Tuesday, June 9, 2015

Malaikat Tanpa Sayap (BebKwek)

Dapet kiriman FF lagi dari orang, ehehe.
BebKwek (eh BobKwek sih tepatnya) gitu deh~ ngiahahah~

Sebut aja authornya 'Mister Potato' wkwk
Oh iya, sepenggal kata-kata dari authornya:
Biar lebih drama baca sambil denger lagu apa aja, terserah yang baca
Cerita ini sudut pandangnya dari Elaine bukan orang ketiga atau keempat 



MALAIKAT TANPA SAYAP

Bayangin aja foto diatas itu Boby ama Elaine =)
London, 6.30 PM
       Orang-orang bilang hidupku sempurna, punya segalanya. hidup bergelimang harta, orang tua yang menyayangiku, punya wajah cantik, populer, disukai banyak lawan jenis, tapi semua itu.. kata mereka
“Elaine.. cepetan nanti telat.” Aku merapikan dress coat yang kukenakan dan sekali lagi memperhatikan kaca lalu meraih notes kecil berwarna biru sapphire dan mendekapnya di dada, notes itu selalu aku isi dan bawa kemanapun. Setelah kejadian itu semuanya berubah
“I am coming.” Jawabku sambil menyusuri anak tangga, mama menunggu dibawah dengan penuh senyum tapi jelas kerut wajahnya menceritakan bagaimana ia memikirkan aku dan segala tentangku terlalu banyak. Di ujung anak tangga aku kehilangan keseimbangan tapi dengan cepat aku berdiri tegak lagi. Raut wajah mama berubah drastis, ia lalu mendekatiku dengan khawatir
“Pake kesandung segala... aku gapapa kok, Ma.” Kataku untuk menenangkan, jelas sekali ia khawatir, tapi aku baik-baik saja. Mereka tidak tahu jika aku adalah gadis yang lemah, menyusahkan, aku bukanlah apa-apa setelah hari naas itu, aku hanya salah satu diantara orang-orang tak berguna di dunia ini, sampai hari keempat saat aku dirawat di rumah sakit, aku hanyalah sampah.
“Kamu yakin mau mengambil jurusan itu? Apa gak takut keberatan nantinya?” Aku menatap mama dengan yakin memberi tahunya jika pilihanku sudah mantap.
“Mama sih gak ngelarang, tapi mama takut kamu gak bisa ngi....”
“I am okay, just trust me, Mom...” Dia tersenyum lembut mengalah kepada anaknya yang keras kepala ini. Aku menyandang tasku yang berisikan buku dan alat tulis kuliah. Beliau mengantarku sampai mobil lalu mengecup pipiku hangat
“Hati-hati ya, Len..” Kujawab dengan senyuman tanda mengerti perkataan mama.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Handphoneku berdering, aku meraba isi tasku dan meraih benda kecil yang bergetar itu tanpa melihat siapa yang memanggil, karena aku tahu siapa dia.
“Kamu dimana sih, Len?” Serbunya dan aku hanya bisa menjauhkan handphoneku dari telinga lalu tertawa.
“Biasa aja bisa kali Gre, aku lagi on the way, baru sampe Great West Road.”
“Gila.. masih jauh banget! Cepetan deh aku bete nih sendirian, nungguin kamu sampe lumutan.”
“Iya bawel.”
Ya dia Shania Gracia, sahabatku sejak SMP, dia kuliah di universitas yang sama denganku, dia mengambil jurusan sosiologi sedangkan aku bisnis. Dia dua tingkat di atasku, ya harusnya aku satu angkatan dengannya tapi karena kecelakaan dua tahun yang lalu, aku baru bisa mulai berkuliah saat ini.
Bulan ini London sudah memasuki musim gugur.. aku terdiam sambil memandangi jalanan kota London.. tiba-tiba pikiranku melayang ke masa itu..
Flashback on two years ago..
“PERGIIIIII AKU BILANG PERGIIIIII!! Aku membanting apa yang bisa kuraih dengan tanganku. Nafasku naik turun tak teratur, sprei biru yang menjadi alas kasurku kini sudah tak berbentuk lagi, perawat yang memegang nampan mundur ketakutan, berusaha menenangkanku tapi tidak bisa, aku terlalu labil.
“Tapi Elaine harus makan.. katanya mau cepat...”
“APA? CEPAT SEMBUH? GAK! AKU GAK AKAN SEMBUH HANYA KARENA MAKAN DAN MINUM OBAT! AKU GAK BISA DISEMBUHKAN DENGAN CARA ITU!” Aku tahu teriakanku mengganggu penghuni rumah sakit yang lain tapi aku tidak peduli, emosiku benar-benar labil semenjak kecelakaan yang menimpaku empat hari yang lalu. Aku benci berada disini. Aku benci pada mobil sialan yang menyebabkan aku menabrak pembatas jalan, aku benci Tuhan karena membiarkan ini semua terjadi dan aku membenci-Nya karena dia membuat duniaku menjadi gelap.
“BERISIK! KAMU PIKIR CUMA KAMU DOANG YANG PUNYA MASALAH DI DUNIA INI? SUARA KAMU GANGGU TAU GAK? KALO MAU TERIAK SANA DI LAPANGAN SEKALIAN!” Suara itu muncul dari arah kananku, setahuku aku dirawat di ruang VIP yang berarti hanya ada satu orang dirawat dikamar ini, lalu siapa dia?
“KAMU SIAPA?” Teriakku tak kalah keras. Tiba-tiba aku merasakan ada yang menyibak gorden yang ada disisi tempat tidur, langkah kaki terdengar pertanda orang itu mendekat.
“Aku? aku malaikat yang kebetulan lewat terus keganggu karena suara teriakan kamu itu.” Lucu sekali orang ini. Dia ingin membodohiku.
“Aku tau aku buta, tapi aku nggak sebodoh yang kamu kira.”
“Aku memang malaikat, malaikat yang diutus Tuhan untuk mencabut nyawa... tapi tugasku terganggu karena mendengar suara teriakan dari kamu tadi.” Kata dan suaranya semakin dekat. Aku penasaran dia itu orang macam apa.. bisa-bisanya di zaman seperti ini menganggap dirinya sendiri malaikat, gila. Kukira omongannya hanya lelucon, ternyata aku salah tentangnya.
“Oh ya? Kalo begitu kenapa kamu gak sekalian cabut nyawaku sekarang? Dari pada aku harus terus menyusahkan orang lain.” Aku mendengar dia melangkah lagi semakin dekat dan sepertinya dia duduk di tepi tempat tidur dekat kakiku.
“Jadi apa dengan mati kamu tidak akan menyusahkan orang lain lagi?” Tanyanya yang membuatku mengernyitkan dahi lalu mengangguk.
“Iya, kalau masih hidup, aku gak berguna karena tidak bisa melakukan apa-apa. aku membutuhkan orang lain dan itu menyusahkan.”
“Apa kamu pikir kamu akan menggali kuburan sendiri? Mengubur dirimu sendiri? Terus juga berdoa untuk dirimu sendiri gitu?” Tanyanya yang sontak membuatku terdiam. Lalu aku mendengar bunyi suara meja lipat yang dibuka dan nampan diletakkan di atasnya.
“Kamu harus belajar bersyukur dari sekarang ya Nona Elaine Hartanto.” Tiba-tiba sesuatu menyentuh bibirku yang kuyakini adalah sendok. Aku memalingkan kepala menolak sendok itu dan dia menjauhkannya.
“Aku akan mengambil nyawamu kalau sudah waktunya, sekarang kamu harus sabar dan bertahan, paling tidak untuk kedua orang tua dan dirimu sendiri. Mengerti?” Aku tak menjawabnya lalu ia menghela nafasnya secara kasar. Dan tiba-tiba aku meresponnya dengan memalingkan wajahku kembali dan membuka mulut, dia dengan cepat memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutku.
“Alasan kamu gak masuk akal.” Jawabku ketus.
“Tidak semua yang ada di dunia itu masuk akal.. udah deh. Mimpi kamu gak akan terhenti hanya karena kamu gak bisa ngeliat.. masih ada jalan lain untuk membuatmu bisa melihat lagi dan menggapai mimpi itu.”
“Nggak, aku buta dan itu berarti aku gak berguna.”
“Jadi kalo gak buta kamu merasa bakal berguna?” Hening. Aku lagi-lagi terdiam karena ucapannya.
“Orang buta juga masih bisa beraktifitas layaknya orang normal.”
“Sok tau!”
“Taulah, aku kan malaikat.” Dia menyuapiku lagi dan aku tahu kalau dia tertawa. Aku memegang punggungnya, rupanya dia cukup terkejut dengan perlakuanku.
“Kau tidak memiliki sayap. Jadi kamu bukan malaikat.”
“Baweell.”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua bulan sudah aku disini setelah pertemuanku dengan malaikat itu. Malaikat itu bernama Boby, aku cukup senang dengan kehadirannya. Ku kira dia disini karena ada anggota keluarganya yang dirawat namun aku baru tahu kalau ternyata dialah yang dirawat disini.
Katanya dia mengidap flek paru-paru karena sering menghisap asap kendaraan bermotor.
“Hai Nona Elaine.. bagaimana keadaanmu hari ini? Membaik?” Tanyanya sambil menghampiriku yang sedang mendengarkan lagu.
Senyum yang lenyap perlahan kembali datang, emosi yang meledak berubah menjadi kesenangan yang tak tergambarkan, dan kegelapanku perlahan-lahan berubah kembali terang.
“Mau makan di taman?” Tanyanya dan tentu saja aku mengangguk setuju. Dia selalu menghampiriku setiap hari, kamar rawat kami bersebelahan, dan entah kenapa aku tak lagi membenci Tuhan dan takdirnya.
Sejak Boby ada, perlahan aku mencoba berani untuk aktif kembali. Dimulai dari hal kecil seperti mengambil gelas dimeja dan bahkan berjalan ke toilet sendiri. Namun jika ada dia aku hanya ingin dia menuntun atau mendorongku dikursi roda, apapun itu asalkan bisa selalu dekat dan mendengar suaranya rasanya ada satu energi bertambah setiap hari. Kegelapanku tak segelap dulu meskipun aku tahu kalau aku akan buta selamanya jika dia tetap disisiku itu lebih dari cukup, keberadaanya cukup untuk menjadi lenteraku.
“Dari dulu kamu gak pernah cerita tentang cinta, bosen nih ngomongin tentang mimpi terus.”
Kataku setelah selesai makan siang dengannya. Tiba-tiba dia menarik rambutku dengan kencang yang sontak membuatku kaget.
“Aduh! Kok dijambak?”
“Bosen? Eh justru karena mimpi dunia ini gak ngebosenin lagi.” Katanya dan membuatku tertawa.
“Oh ya? Kalau gitu kamu cuma mimpi doang dong? Haha.” Kataku bercanda, tiba-tiba dia merangkul bahuku dengan tangannya dan itu membuat jantungku berdegup tak karuan.
“Iya, soalnya aku bikin kamu gak bosen lagi, ya?” Tanyanya. Pukulan ringan melayang dan mengantam kepalanya, dia meringis kesakitan dan kamipun tertawa namun tawa itu reda ketika tanganku yang masih menempel dikepalanya diraih oleh jemarinya, ia menuntun tanganku turun ke pipinya. Aku mengangkat tanganku yang satu lagi untuk memegang kedua pipinya, ku elus perlahan dan aku dapat merasakan matanya sedang menatapku. Andai saja mata ini bisa melihat kedua bola matanya.
“Pipimu bolong..” Ucapku saat menyentuh pipinya. “Hidungmu mancung..” Tanganku menyentuh hidungnya. “Alismu tebal.. kamu memakai kacamata.” Tambahku lagi seraya mengelus lembut alis dan menyentuh kacamatanya. “Dan kamu...” Aku berfikir kalimat apa yang cocok untuk mendeskripsikannya, perasaanku sangat menggebu-gebu ingin melihatnya dan menatapnya.. tapi sayang aku tak bisa.
“Tampan..” Sambungnya dan membuat otakku refleks memerintahkan tanganku untuk menjitaknya.
Pletak!
“Aduhh! Heh tau gak kalau jitak malaikat itu perbuatan yang dilarang?” Katanya yang sontak membuatku tertawa geli.
“Kamu itu bukan malaikat.. Kita main realistis aja deh sekarang, lama-lama kita bisa gila.” Dia menyentil hidungku dan membuatku mundur beberapa centi.
“Kadang yang realistis itu gak keliatan dan semu.. dan kadang yang cuma khayalan itu beneran ada.”
“Iya Tuan Boby, just as you say. It’s up to you.”
Aku tak melihat jika terkadang malaikat itu datang tanpa sayap dan cahayanya, aku tak melihat jika tak selamanya malaikat itu bersayap, seperti malaikatku. Dia hanya manusia biasa yang membuat hidupku berbeda.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Malam ini terasa dingin, tak terasa sudah 4 bulan aku berada disini dan mengenal Boby. Aku tengah duduk dikamarku menunggu dia yang biasanya akan datang dengan seenak jidatnya ke kamarku dan membawaku ke taman rumah sakit untuk bercerita. Tapi malam ini dia tak datang, berapa lamapun aku menunggunya namun dia tetap tak datang hingga aku tertidur dan pagipun datang.
Hari terlewati begitu cepat dan Boby tetap tak datang, hingga tepatnya saat malam sebelum ulang tahunku aku mendengar mama menangis setelah dokter memanggilnya, setauku dokter bilang kalau tak ada donor mata untukku dalam waktu dekat ini, aku diperbolehkan untuk pulang dan menunggu di rumah tapi aku tahu kalau itu berarti memang tak akan ada donor mata untukku dan itu membuatku seperti ditimpa berton-ton batu, aku menangis.
Keinginanku untuk hidup normal sepertinya tinggal harapan, kesempatanku untuk melihat Boby ternyata hanya mimpi belaka. Tuhan kenapa kau menempatkan aku di posisi seperti ini lagi? Boby tak kunjung datang hingga jam menunjukan pukul sebelas empat puluh, aku pernah berharap kalau dia akan ada disampingku menghitung mundur detik menuju usiaku. Aku ingin bertambah usia disisinya, tetapi dia tak ada. Padahal ia berjanji akan memberikanku hadiah spesial, namun sampai saat ini ia tak pernah datang menghampiriku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua hari setelah ulang tahunku, Boby masih tak kunjung datang menghampiriku meski hanya untuk mengucapkan selamat.
“Suster Natalia..” Panggilku ketika suster yang biasa membawakan dan menyuapiku makanan selama Boby tak ada itu selesai menyuapiku.
“Iya Elaine.. Kenapa?” Tanyanya halus, aku sedikit malu ingin menayakan tentang Boby padanya namun aku sungguh penasaran
“Boby..”
“Oh pasien kamar sebelah yang tampan itu?” Hening. Aku hanya diam dan sepertinya dia tertawa kikuk.
“Hehehe maksudnya, saya tidak tau. Karena tidak kebagian mengurus dia jadi saya tidak begitu tau. Maaf ya.” Aku mengangguk lemah lalu membiarkannya keluar.
Aku benci Boby. Tapi sebenarnya aku tak bisa untuk membenci manusia itu..
Malam ini aku meminta suster Natalia mengantarku ke taman meskipun awalnya dia menolak tetapi dengan sifat keras kepalaku akhirnya berhasil meluluhkannya. Aku tidak menyangka kalau aku akan bertemu dengan Boby disana. Suster Natalia yang memberitahuku kalau Boby juga disana dan sedang duduk di kursi taman. Aku mendekat, aku mengenali harum tubuhnya. Dia tak berbicara sampai aku memulai pembicaraan terlebih dahulu.
“Kamu kemana aja?” Tanyaku datar. Tetapi dia tak bergeming dan aku mengulang lagi pertanyaan itu. “Kamu kemana aja Boby Caesar Anandila?”
“Gak kemana-mana.” Jawabnya singkat dan dingin. Aku merasakan hatiku ngilu, sakit mendengarnya yang berbeda seperti itu.
“Oh gitu. Kamu gak ngabarin aku selama berhari-hari, bahkan dihari spesial akupun kamu gak dateng. Kenapa? Kamu bosen nemenin orang buta kayak aku?” Lagi-lagi emosiku labil. Mungkin ini karena kabar mengenai donor mata yang membuatku hopeless dan desperate.
“Aku.......”
“Udahlah Bob.. Aku memang seharusnya gak terlalu banyak berharap sejak awal. Aku harusnya sadar kalau Tuhan itu memang merencanakan sesuatu yang membuatku terus menerus berada di lowest point. Dan dengan adanya kamu.. aku semakin terpuruk.”
“Aku gak kenal sama Elaine yang membenci Tuhannya sendiri. Aku udah pernah bilang sama kamu kalau bukan cuma kamu yang punya masalah. Masih banyak diluar sana yang lebih menderita dari kamu! Harusnya kamu itu bersyukur karena Tuhan masih memberikanmu kesempatan untuk bisa tersenyum walaupun Tuhan sedang mengujimu. Orang-orang diluar sana banyak yang gak tau gimana rasanya bahagia. Cuma satu yang membuat mereka bahagia, Tuhan masih mengizinkan mereka untuk bernafas.” Aku merasakan air mata mengalir perlahan tapi dengan cepat aku mengusapnya. Aku tidak lemah.
“KAMU GAK AKAN PERNAH NGERTI GIMANA RASANYA JADI AKU! KARENA KAMU GAK NGALAMIN INI” Aku memutar kursi rodaku berbalik untuk masuk ke dalam tapi aku mendengar suara Boby yang pelan namun tajam.
“Oh ya? Kalau kamu jadi aku. Mungkin kamu gak akan mau lagi hidup!” Aku tak menghentikan putaran rodaku, aku hanya ingin menjauh darinya. Aku benci dia.
Kata orang penyesalan itu selalu datang belakangan dan rasanya amat sangat menyakitkan. Aku tak peduli tentang itu sampai akhirnya penyesalan datang padaku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua bulan kemudian..
Aku ada dirumah dan hidupku benar-benar terasa sepi. Aku baru sadar kalau ternyata aku buta..gelap. Boby benar-benar penerangku, dia tak membiarkanku kegelapan sama sekali. Aku menghela nafasku sambil mendengarkan suara musik yang mengalun sampai tiba-tiba mama masuk ke kamarku. Dia mengelus rambutku lembut, dan aku tau kalau sedang ada sesuatu.
“Lagi kangen seseorang, ya?” Tepat. Aku merindukan Boby. Sangat-sangat merindukannya.
“Yaudah yuk kita main ke rumah sakit.”
“Beneran Ma? Eh tapi apa Boby masih dirawat disana?” Tanyaku dan lagi mama mengelus rambutku.
“Iya, mama kan kenal sama mamanya Boby.” Aku hanya ber-oh ria. Lalu bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit. Aku tak peduli dengan masalah yang membuat kami tak berbicara satu sama lain sampai membuatku ingin pulang kerumah dua bulan yang lalu. Yang aku inginkan bertemu dengannya dan menyatakan kejujuran.
Suasana rumah sakit sudah membuatku terbiasa. Aku berdiri dibelakang mama karena nyaliku yang tadinya besar tiba-tiba menciut. Aku ragu kalau Boby mau berbicara lagi denganku. Ketika aku dan mama masuk ku dengar suara tante Cindy menyambut kami.
Beliau memelukku. Aku sama sekali tidak mendengar suara Boby. Mungkin dia sedang keluar atau tidur. Tapi tiba-tiba tante Cindy menarikku ke arah kasur
“Boby.. lihat siapa yang datang”
“Nggggh..”
“Nggak usah dibangunin Tante, kasian.” Kataku lembut. Tante Cindy tiba-tiba terisak lalu mencium pipiku sekilas.
“Gapapa. Tante titip Boby sebentar ya. Tante mau ke kantin rumah sakit dulu sama mama kamu.” Katanya dan hanya kujawab dengan anggukan. Setelah mereka keluar aku mendekati Boby dan tiba-tiba dia bersuara.
“Elaine...kamu...”
“Aku kangen sama kamu..” Putusku sambil memeluk lehernya. Ia tak beranjak bangun dari tidurnya ataupun membalas pelukanku.
“Aku juga.”
“Maaf.” Kata-kata itu terucap dari mulut kami bersamaan. Aku rasa air mata sudah menumpuk dipelupuk kedua mataku.
“Jangan... aku mohon jangan menangis.” Tiba-tiba tangannya menyentuh pipiku lemah. Dia kenapa sebenarnya? “Aku..”
“Kamu kenapa?” Tanyaku meminta dia melanjutkan ucapannya namun dia malah menggenggam tanganku kuat.
“Aku sayang sama kamu, Elaine..” Tiba-tiba tangannya menarik tengkukku dan langsung mengecup bibirku lembut.
“Aku juga...” Bisikku diakhir ciuman kami.
Kalian tahu.. rasanya di ajak terbang dan dijatuhkan sekaligus itu rasanya sangat sakit? Yap, sangat amat sakit. Boby. Dia adalah malaikat kematian. Dia mengajakku terbang dengan sayap tak terlihat miliknya, dan ketika sampai di dekat surga dia melepaskanku. Membuatku terjatuh.
Flashback end
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku memarkirkan mobilku di parkiran kampus baruku. Ya, aku sudah sampai. Tak terasa perjalanan selama satu setengah jam tadi membawaku ke masa-masa itu. Aku keluar dari mobil dan melihat sekeliling, kampus ini.. University of College London. Pernah menjadi bagian dari mimpi Boby.
Aku berjalan ke arah kursi taman, setengah jam lagi aku baru akan masuk untuk jam kuliah pertama. Aku menjadi mahasiswa fakultas Bisnis. Entah datang dari mana kegilaaan untuk mengambil jurusan itu. Aku duduk dikursi taman dan membuka kembali notes kecilku untuk menulis sebuah catatan singkat.
Catatanku tersayang, tak terasa besok aku akan menginjak 20 tahun. Usia yang bukan lagi tepat untuk menjadi labil. Dan tak terasa lembaran ini adalah lembaran terakhirmu untuk aku isi. Aku pasti akan sangat merindukan menulis di kertasmu yang mulai menguning dan kusam karena aku selalu membawamu kemanapun.
Catatan sayang, aku rindu pada malaikatku, bagaimana keadaannya sekarang? Aku yakin Tuhan akan menjaganya dengan baik. Dia adalah salah satu malaikat terbaik yang diutusnya ke bumi untuk menuntun seorang gadis lemah buta yang butuh lentera. Hari ini aku masuk kuliah, kegiatan yang seharusnya aku lakukan dua tahun yang lalu, namun terhenti karena kecelakaan itu. Sekarang, aku akan memulainya dari awal. Aku akan melakukan yang terbaik karena malaikatku melihatku dari sana.
-Elaine
Keesokan harinya…
Aku sedang tiduran dikasurku seperti biasa sambil mendengarkan lagu. Aku membuka lagi dari awal lembar demi lembar catatan kecil yang selama dua tahun menemaniku ini. Kisah dibaliknya adalah kisah selama dua tahun aku mencintai malaikat kematian itu. Bukan berarti setelah ini aku akan berhenti mencintainya.
Aku mencintainya sampai kapanpun, meskipun aku dan dia tak mungkin bersama karena dunia kami yang berbeda. Dia pergi tanpa mengizinkanku melihat wajahnya meski hanya sekali. Ah, tidak. Sebenarnya dia tidak pergi. Dia ada didekatku, di pelupuk kedua mataku sejak hari itu, sekarang dan hari-hari selanjutnya.
Flashback on
Hari ini adalah hari dimana aku menjalani operasi, dokter bilang donor mata untukku sudah ada. Selama operasi berlangsung aku bermimpi melihat seorang laki-laki seusiaku yang mengaku sebagai malaikat pencabut nyawa. Dia bilang kalau dia akan mencabut nyawaku lain waktu karena ini belum saatnya.
Setelah itu dia tersenyum dan terbang entah kemana. Aku membuka mata setelah enam jam mataku ditutupi oleh perban. Aku membuka mataku dan melihat seperti ada Boby berdiri disampingku. Meskipun tidak terlihat jelas namun aku yakin wajahnya sama persis seperti dalam mimpiku itu. Lalu tak lama aku pun jatuh pingsan.
Aku tertidur seharian, obat bius yang digunakan terlalu membuatku pusing dan mengantuk. Keesokan harinya. aku bermaksud untuk menghampiri Boby ke kamarnya, tapi saat aku masuk ke ruangan Boby disana kosong tidak ada siapa-siapa. Katanya Boby sudah dibawa pulang.
Apa kalian tahu?
Kejutan tidak selalu membahagiakan..
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku merasakan kakiku kehilangan kekuatan untuk berdiri. Dunia seakan berhenti berputar. Langit seakan jatuh menimpaku. Yang kulihat sekarang gelap mengelilingiku. Di tengah ruangan sebuah rumah mewah itu terbaring kaku di dalam peti mati, malaikat tanpa sayapku.
Kukira malaikat itu akan bertugas selamanya dibumi, tapi nampaknya tugasnya dibumi sudah selesai. Malaikatku di panggil penciptanya.
“BOBY!!!!........” Teriakku histeris, aku berlari ke arahnya. Aku menangis sambil menyentuh pipi, hidung dan alisnya. Dingin menjalar ketika aku menyentuh semua ini. Kemana kehangatanmu? Tiba-tiba Tante Cindy menghampiriku
“Elaine.. Ini hadiah ulang tahun kamu yang ke 18. Boby baru bisa memberikannya sekarang. Mungkin ada penjelasannya disana.” Tante Cindy menangis, matanya sembab tapi dia terlihat tegar dariku yang justru tak bisa menahan air mata walau sedetikpun.
Kubuka kotak kecil itu yang berisi sebuah notes kecil bersampul biru sapphire. Kubuka halaman depan dan mendapati foto polaroid Boby sambil memegang kertas
HAPPY BIRTHDAY ELAINE!!!!!
Ini hadiah dariku untuk Nona Elaine Hartanto
-Boby
Kubuka halaman pertama buku ini..
Hai cantik! Ini aku malaikat maut. Gimana foto yang di depan suka, gak? Oh ya buku ini aku yang design sendiri. Walaupun simple tapi aku ingin buku ini diisi tentang ‘kita’ berdua.
Pokoknya notes ini berisi perjalanan kisah cinta kita. Nembak secara gak langsung tuh sebenarnya. Hehe.
Berlanjut kehalaman kedua..
Apa kamu tau hidupku berubah semenjak kehadiranmu? Si nona buta yang cantik jelita. Semenjak hari pertama aku udah ngeliat kamu masuk ke ruangan sebelah ruanganku. Dan dihari keempat kamu dirawat aku dapat kesempatan secara gak sengaja buat deket sama kamu. Aku gak akan pernah menyesali itu semua. Aku udah di rumah sakit ini hampir setahun. Perkembangan dari penyakitku.. gak ada. Sama aja. Tapi karena ada kamu paling nggak aku gak pernah ngerasain sakit lagi. Kamu manjur banget jadi obat buatku, hehe.
Halaman ketiga..
Elaine malem ini aku berniat buat ngasih buku ini buat kamu. Tapi tiba-tiba kakiku gak bisa digerakin. Aku jatuh dan aku takut kalau kamu tau apa yang sebenarnya terjadi sama aku. Aku takut kamu marah karena aku udah bohongin kamu. Maaf ya Len..
Halaman keempat..
Aku rasa, aku gak bisa nulis lagi untuk kamu..
Kemampuan tanganku untuk bergerak sudah mulai menurun. Liat tulisanku ini udah kayak ceker ayam. Aku gak bisa nemuin kamu malem ini maaf ya.. mungkin sampai seterusnya aku gak bisa menuntunmu lagi.. aku lumpuh.
Aku mulai meneteskan air mata. Dan membuka halaman selanjutnya
Halaman kelima..
Ini saatnya aku jujur sama kamu, aku mau pergi tanpa menyimpan beban. Aku..sakit Len..
Aku bukan sakit flek paru-paru melainkan sakit parah Len.. sakit ataksia. Penyakit ini sempat buat aku marah. Marah karena kalau aku lumpuh nanti.. aku gak akan bisa meluk kamu, menghapus air matamu. Maka dari itu saat kamu membaca ini aku harap kamu jangan nangis ya.. soalnya jariku takut gak bisa digerakan buat hapus air matamu. Aku benci sama penyakit ini Len. Aku takut jika sudah waktunya Tuhan memanggilku, dia menghukumku karena tidak menjalankan tugas dengan baik. Aku ini malaikat kematian kenapa malah berubah menjadi malaikat rupawan nan baik hati yang membantu seorang gadis cantik.
Aku sayang kamu, aku cinta kamu. Aku takut mulutku tidak bisa digerakan buat menyatakan itu. Aku terlalu lama dalam bertindak.
Terima kasih telah membuat hidupku berarti, membuatku menjadi sebuah lentera untukmu itu amat sangat berarti. Terima kasih telah membuatku tersenyum di akhir-akhir waktuku yang singkat ini. Terima kasih juga telah membuatku si malaikat maut beralih profesi menjadi malaikat baik hati (?). Aku mau kamu mengenangku sebagai kenangan terindah.
Halaman keenam..
Maaf karena aku meninggalkanmu. Tapi sebenarnya aku tak pernah benar-benar melakukannya, aku pergi bukan untuk meninggalkanmu tapi justru menjadi abadi bersamamu, karena aku akan selalu hidup dalam mata dan hati kamu.
-Boby, malaikat maut yang rupawan
Basah. Lembaran notes ini basah oleh air mataku yang mengalir. Aku menangis sejadi-jadinya mengenang malaikatku.
THE END
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih telah membaca cerita ini.. salam #BebKwek Defender.. haha..hihi

-Mister Potato #DHW-

4 comments:

  1. Sampe nangis aku bacanya :'( sumpah baper bgt. Feel nya dpet. Lanjutkan thour

    ReplyDelete
  2. “Kadang yang realistis itu gak keliatan dan semu.. dan kadang yang cuma khayalan itu beneran ada.”

    like that one.
    nais stoly

    hidup BebKwek!!

    ReplyDelete