Hoi hoi hoi~
Coba bikin GreMids nih~
Semoga suka deh ya, soalnya bikinnya cuma sekali baca ulang.
Mana pas nulis endingnya sempet ilang feel karena nyokap nonton ((VERpacu dalam)) Teteh -.-
Ka zet el dah wa hufft.
Oh iya, sesuai judulnya. Idenya muncul dari lagu Rossa dengan judul yang sama wkwkw *galauers beut ya,,
yaudahlah, met baca~
Kota Bogor yang kita sebut sebagai
Kota Hujan itu pada sore hari sudah dibasahi oleh rintikan hujan yang begitu
deras. Bumi seakan ikut menangis melihat seorang gadis cantik di kamarnya yang
dari tadi terus meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.
Entah apa yang ditangisi gadis
itu. Dia duduk di lantai sambil bersandar pada ranjang. Ya, gadis cantik itu
duduk di lantai sambil memeluk sebuah amplop. Air mata terus mengaliri pipinya.
Wajahnya sudah memerah. Matanya begitu sembab.
“Hamids… kenapa?” Panggil gadis
itu ditengah isak tangisnya.
Gadis itu terus menangis. Dadanya
begitu sesak. Tenggorakannya serak. Nafasnya sudah tidak beraturan.
“Hamids…”
Lagi-lagi, gadis itu menyebut
Hamids. Siapa? Siapakah Hamids? Siapa Dia?
Tiba-tiba HP berlogo apel milik
gadis itu berbunyi. Hanya untuk mengambil HP yang tergeletak di kasur saja,
gadis itu merasa malas sekali. Gadis itu memilih mengabaikan HPnya yang terus
lantunkan lagu ‘Love Story’ milik Taylor Swift. Setelah beberapa kali berbunyi,
akhirnya nada dering itu berhenti. Tidak ada lagi panggilan. Dengan lunglainya,
gadis itu akhirnya bangkit. Mengambil HPnya.
Gadis itu membuka fitur pengaman
di HPnya tertulis ‘3 missed calls: Your Hamids’. Gadis itu menarik salah satu
sudut bibirnya, tersenyum miris. Senyuman yang senada dengan matanya yang jelas-jelas
menunjukkan kesedihan.
Gadis itu diam duduk diatas
ranjangnya, memandangi wallpaper HPnya. Foto dirinya bersama sesosok pemuda
tampan. Gadis itu terlihat jauh lebih muda dari sekarang ini. Di foto, gadis itu
begitu terlihat sangat bahagia sambil memegangi sebuah tangkai bunga.
Lagi, butir air mata jatuh dari
mata indahnya. Pikiran gadis itu melayang pada masa lalunya…
-Flashback-
Di taman sebuah sekolah, terlihat
segerombolan cowok berjalan bersama. Mereka berlima terlihat begitu rusuh.
Diantara kelima murid cowok itu, salah satunya yang berdiri di tengah terlihat
di seret-seret oleh dua temannya yang lain. Tentu saja hal itu menarik
perhatian para murid di sekeliling mereka. Termasuk tiga murid gadis yang
sedang rumpi-rumpi lucuk di bangku yang ada di pinggir taman.
“Ayolah Mids. Takut amat sih lo.”
Ucap pemuda jangkung yang menyeret lengan kiri temannya.
“Gw belum siap Mar. Please, Mar!”
Jawab si pemuda yang diseret.
“Yaelah payah lo, Mids! Gw udah
minta tolong Elaine tau gak buat nahan Gracia.” Ucap pemuda tampan yang
menyeret lengan kanan Hamids.
“Tapi Dam. Gw beneran gak siap.”
“Yaelah payah lo! Udah elah
tinggal nembak doang!” Ucap Adam kembali.
“Tau nih, kalau kelamaan, gw yang
nembak Gre duluan~~” Ledek teman mereka yang berjalan di belakang ketiganya.
“Wah! Ngada-ngada lo Dhif!” Protes
Hamids tidak terima.
“Makanya tembak!” Teriak Mario,
Adam, Nadhif kompak.
“Ssst!! Yaudah sih gak usah pake
teriak-teriak berapa?” Tanya Hamids kesal. “Iya, iya. Ini gw tembak. Siniin
bunganya.” Hamids mengambil setangkai bunga yang dipegang temannya yang sedari
tadi hanya diam.
Jantung Hamids berdegup begitu
kencang, keringat mengalir di lehernya. Tangannya dingin. Dengan keberanian
yang akhirnya sudah terkempul, Hamids akhirnya berjalan menghampiri tujuan
awalnya. Seorang gadis yang duduk diantara kedua temannya.
“Sorry ya Gre, Sof, Len gw
ganggu.”
“Gak papa kok.” Jawab Elaine dan
Sofia kompak. Keduanya tersenyum seperti sudah tahu seseuatu.
“Gre, maaf nih sebelumnya. Anu-”
Hamids menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Anu--”
“Kenapa Mids?” Tanya Gracia yang
penasaran. Sesungguhnya gadis itu sudah tahu apa tujuan pemuda jangkung
dihadapannya itu menghampirinya. Namun, Gracia tetap menunggu.
“Anu Gre-” Hamids menoleh
kebelakangnya, melihat temannya yang terlihat tidak sabar. Apalagi Mario dan
Adam yang sampe memperegakan gaya cara menembak (?). “Gw--”
“Iya??”
“Gw… Gw suka sama lo.” Hamids lalu
duduk berlutut pada Gracia. “Would you be my girl?” Tanya Hamids sambil
mengulurkan bunga yang dibawanya pada Gracia.
Gracia menoleh menatap kedua
temannya secara bergantian. Elaine dan Sofia mengangguk lembut. Setelah
menghembuskan nafasnya, tanpa ragu, Gracia mengambil bunga tersebut. Hamids
yang sedari tadi menunduk sambil memejamkan mata langsung menatap ke arah
Gracia yang tersenyum lembut padanya itu.
“Gre jadi--”
“Aku terima. Aku mau jadi pacar
kamu.” Hamids langsung tersenyum lebar mendengar jawaban Gracia.
Pemuda itu langsung bangkit,
memegang tangan Gracia. Selayaknya wasit pertandingan tinju, Hamids mengangkat
tangan Gracia sambil tersenyum lebar pada keempat sahabatnya yang menunggu.
Melihat itu, keempat sahabat Hamids langsung berlari memeluk Hamids dan
mengucapkan selamat. Kecuali Adam yang malah memeluk Elaine.
“Woy Dam!! Gw yang jadian Dam!!”
Protes Hamids.
“Oh iya! Maaf salah.” Adam
melepaskan pelukannya pada Elaine yang hanya tersipu malu itu.
Setelah bercanda tawa singkat,
mereka mengambil foto Gracia berdua Hamids.
-Flashback End-
Wpp nya ini ceritanya xD |
Gracia memejamkan matanya,
kepalanya terasa pening. Mungkin efek terlalu banyak menangis. Gracia
merebahkan tubuhnya ke kasur. Dia menatap ke samping kirinya, hujan masih turun
membasahi bumi.
Tiba-tiba HP yang masih
digenggamnya bergetar, memperlihatkan ada sebuah pesan masuk. Lagi-lagi tulisan
‘1 message received: Your Hamids’ terlihat di layar HP Gracia. Gracia menghela
nafasnya sebelum membuka pesan yang baru saja masuk itu.
Your
Hamids: Gre, kamu baik-baik aja, kan?
Gracia meremas HPnya. Kesal, ada
rasa kesal yang dirasakannya. Atau sangat-sangat dirasakannya. Dilemparnya HP
itu, dan…
PRANG!!
HP itu di lemparnya hingga memecahkan
cermin yang biasa digunakannya untuk melihat pantulan dirinya. Pantulan dirinya
yang keadaannya sudah begitu buruk saat ini.
Gracia berjalan dengan perlahan menuju
meja riasnya, memandangi cerminnya yang baru saja pecah. Kaca-kaca pecahannya
berserakan di atas meja riasnya. Melihat foto yang terpajang di atas meja
riasnya, Gracia mengamuk. Kembali kesal. Dihempaskannya foto dan berbagai alat
make-upnya ke lantai. Tangannya menyapu segala benda yang ada di atas meja
riasnya, termasuk pecahan cerminnya yang otomatis melukai tangan putihnya.
Gracia berlutut di lantai,
meringis kesakitan karena ulahnya sendiri. Dipegangnya bagian telapak tangan
yang tentunya teteskan darah yang begitu segar. Dihadapannya foto yang barusan
terlempar itu sudah tidak pada bingkainya. Foto yang berlatar belakang sebuah
lapangan basket, tentunya dengan Gracia, Elaine dan pacar mereka sebagai objek
utamanya.
-Flashback-
Duduk sambil memegangi DSLRnya
bersama Elaine kedua gadis cantik itu menunggu di bangku yang ada di pinggir
lapangan basket. Mereka membicarakan berbagai hal sembari menunggu pacar
mereka. Tak jarang Gracia sesekali mengambil potret gambaran anak-anak yang
sedang main basket.
Tak lama kedua pemuda yang mereka
tunggu datang dengan mobil Toyota Camry berwarna Hitam. Dari tempat supir, Adam
yang mengenakan seragam tim basket Phoenix Suns itu turun dan langsung berlari
memeluk dari belakang gadis mungil yang sedari tadi sedang memainkan sedotan.
Tanpa ragu, pemuda tampan itu mencium lembut pipi Elaine, spontan membuat wajah
gadis itu memerah.
Serupa tapi sangat tak sama, dari
belakang Hamids langsung mengacak-ngacak rambut gadis yang mengenakan jersey Real
Madrid bernomer punggung 7 yang sedang memainkan DSLRnya.
“Ahh~ Hamids apaan sih, berantakan
tau.” Protes Gracia yang langsung merapihkan rambutnya sambil memanyunkan
bibirnya. Cemberut.
“Ya ampun gitu aja ngambek.”
“Abis kamunya sih jail.” Ucap
Gracia masih cemberut.
“Maaf deh princess.” Ucap Hamids
sambil berlutut dan mencubit kedua pipi Gracia.
“Orang mah lu cium gitu, ini malah
dicubit.” Komen Adam yang masih berdiri memeluk Elaine yang duduk di depannya.
“Suka-suka gw kek Dam. Udah lu ah
ambil bolanya gih Dam.” Perintah Hamids.
“Bola yang mana?” Tanya Adam
sambil menaik-naikan kedua alisnya.
“Maksud lu apaan, Dam? Wah lu
mikir kotor, ya?” Curiga Hamids.
“Wah, lu tuh yang pikirannya
kotor. Kan kita bawa dua bola. Dasar oon lo.”
Saat Hamids ingin menghajar Adam,
pemuda itu langsung kabur kembali ke mobilnya. Setelah Adam mengambil bola
basket mereka, keempatnya bermain 2 vs 2. Permainan itu terus berlangsung
sengit, sengit antara Adam dan Hamids saja sih. Gracia dan Elaine main dengan
santai tidak seserius pacar mereka.
Setelah 1 jam bermain, Hamids dan
Adam langsung tepar. Keduanya terkapar di lapangan basket. Tapi tidak dengan
gadis-gadis mereka. Elaine dan Gracia terlihat sedang latihan menembak.
“Dam, ajarin dong.” Pinta Elaine.
“Duh Kwek, pegel aku.” Jawab Adam
yang masih tiduran dan memejamkan mata itu.
“Gitu deh, Adam~~” Panggil Elaine
manja.
“Sana Dam ajarin. Cewek lo ngambek
terus balik ke Neptunus repot lu.”
“Haduh, iya iya.” Adam dengan
lemasnya akhirnya bangkit dan menghampiri Elaine. “Sini sini, mau belajar
nembak dari mana?”
“Sini~~”
“Pertama arahin dulu ke ring
terus…” Bukannya memegang tangan Elaine, Adam malah merangkul pinggang gadis
itu dan memeluknya dari belakang.
Melihat pemandangan itu, Hamids
langsung protes. “Main basket woy!! Malah adegan Titanic!!”
“Oh iya maaf!” Elaine yang tersipu
malu hanya tertawa kecil.
Adampun mulai mengajari Elaine
cara menembak. Sementara Hamids masih tiduran di lapangan basket. Melihat itu,
Gracia lalu duduk disampingnya dalam diam. Memandangi setiap inci wajah tampan
kekasihnya. Diusapnya lembut wajah pemuda yang bermain basket dengan Jersey
Chelsea itu.
“Gre.” Panggil Hamids pelan sambil
memegang tangan Gracia. Diusapnya tangan itu dengan lembut. Perlahan Hamids
membuka matanya, menatap gadis pecinta Cristiano Ronaldo itu dengan lembut dan
dalam. “Aku sayang sama kamu.”
“Apasih Hamids tiba-tiba banget.”
Gracia memukul lembut pundak Hamids, terlihat tidak suka tapi sejujurnya gadis
itu sangat menyukainya. Terpancar dari pipinya yang sudah merona.
“Hehehe. Tapi, aku gak gombal kok.
Aku kan bukan Adam.”
“Iya aku tau kok.” Jawab Gracia
yang memalingkan wajahnya dari Hamids.
Masih memegangi tangan Gracia,
Hamids lalu duduk di samping Gracia. “Gre, tatap aku dong.” Gracia masih diam.
“Gre, kamu marah ya? Maaf deh.”
“Ihh gak kok. Aku--” Chu~ Hamids
mencium lembut bibir pink Gracia saat gadis itu menoleh. Kagetkan Gracia.
Perlahan Gracia larut dalam ciuman itu sampai Adam menyadarkan mereka.
“Woy!!” Sontak Gracia langsung
mendorong Hamids. “Nyuruh orang jangan mesra-mesraan, sendirinya main nyosor
aja!!” Tambah Adam.
Gracia hanya menunduk malu,
sementara Hamids nyegir kuda sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak
gatal. Elaine hanya bisa menggeleng melihat tingkah laku kedua pemuda itu.
Foto selingan~ |
-Flashback End-
Gracia masih duduk berlutut
memandangi foto mereka di lapangan basket 7 tahun lalu itu. Kalau diingat sudah
10 tahun semenjak Hamids menembak Gracia saat masih SMA dulu. Gracia kembali
menangis, sesenggukan. Diciumnya dan diusapnya tangan yang masih berdarah itu.
Tangan yang dulu diusap lembut oleh Hamids. Pemuda yang kini…
Ding-dong!
Bunyi bel rumahnya sadarkan Gracia
dari lamunannya. Dengan susah payah Gracia bangkit dan berjalan menuju keluar
kamarnya. Sambil memegangi pegangan tangga rumahnya, Gracia turun dari lantai
dua rumahnya. Menuju lantai satu rumahnya yang sama sekali tidak ada
tanda-tanda kehidupan. Namun, Gracia seperti tidak peduli. Darah di tangannya saja
dibiarkan olehnya menempel di pegangan tangga, tembok dan laci tempatnya
menaruh kunci rumah.
Ding-dong!
Gracia mengambil kunci rumahnya.
Lalu berjalan gontai ke depan pintu rumahnya. Diintipnya orang yang ada di luar
sana dari lubang pintu rumahnya. Ternyata sosok yang sangat tidak asing bagi
Gracia yang ada disana. Gadis yang kini menggunakan kacamata karena minus
berdiri tersenyum sambil melambaikan tangan pada Gracia.
Gracia kembali menutup lubang
pintunya. Dia menyandarkan dirinya di pintu. Terlihat ragu untuk membukan pintu
untuk sahabat lamanya. Berkali-kali Elaine mengetok pintu berwarna putih itu.
Tapi Gracia masih mengabaikannya.
“Kwek, udahlah. Kita balik aja.”
Ucap suara seorang pria. Gracia kembali mengintip ternyata pria itu adalah
Adam, remaja tengil yang kini sudah jadi pria gagah.
“Gak bisa Dam. Aku khawatir sama
Gracia. Aku gak akan mau balik sebelum ketemu Gracia.” Jawab Elaine.
Adam hanya menghela nafasnya.
Mendengar ucapan Elaine, Gracia meluluh. Dibukanya pintu rumahnya. Ditatapnya
datar gadis mungil yang sudah lama tidak dilihatnya.
“Gracia?” Terlihat betapa rindunya
seorang Elaine Hartanto pada Gracia. Namun naas, pelukannya ditolak
mentah-mentah oleh Gracia. “Gre kenapa?”
“Buat apa kamu kesini?”
“Gre aku--”
“Lebih baik kamu sama Adam pulang.
Gak ada gunanya.”
Elaine terdiam, dia menghela
nafasnya. Ditatapnya seorang Shania Gracia dengan lembut. Wajah cantik
sahabatnya itu telah hilang ditelan kehancuran yang menggerogoti hatinya yang
sangat terluka. Bibir pink sahabatnya terlihat begitu pucat, rambut indahnya
begitu berantakan. Miris. Elaine begitu miris melihat sahabatnya yang bak putri
telah berubah bagaikan kena kutukan nenek sihir.
Elaine menatap lembut Gracia yang
menatap balik dirinya dengan sinis. Ingin rasanya Elaine jadi sandaran
sahabatnya itu, memeluk sahabatnya. Tapi apa daya, kedatangannya saja sudah
tidak disukai oleh Gracia. Pandangan Elaine turun ke pakaian putih Gracia yang
terdapat corak berwarna merah. Mata Elaine membulat saat melihat tangan Gracia
yang meneteskan darah.
“Gre, tangan kamu--” Gracia
langsung menyembunyikan tangannya di balik punggungnya. “Gre jangan aneh-aneh
aku mohon.”
“Aku bukan gadis bodoh, ini
kecelakaan.”
“Bener kamu gak aneh-aneh?”
“Kamu udah gak percaya sama aku
Len?” Diam. Keduanya larut dalam keheningan. Sampe Elaine kembali membuka
suaranya.
“Gre, Hamids-”
“Apa? Kenapa sama dia?”
“Hamids khawatir sama kamu.”
“Ohh ya? Tunggu. Jangan-jangan
kamu kesini disuruh dia?!”
“Gak gitu, aku--”
BRAK!!
Gracia membanting pintu rumahnya
lalu mengunci pintu rumahnya.
“Pergi dari sini! Aku muak! Aku
muak liat kalian!! Gak usah kemari kalau cuman karena Hamids!!” Bentak Gracia.
Tak dapat dibendung, air mata
mulai mengalir dari sudut mata sipit Elaine. Dengan lesunya, Elaine berjalan
balik menghampiri Adam. Sementara di dalam rumahnya, Gracia sedang memandangi
Jersey asli Real Madrid bertanda tangan Cristiano Ronaldo yang dibingkai dan
dipajangnya di ruang tamu rumahnya.
-Flashback-
Sambil duduk di sofa ruang
tamunya, Gracia memandangi Hamids yang sedang membongkar berbagai barang yang
dibelinya sepulang pemuda itu dari Eropa.
“Seru banget Gre, aku sempet ngobrol
langsung sama Hazard! Bisa bayangin gak kamu? Mimpi coba apa aku.” Ucapnya yang
sedang memamerkan aksesoris Chelsea pada Gracia. Gracia hanya tersenyum melihat
itu. “Dan bukan cuman aku yang beruntung. Kamu juga.”
“Kok aku juga?” Tanya Gracia
heran.
“Iyalah, liat dong.” Hamids
mengibaskan Jersey Real Madrid yang baru dibelinya itu, membentangkan dan
memamerkannya pada Gracia. “Coba liat ada tanda tangan siapa?”
Gracia mendekatkan wajahnya pada
jersey yang dipegang Hamids. “Ro-Ronaldo??”
“Ehehe.” Hamids meggosok-gosok
hidungnya. Terlihat bangga.
“Mids, itu buat aku?”
“Ehehe. Of course my princess.”
“Ahhh Hamids~~” Gracia langsung
bangkit memeluk Hamids.
“Hehehe. Dapet salam dari Ronaldo,
katanya kamu harus always smile. Gak boleh sedih-sedih.” Ucap Hamids sambil
mengusap lembut kepala Gracia dan mencium kening Gracia.
“Ihh!! Iya deh demi babang
Ronaldo.”
“Lah? Gak demi aku nih?”
“Gak ah, males.”
“Idih gitu!!”
-Flashback End-
Ditatapnya tajam pajangan itu.
Tanpa pikir panjang, Gracia mengambil pajangan bebek yang ada di meja ruang
tamunya. Dilemparnya dengan sekuat tenaga benda itu ke arah pajangan Jersey
Ronaldo yang menggantung itu.
PRANG!!
Begitu keras bunyi pecahan kacanya
terdengar. Sontak Elaine yang masih belum pergi langsung berlari kembali ke
arah pintu rumah Gracia. Mengabaikan hujan yang masih turun. Mengabaikan
panggilan Adam, yang dengan refleknya juga langsung mengejar gadis yang sudah
berstatus jadi istrinya.
“GRE!!”
“Tahan Elaine!!” Adam memeluk
Elaine dari belakang menahan laju lari istrinya.
“Lepasin aku Dam!! Gracia butuh
aku!!” Untuk pertama kalinya, seorang Elaine menolak pelukan suaminya. Kecewa,
tidak. Adam tahu kenapa istrinya sampe segitunya. “Adam lepasin!!”
“CUKUP ELAINE!!” Bentak Adam untuk
pertama kalinya selama 12 tahun menjalin kasih dengan Elaine. “Percuma! Percuma
kamu paksa Gracia. Hampir setiap minggu di setiap bulannya kita mendatanginya.
Tapi apa? Gre nolak kita.”
“Tapi aku khawatir Dam! Aku gak
mau kehilangan Gre. Kamu tau kan hari ini-”
“Dengerin aku.” Adam memegangi
wajah Elaine dengan kedua tangannya. “Kamu percaya sama Gracia, kan?” Elaine
memandangi wajah Adam lalu mengangguk pelan. “Kalau gitu sekarang kita pulang.
Kamu tenang aja. Gracia akan baik-baik aja. Aku apalagi kamu, tahu dengan baik
siapa itu Gracia. Dia gadis yang kuat, dia akan datang, dia akan buktikan pada
kamu dan Hamids dia bisa.” Elaine terlihat berpikir. “Percayalah pada Gracia.
Doakan dia, ya?” Elaine hanya mengangguk. “Yaudah, sekarang kita balik.” Adam
kembali membawa Elaine masuk ke dalam mobilnya.
Di dalam mobil, Elaine duduk
sambil memeluk dirinya sendiri. Jaket milik Adam masih tidak cukup
menghangatkan tubuhnya. Adam hanya menatap sedih istrinya. Sesungguhnya dia
tidak bisa bayangkan, jika Elaine saja seperti ini bagaimana dengan Gracia yang
mengalaminya? Sejujurnya Adam masih tak habis pikir, kenapa dengan tega
sahabatnya menyakiti Gracia. Gadis yang dia gadang-gadang sebagai wanita
impiannya?
-Flashback-
Duduk di depan sebuah kafe, Gracia
memainkan dengan handal DSLR miliknya. Tak lama, sambil bergandengan tangan
Adam dan Elaine datang menghampirinya. Setelah salam dan cipika-cipiki,
keduanya duduk di hadapan Gracia.
“Maaf ya Gre, Adam tadi lama
banget.”
“Maaf, maaf.”
“Ahaha yaudah gak apa-apa, kok.
Langsung aja. Jadi pasangan yang mau nikah ini konsep pre-weddingnya mau
gimana?” Tanya Gracia. “Nih, aku punya contoh-contoh dari yang pernah aku ambil
juga.” Gracia menunjukkan hasil-hasil fotonya yang ada di layar laptopnya pada
keduanya.
Setelah rapat sebagai photographer
dan client itu terjadi. Obrolan sebagai sahabat kembali dibuka oleh Adam.
“Gre, Hamids mana deh? Susah amat
gw telpon akhir-akhir ini.”
“Hmm aku juga gak tau Dam,
akhir-akhir ini kan aku juga sibuk. Tadi aja aku hunting gambar dulu di sekitar
sini.” Jawab Gracia sambil mengarahkan kameranya ke seberang.
Namun, betapa terkejutnya gadis
itu saat melihat kekasihnya di seberang sana merangkul gadis lain dengan
mesranya. Gracia memutar tele kameranya agar lebih jelas. Jantungnya berdegup
tak beraturan. Yang dilihatnya benar-benar Hamids. Dan yang lebih parah, dia
dan gadis yang tidak di kenal Gracia itu masuk ke dalam toko penyewaan baju
pengantin.
Sontak Gracia langsung berdiri,
tanpa izin berlari ke seberang mengabaikan panggilan Elaine dan Adam. Mau tak
mau, Elaine mengikuti.
Di dalam toko tersebut Hamids dan
gadis lain itu sedang berbincang dengan seseorang yang sepertinya perancang
busana dari gaya berpakaiannya.
“Ahh~ jadi namanya Indah. Sungguh
wajahnya juga indah sesuai namanya.” Puji sang perancang busana.
“Iya dong, calon istrinya Hamids
gitu loh.” Ucap Hamids bangga. Gadis loli disampingnya itu hanya tersenyum
malu-malu lollipop.
“Hamids!!” Teriak Gracia dari
depan pintu toko. Sontak ketiga orang yang ada di dalam langsung menatap
Gracia.
“Grecot?”
Air mata mengalir dari kedua sudut
mata Gracia melihat dengan tak berdosanya, Hamids menggenggam erat tangan
perempuan lain di hadapan Gracia. Sadar apa yang diperhatikan Gracia, Hamids
melepaskan genggamannya.
“Kamu jahat Mids.” Gracia kembali
berlari dari toko tersebut. Cukup baginya.
Saat Hamids mau mengejar, dirinya
dihentikan dengan keberadaan Elaine.
“Aku gak nyangka Mids.”
“Len aku bisa jelasin ini.” Elaine
hanya menggeleng sebelum kembali mengejar Gracia.
Hamids hanya menatap keduanya
cengo, Hamids menoleh ke arah kirinya. Betapa terkejutnya Hamids saat menyadari
dari seberang sana, sahabat baiknya, seorang Adam Yuwono menatapnya tajam penuh
amarah. Tatapan yang juga tunjukan kekecewaannya.
-Flashback End-
Perut Gracia berbunyi, sadarkan
gadis itu dia sama sekali belum memberi makan untuk cacing-cacing ditubuhnya
sejak pagi hari. Dengan kekuatan yang tersisa, Gracia coba bangkit. Namun, baru
sekali dia melangkahkan kakinya…
BRUG!!
Tubuhnya terjatuh… gadis itu
pingsan…
-Flashback-
“Gracia!” Dengan terburu-buru dan
seenaknya, Hamids masuk ke dalam rumah Gracia. Kagetkan Adam yang duduk dalam
diam di ruang tamu.
“Mau ngapain lo kesini?” Tanya
Adam yang spontan langsung menghalangi jalan Hamids.
“Gw mau ketemu Gracia. Jangan halangin
gw!” Bentak Hamids.
“Mau ngapain lagi lo nemuin
Gracia? Bukannya lo udah punya calon istri?” Balas Adam dengan nyolotnya.
Hamids menatap Adam. “Apa
urusannya sama lo? Ini bukan urusan lo.” Hamids mendorong Adam.
“Ini urusan gw juga karena--”
“Stop!!!” Teriak Elaine yang
muncul dari tangga.
“Len, Gracia dimana?”
“Di kamarnya.”
Dengan cepatnya Hamids langsung
berlari melewati Elaine dan menaiki tangga menuju kamar Gracia. Dibukanya pintu
kamar Gracia dengan perlahan. Di dalam, Gracia sedang duduk di tepi ranjang
kasurnya sambil menangis. Tentu saja.
“Gre.”
“Mau apa kamu?”
“Aku mau ngomong sama kamu.” Ucap
Hamids sambil berlutut di hadapan Gracia lalu menggenggam kedua tangan Gracia.
“Mau ngomong apa? Siapa gadis
itu.” Tanya Gracia sambil menatap tajam dan dalam mata Hamids.
“Namanya Indah, calon istri aku.”
“Sejak kapan? Sejak kapan kamu
sama dia?”
Hamids menghela nafasnya. “Kita
udah pernah bahas ini, kan? Kamu udah tau soal ini. Kenapa harus kamu tanyakan
lagi?” Gracia hanya diam. “Kita pernah membicarakan ini sebelumnya. Kamu tau,
papa sama mama aku menginginkan aku menikah. Tapi saat aku meminta kamu. Kamu menolak
kan?” Gracia masih diam. “Jawab aku Gre. Jangan buat aku jadi yang paling
bersalah disini.” Tiba-tiba bulir air mata keluar dari sudut mata Hamids.
“Untuk melawan orang tuaku saja aku tidak berani. Apalagi melawan Tuhan. Kamu
tidak pernah memaksaku, itu juga yang aku lakukan. Aku juga tidak akan memaksa
kamu.”
“Pasti ada jalan Hamids.”
“Apa? Bagaiamana? Meninggalkan
orang tuaku dan melawan takdir Tuhan? Atau melepas kepercayaan kita begitu saja
karena cinta bukan karena sebuah cahaya? Mungkin aku bukan anak sholeh, tapi
kamu umat Kristiani yang patuh. Betapa jahatnya aku kalau memaksamu keluar dari
hal yang kau pegang teguh selama hidup kamu?”
“Aku mau Mids.”
“Ucapanmu itu nafsu Gracia.
Baiklah kalau kamu kekeuh. Aku tanya sekarang. Maukah kau mengikuti aku ucapkan
dua kalimat syahadat dan menjadi istriku?” Gracia kembali terdiam. Hamids
menelan ludahnya. “Kamu bukan gadis bodoh, aku senang otak kamu masih bisa
berpikir lurus. Syukurlah.”
“Kita bisa menikah dengan
perbedaan agama kita Hamids!”
“Tapi, aku gak bisa Gre! Kamu tau
mama aku punya jantung. Aku gak mau ngecewain beliau.”
“Hamids!”
“Cukup Gracia.” Hamids berdiri.
“Hubungan kita sudah selesai. Aku hargai keberanian kamu untuk melawan dunia.
Tapi, mungkin bukan aku. Maafkan aku. Semua sudah terlambat sekarang.”
“Hamids, aku gak mau Mids. Aku
mohon.”
Sambil memejamkan matanya, Hamids
mencium lembut kening Gracia. “Aku sayang kamu. Maaf.” Perlahan Hamids pergi,
lepaskan genggaman tangannya dari Gracia.
-Flashback End-
Ups |
Gracia mengerjapkan kedua matanya.
Begitu kabur pemandangan yang dilihatnya. Gracia mengusap matanya, darah sudah
tidak lagi menetes dari tangannya yang terluka. Gracia duduk lalu bangkit
perlahan. Hujan sudah berhenti dan jam sudah menunjukkan pukul 19.48 WIB.
Dengan sisa tenaganya, Gracia berjalan ke dapur, mengisi perutnya dengan
makanan seadanya.
Selesai itu Gracia kembali menuju
kamarnya yang seperti kapal pecah, tapi Gracia tidak peduli. Gracia berjalan
menuju kamar mandi, membersihkan dirinya. Tidak memakan waktu lama Gracia
selesai dengan urusannya di kamar mandi.
Gracia mencari dress di lemarinya,
diambilnya asal. Dengan hati-hati, berjalan menuju cerminnya yang telah hancur.
Wajahnya lusuh, bibirnya pucat, matanya sembab. Gracia membuka lacinya
diambilnya perban dan obat merah untuk mengobati bekas lukanya.
Beberapa menit setelah mengobati
luka dan dandan sewajarnya. Gracia bangkit mengambil amplop yang tadi pagi sore
ditangisinya. Gracia menuruni anak tangga rumahnya, mengambil kunci mobilnya. Setelah
keluar dari rumahnya, Gracia memacu mobilnya.
Hujan kembali turun membasahi
mobilnya saat Gracia tiba di sebuah kafe. Seakan ikut bersedih dengan keadaan
Gracia. Tanpa payung, Gracia berjalan melangkah masuk ke dalam bagian kafe itu.
Di taman luas yang ada di kafe tersebut, sedang dilangsungkan sebuah acara.
Gracia terus melakang ke dalam, betapa indahnya berbagai hiasan yang menghiasi
acara tersebut.
Di tengah taman luas itu, terdapat
hiasan besar berbentuk huruf ‘H & I’ sangat indah dengan lampu yang
mengelilinginya. Gracia tersenyum miris. Dia mendongakkan kepalanya, hujan
rintik-rintik terus membasahi dirinya. Gracia kembali tersenyum. Berusaha
mengikhlaskan apa yang terjadi di depannya.
Gracia menoleh jauh ke kanannya.
Di tatapnya pemandangan yang tidak asing dalam sebuah pernikahan. Salam-salaman
ucapan selamat dari tamu untuk para pengantin.
Dengan gagahnya, Hamids berdiri di
tengah-tengah terlihat begitu tampan. Disampingnya berdiri gadis cantik yang
kini sudah resmi jadi istrinya itu. Sambil mengembangkan senyumnya, Hamids
mengucapkan terima kasih pada setiap tamunya.
Tiba giliran sahabat-sahabatnya
yang menyalami. Elaine yang mengenakan dress biru menjadi yang pertama
mengucapkan selamat. Di belakangnya, Adam yang mengenakan jas senada entah
kenapa dengan senyum kecut mengucapkan selamat seadanya. Membuat Elaine
menatapnya sinis. Hamids hanya bisa tersenyum miris, dia sangat tahu kenapa
Adam seperti itu,
Dibelakang Adam ada Nadhif. “Kenalin
nih Mids. Cewek gw.” Ucap Nadhif.
“Wih entap! Hamids.”
“Selamat atas pernikahannya, ah
aku Michelle.” Ucap gadis cantik yang katanya pacar Nadhif.
“Eh Ayana! Kapan nyusul nih sama
Mario?” Tanya Hamids saat bersalaman dengan gadis yang memiliki mata sayu.
“Ahh, gak tau tuh Mario!”
“Ahaha. Mar ada yang udah ngode
tuh.” Ucap Hamids saat bersalaman dengan Mario.
“Iyeee. Tunggu aja.” Jawab singkat
Mario.
“Ehh, Okta mana? Kok gak ada?”
“Gak tau tuh bocah. Misah tadi.”
Hamids terus bersalaman dengan
para tamu, hingga akhirnya dia menyadari, dari jauh sosok gadis yang dari dulu
memenuhi isi hati dan pikirannya menatapnya dalam kesedihan bersama hujan yang
turun membasahinya.
Ingin rasanya Hamids berlari dari
tempatnya, menghampirinya, memeluknya, memayunginya. Tapi, siapalah dia ini
sekarang? Hamids tersenyum miris saat menatap Gracia. Hingga senyumnya hilang
saat seseorang yang dalam diamnya tiba-tiba memayungi Gracia dari belakang.
Gracia mendongak lalu menoleh ke
belakang. Begitu terkejut melihat siapa orang yang memberinya payung. Pemuda jangkung
yang dulu kurus. Sahabat lamanya. Pria gagah yang wajah kekanakannya masih
melekat.
Tanpa kata dan izin, Gracia
memeluk pria itu. Kagetkan pria yang mengenakan jas putih itu. membuat payung
yang digenggamnya jatuh. Dengan ragu, pria itu perlahan memeluk balik Gracia. Membiarkan
gadis itu menangis dalam dekapannya.
Dari jauh Hamids yang masih
melihat hal itu kesal, cemburu, tapi ada rasa senang juga. Senang bila memang
akhirnya Gracia berhasil melepaskan dan menemukan penggantinya. Sekalipun itu
sahabatnya sendiri.
Okta.
END
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gimana? Suka gak?
Bikin baper gak? Bikin baper dong! ya, ya, ya!! *maksa
Endingnya GreTa wkwk xDD :P
Bikin baper gak? Bikin baper dong! ya, ya, ya!! *maksa
Endingnya GreTa wkwk xDD :P
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih telah membaca. Ditunggu komennya :)
Sankyuu~~ m(__)m
-Jurimayu14-
keren min...! lanjutin buat ff nya yah...! :v
ReplyDeletekeren min...! lanjutin buat ff nya yah...! :v
ReplyDeleteJAAAAAAAAAAH SI OKTA :V
ReplyDeleteKeren nih ff nya lanjut teruus ya.
ReplyDeleteWahhhh GreTa ganyangka wkwkwkwk
ReplyDeleteSip baper ini gue keren thor
ReplyDelete