terus melakang ke dalam, betapa indahnya berbagai hiasan yang menghiasi acara tersebut.
Di tengah taman luas itu, terdapat hiasan besar berbentuk huruf ‘H & I’ sangat indah dengan lampu yang mengelilinginya. Gracia tersenyum miris. Dia mendongakkan kepalanya, hujan rintik-rintik terus membasahi dirinya. Gracia kembali tersenyum. Berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi di depannya.
Gracia menoleh jauh ke kanannya. Di tatapnya pemandangan yang tidak asing dalam sebuah pernikahan. Salam-salaman ucapan selamat dari tamu untuk para pengantin.
Dengan gagahnya, Hamids berdiri di tengah-tengah terlihat begitu tampan. Disampingnya berdiri gadis cantik yang kini sudah resmi jadi istrinya itu. Sambil mengembangkan senyumnya, Hamids mengucapkan terima kasih pada setiap tamunya.
Tiba giliran sahabat-sahabatnya yang menyalami. Elaine yang mengenakan dress biru menjadi yang pertama mengucapkan selamat. Di belakangnya, Adam yang mengenakan jas senada entah kenapa dengan senyum kecut mengucapkan selamat seadanya. Membuat Elaine menatapnya sinis. Hamids hanya bisa tersenyum miris, dia sangat tahu kenapa Adam seperti itu,
Dibelakang Adam ada Nadhif. “Kenalin nih Mids. Cewek gw.” Ucap Nadhif.
“Wih entap! Hamids.”
“Selamat atas pernikahannya, ah aku Michelle.” Ucap gadis cantik yang katanya pacar Nadhif.
“Eh Ayana! Kapan nyusul nih sama Mario?” Tanya Hamids saat bersalaman dengan gadis yang memiliki mata sayu.
“Ahh, gak tau tuh Mario!”
“Ahaha. Mar ada yang udah ngode tuh.” Ucap Hamids saat bersalaman dengan Mario.
“Iyeee. Tunggu aja.” Jawab singkat Mario.
“Ehh, Okta mana? Kok gak ada?”
“Gak tau tuh bocah. Misah tadi.”
Hamids terus bersalaman dengan para tamu, hingga akhirnya dia menyadari, dari jauh sosok gadis yang dari dulu memenuhi isi hati dan pikirannya menatapnya dalam kesedihan bersama hujan yang turun membasahinya.
Ingin rasanya Hamids berlari dari tempatnya, menghampirinya, memeluknya, memayunginya. Tapi, siapalah dia ini sekarang? Hamids tersenyum miris saat menatap Gracia. Hingga senyumnya hilang saat seseorang yang dalam diamnya tiba-tiba memayungi Gracia dari belakang.
Gracia mendongak lalu menoleh ke belakang. Begitu terkejut melihat siapa orang yang memberinya payung. Pemuda jangkung yang dulu kurus. Sahabat lamanya. Pria gagah yang wajah kekanakannya masih melekat.
Tanpa kata dan izin, Gracia memeluk pria itu. Kagetkan pria yang mengenakan jas putih itu. membuat payung yang digenggamnya jatuh. Dengan ragu, pria itu perlahan memeluk balik Gracia. Membiarkan gadis itu menangis dalam dekapannya.
Dari jauh Hamids yang masih melihat hal itu kesal, cemburu, tapi ada rasa senang juga. Senang bila memang akhirnya Gracia berhasil melepaskan dan menemukan penggantinya. Sekalipun itu sahabatnya sendiri.
Okta.
END
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gimana? Suka gak?
Bikin baper gak? Bikin baper dong! ya, ya, ya!! *maksa
Endingnya GreTa wkwk xDD :P
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih telah membaca. Ditunggu komennya :)
Sankyuu~~ m(__)m

-Jurimayu14-

6 comments: