Akhirnya apdet juga ya setelah sekian lama :')
moodnya susah cyin~ apalagi kemaren juga fokus kelarin DoA duls.
Sebagai permintaan maaf, nih chapter gw buat panjang~~ dengan karakter-karakter baru pada muncul!!
Betewe, baru ngeh nih FF perkelahiannya kasar -__-)/ harusnya gw kasih peringatan juga nih...
Dan curhat dong... coba MV Boku Dake no Value-nya JKT48 ada duluan sebelum nih FF, pasti Elaine gw bikin 'berubah'nya kek di tuh MV. Tapi, yasudahlah :'v
Warning, adegan action 17+.
Sekali lagi. Saya udah peringatkan. Resiko ditanggung sendiri.
Happy Reading~~
Majisuka Gakuen (JKT48)
Chapter 4
Seperti biasa, kedatangan Elaine
selalu disambut oleh murid-murid yang langsung membicarakannya. Tentu saja,
belum genap sebulan, Elaine sudah berurusan sama 3 ‘orang’ yang cukup dianggap
di Majijo. Lama-kelamaan, kuping Elainepun sudah terbiasa dengan berbagai
celotehan murid-murid Majijo.
Pagi itu, Elaine sudah berada di
kelas 2-4, duduk di kursi milik Nabilah tentunya sambil membaca Novel yang
cukup berat kali ini. Di dekatnya, tentu saja Tim Gesrek sedang membuat sate.
“Kangen banget gw bray sama lu
pade!” Ucap Nabilah sambil merangkul Sisil.
“Ahh~~ Nabilah my oshi~ Sisil juga
kangen~”
“Kemane emang lu kemaren deh?”
Tanya Jeje sambil menyiapkan daging-daging.
“Ada deh, biasa urusan
per-bajay-an se-Jakarte.” Nabilah melirik sekilas Elaine yang tersenyum lembut
padanya itu. “Udehlah yang penting kan sekarang gw udah masuk. Jadi tenang aje.
Nih Len, duluan.” Nabilah memberikan piring berisi beberapa tusuk sate dengan
bumbunya pada Elaine.
“Gak kamu aja dulu?”
“Woles elah! Gampang ogut mah.”
“Makasih, Bil.” Elainepun
mengambil piring tersebut, menaruh piringnya di meja.
Elaine mengambil satu tusuk sate,
dan saat ingin memakannya…
“ELAINE~~” Panggil seseorang
sambil berlari ke arah Elaine melewati Gracia lalu memuluk Elaine.
BRUG!!
Piring plastic berisi sate-sate
untuk Elaine itu jatuh ke lantai. Dan sate yang dipegang Elaine juga terlempar
mengenai Ayana yang seperti biasa sedang tidur.
“Aw.” Erang Ayana pelan.
“Maaf Ayana.” Ucap Elaine yang
masih dalam dekapan…
“Grrr. KADONGGGG!!!” Teriak
Nabilah yang sudah berdiri di belakang Ghaida.
“Aduh!” Ghaida melepaskan
pelukannya pada Elaine. “Gak usah teriak-teriak juga dong, Dedong~”
“Kadong? Dedong?” Tanya Dena,
Sisil dan Jeje kompak dalam bingungnya.
“GIMANE OGUT GAK TERIAK-TERIAK
BANG?! Liat dong, lo udah jatohin sate buatan anak-anak buat Elaine. Belum
pernah tau rasanya di lindes bajay lo!”
“Wa-Waduh ma-maaf, Len. Maaf Nab.”
“Maap, maap bae lo kek mpok Minah.
Udeh keluar lu, keluar!” Nabilah mendorong badan Ghaida. “Keluar lu!
Masuk-masuk udah rusuh bae lu.”
“Maaf deh, Bil. Maafin Kadong.”
Ucap Ghaida sambil memohon.
“Gak ada. Gak ada! Balik sana,
balik aje lu!!” Nabilah terus mendorong.
“Gracia~” Sempat-sempatnya Ghaida
menyapa Gracia yang hanya menggeleng itu.
“Ett dah!! Genit banget lu!
Sempet-sempetnya modus! Keluar!!” Nabilah terus mendorong Ghaida sampai pintu
depan lalu menendangnya. “Pergi lau sana!” Ghaida yang ada depan pintu itu memanyunkan
bibirnya. “Ape?”
“Len, nanti aku-”
“GAK ADA!!” Teriak Nabilah
memotong ucapan Ghaida yang akhirnya pergi sambil mendengus kesal. “Cih! Dasar
pleier cap bebek!” Nabilah berbalik, pandangannya bertemu dengan Gracia yang
ternyata memperhatikannya. “Eh, Sorry ya Gracia.” Gracia hanya tersenyum tipis.
Nabilah kembali menghampiri dan
duduk bersama Tim Gesrek.
“Kadong sama Dedong apaan Nab?”
Tanya Sisil.
“Panggilan special?” Tanya Dena.
“Panggilan special dah. Lu kate
nasi goreng ada specialnya.” Jawab Nabilah tentunya ngaco.
Elaine hanya tersenyum melihat
tingkah laku Nabilah pada Ghaida. Mengingatkannya pada dirinya dan Andela dulu.
Elaine menghela nafasnya. Apa dia bisa bersama Andela lagi? Hanya Tuhan yang
tahu jawabannya.
~~~
Sore tiba, sudah waktunya jam
pulang sekolah. Namun, Elaine tidak memilih untuk pulang dan tetap berada di
sekolah. Dengan novel sebagai temannya, Elaine menikmati angin sore yang sejuk
di atas gedung Majijo itu.
Tiba-tiba, terlihat Nabilah
berjalan menghampirinya. Lalu duduk di sebelah Elaine. Dari sudut matanya,
Elaine dapat melihat Nabilah yang terlihat grogi dan salah tingkah itu. Mulutnya
terlihat ingin mengucapkan sesuatu namun seperti ragu.
“Kamu belum pulang Nab? Yang lain
kemana?” Tanya Elaine membuka obrolan.
“Hah? Gw? Eh itu, belum. Lagi
males. Anak-anak udah pulang duluan tadi.” Elaine hanya mengangguk tanda tahu.
Elaine terus memperhatikan
Nabilah. Gadis itu terlihat gusar. Elainepun menghela nafasnya.
“Kamu kenapa Nab? Mau ngomong sama
aku atau gimana?”
“Eh? Ahh gak kok. Gak. Ini badan
gw gatel-gatel gak enak aje.”
“Hmm. Yaudah, kalau gitu aku
balik, ya.” Saat Elaine berdiri dan ingin pergi, Nabilah menahan tangannya.
“Tunggu dulu, Len. Gw mau
ngomong.” Elaine kembali duduk disamping Nabilah. “Kamu suka nonton film gak?”
“Engg… Lumayan, kenapa?”
“Jangan lupa ye, nonton Wewe gak
pake gombel. Sama drama yang lagi ngetren sekarang ini #DramaDiatasBajay seru
tuh! Kang haji naik bubur aje kalah.” *ini
ditulis pada saat jaman itu
“……” Elaine hanya diam tak
menanggapi. “Emm, aku balik ya?”
“Ehh tunggu.” Nabilah masih
menahan tangan Elaine. “Iya iya, serius deh sekarang.” Elaine kembali duduk. “Sebenernya
ini sama sekali gak ada hubungannya sama lo sih. Makanya gw bingung dan gak
enak.”
“Aku gak apa-apa, kok. Kan ini
cerita kamu.”
“Tapi, gw malu Len.”
“Malu kenapa? Soal Kak Ghaida,
ya?” Tanya Elaine yang sepertinya tepat. Wajah Nabilah langsung memerah
bagaikan kelinci rebus (?).
“A-Ahh I-I-Itu.” Nabilah terlihat
begitu grogi, melihat sisi lain seorang Nabilah, Elainepun tersenyum.
“Aku gak akan maksa kamu cerita
kok.”
“Err… Len. Tapi janji jangan
cerita ke anak-anak, ya?”
“Emm, kenapa?”
“Gw malu. Keknya aneh aje orang
kek gw jatuh cinta. Sama cewek macem Kadong pula.” Ceplos Nabilah begitu saja.
“Eh? Eh? Eh? Barusan ngomong paan gw? Wah ngaco nih mulut!”
“Gak apa-apa kali, Nab. Gak ada
salahnya kok.”
“Gak salah ye? Tapi, gimana ya
Len. Doi biarpun cewek, gitu-gitu ganteng banyak yang naksir. Herman gw, deket
sama dia dari kecil kek gak pernah dilirik.”
“Mungkin kamu aja yang gak sadar.
Kenapa gak dicoba aja?”
“Coba paan?”
“Ungkapin.” Ucap Elaine sambil
tersenyum.
“Gile lu Ndro.”
“Takut? Katanya yankee, masa
ngungkapin cinta takut? Nabilah mah gitu orangnya ternyata.”
“Ett. Ini kan beda judul bray.
Lagian, gw tuh gak bisa digituin. Eh apasih Nabilah gak jelas ah.” Elainepun
hanya tertawa. “Lo sendiri gimana, Len?”
“Gimana apanya?”
“Pernah jatuh cinta?”
Elaine menatap lekat mata Nabilah
lalu kembali menatap ke depan.
“Aku pernah, masih dan akan terus.
Terus mencintainya.” Elainepun tersenyum kecil.
“Wih! Beruntung banget itu orang!”
Elaine hanya diam, tidak
menanggapi ucapan Nabilah itu. Matanya tetap menatap lurus ke pemandangan di
depannya. Tapi, hati dan pikirannya memikirkan hal lain atau lebih tepatnya
orang lain. Seseorang yang kini sedang tiduran di atas kursi kayu di sudut
sekolahnya.
Gadis itu begitu menikmati
tidurnya, sampai suara-suara langkih mendekat ke arahnya. Saat dia membuka mata
dan menolehkan kepalanya, terlihat 3 gadis seksi datang mendekat padanya.
Diapun bangkit dari tidurnya untuk duduk.
“Ehh!! Tiduran aja Andela!!” Ucap
seorang gadis yang langsung berlari duduk di samping Andela. “Sini-sini, aku
rela kok jadi bantalmu.” Tambahnya sambil menepuk-nepuk pahanya sendiri.
“Farin modus.” Ucap gadis lainnya
yang duduk di sisi kiri Andela. “Siniin kakinya sayang, biar aku pijitin.”
“Sama aja lo, Ty!” Protes Farin.
“Aku pijitin pundaknya mau gak?” Saat Farin ingin memijat kedua pundak Andela,
gadis itu bangkit untungnya Manda bisa mencegahnya.
“Jangan buru-buru dong Andela.”
Ucap Manda sambil menyuruh Andela kembali duduk. Mandapun ikut duduk diantara
Farin dan Andela.
“Kenal ini siapa gak?” Tanya Manda
sambil menunjukkan foto Elaine pada Andela.
Melihat itu, tentunya Andela
terkejut, saat dia ingin mengambilnya, Manda menjauhkan foto itu dan memberikannya
pada Farin.
“Mantannya Andela nih? Kecil
amat.” Komen Farin. *apanya yang kecil?
:v
“Kita mau berantem lawan dia loh~
Kamu dukung siapa?” Tanya Manda. “Jawab dong Andela.”
Bukannya menjawab, Andela bangkit.
“Lebih baik kalian gak usah buang waktu.” Ucap Andela sebelum pergi tinggalkan
ketiganya.
Andela terus berjalan sampai
seseorang menyapanya. Andelapun menatapnya.
“Andela. Liat dimana para SexySter?”
Tanya gadis bertubuh jangkung itu.
“Di dalam sana.” Jawab Andela
sambil menunjuk tempat yang tadi dijadikannya tempat beristirahat.
Gadis itu tersenyum. “Makasih
Andela.” Gadis itu mulai melangkahkan kakinya. “Ota, ayo.” Ajak gadis itu pada
gadis lain yang membutinya.
Andela hanya menatap datar gadis
bernama Okta yang menatapnya dengan tidak suka sambil memakan es krim itu.
Andelapun memperhatikan borgol yang menyatukan pergelangan tangan keduanya,
Andela terus memperhatikan keduanya hingga cukup jauh. Keduanya terus berjalan
sampai tiba di tempat yang dimaksud Andela. Di dalamnya Manda dan lainnya
sedang ribut, entahlah apa yang mereka ributkan.
“Ehem.”
“De-Desy?” Kaget Manda, Tya dan
Farin bersamaan.
“Kaget banget, biasa aja kali.”
Gadis jangkung bernama Desy itu mendekat ke arah Manda. “Coba liat fotonya
dong, kayaknya bagus banget.” Dengan ragu, Farin memberikan foto bergambar
Elaine itu pada Desy. “Jadi, ini anak baru di Majijo itu?”
“Mantan pacarnya Andela—Aw!
Apa-apaan sih, Man?!” Protes Farin karena Manda menyikutnya.
“Mantannya Andela? I see. Kalian
udah gak butuh lagi fotonya, kan? Aku ambil, ya.” Desypun berbalik. “Yuk, Ota.”
Desy berjalan, namun Okta malah diam. Menatap tajam Manda, Tya dan Farin dengan
tatapan yang… “Ota, ayok.” Oktapun berbalik.
“Apaan sih tuh bocah kelas satu.
Dasar freak.” Bisik Tya sangatttttt pelan.
Ternyata Okta mendengar itu,
diapun berhenti. “Cidey, Ota dikatain freak.” Ucap Okta dengan suara bergetar.
Mendengar keluhan Okta, Desy
berbalik. Menarik Okta dan…
BUGH!!
Desy memukul lemari yang tepat ada
di belakang Tya dengan sangat kencang. Tya yang kaget hanya bisa membuka lebar
kedua matanya juga mulutnya. Nafasnya begitu sesak secara mendadak, keringat
tiba-tiba mengalir. Dihadapannya, Desy menatapanya begitu tajam.
“Sekali lagi gw denger ada yang
ngomongin Ota, gw abisin.” Desy mengelap darah yang ada di tangannya itu di wajah
Tya. “Ayo, Okta kita balik.”
“Tangannya Cidey sini.” Desy
memberikan tangan kanannya itu –yang tadi dipakainya memukul- pada Okta.
Bagaikan es krim, Okta menjilati bekas darah yang masih ada. Keduanyapun pergi
meninggalkan ruangan tersebut.
Desy yang tangan kirinya terborgol
dengan tangan kanan Okta itu, berjalan menulusuri bagian terdalam sekolahnya.
Tentunya menuju ruangan para petinggi Yabakune. Saat Desy membuka pintu
tersebut, ruangan begitu sepi hanya ada dua orang disana. Sang ketua yang sedang
duduk di sofanya sambil membaca novel dan sang wakil yang sedang membuat
minuman.
“Ehh Ota sama Desy. Mau minum apa?
Biar Kak Naomi bikinin.” Tanya gadis cantik bernama Naomi itu. Ya, sang wakil
ketua Yabakune.
“Es.” Jawab Okta singkat.
“Aku gak usah Ci. Makasih.” Jawab
Desy kali ini.
“Oke.” Naomi kembali berkutat
dengan minumannya. “Je, ini minumannya.” Naomi meletakakkan secangkir teh di
meja depan sang ketua.
“Green Tea? Thanks, Mi.”
“Dan ini buat Ota. Awas, panas.”
Ucap Naomi menekankan pada kata ‘panas’ sambil memberikan cangkir berisi susu
coklat pada Okta.
“Uhh! Kak Naomi.”
“Etts, gak terima penolakan.”
Naomi mengedipkan salah satu matanya pada Okta.
Dengan raut wajah kesal, Okta
terlihat perlahan meminum susu coklat itu. Melihat tingkah laku adik kelasnya
itu, Naomi hanya tersenyum. Naomi lalu melirik Desy yang hanya diam.
“Kenapa Des?”
“Ah? Ini.” Desy memberikan foto
Elaine pada Naomi. “Itu foto anak baru di Majijo itu. Mantan pacarnya Andela.”
“Oh ya? Wah.”
“Coba aku liat Mi.” Pinta sang
ketua, Naomi menghampiri dan memberikan foto tersebut.
“Selera Andela yang lucuk
kecil-kecil gitu, ya? Pantes gw godain gak mempan. Payah.” Keluh Naomi.
“Nih Mi.” Naomi kembali mengambil
foto tersebut dan menempelnya di dinding ruangan tersebut yang terdapat banyak
foto-foto anak-anak Majijo.
Mulai dari foto Elaine barusan,
para petinggi di Majijo bahkan juga foto ChelVan, Ghaida dan Tim Gesrek. Yang
berbeda disana hanyalah foto Kinal yang diberi tanda ‘X’ tebal dengan spidol
Hitam di bagian wajahnya.
“Kak Je.” Panggil Desy.
“Hmm?”
“Michelle beneran mau dibiarin?”
“Iya, biarin aja.” Jawab sang
ketua singkat dan tetap tidak berubah.
~~~
Seminggu kembali berlalu. Tentunya
seperti biasa, Tim Gesrek sedang membuat sate untuk santapan mereka. Terlihat
begitu serius. Sampai bisa dibilang mereka tidak konsentrasi pada
sekelilingnya.
“Ini gak ada yang mau nantangin
Elaine lagi?” Tanya seseorang yang ada disamping kanan Nabilah, orang itu lalu
mengambil sate yang baru ditaruh Nabilah di piring.
“Iye, ye? Iye juga sih. Udah seminggu
lebih adem ayem nih. Tapi, siapa lagi yang jadi lawannya?” Tanya Nabilah.
“Hmm, kalau sesuai urutan di
Majijo, berarti harusnya udah lawan Rappapa. Iya kan, Cil?”
“Iya, Chel.” Dua orang yang duduk
di sebelah kiri Nabilah itu mengambil sate yang baru saja jadi.
“Wah iye, bener juga. Udah Rappapa
ye. Tim Gesrek, Kadong, ChelVan terus--” Nabilah lalu menghentikan
kata-katanya, merasa ada yang aneh. Dia menengok ke kananya, dengan santainya
Ghaida yang sedang makan sate bersama dengan Dena itu tersenyum pada Nabilah
sambil menaikkan kedua alisnya. “Kadong?” Nabilah lalu menghadap sebelah kiri,
ada Rachel dan Vanka yang juga seenaknya makan sate. “Eh busee!!” Nabilah
berdiri. “Sejak kapan lu pade disini? Ett bujug! Dari tadi yang ngomong sama gw
itu lu pade?”
“Hai Kak Nabilah~” Ucap Rachel dan
Vanka bersamaan.
“Hai Dedong~” Ucap Ghaida kali
ini.
“Ett!! Gile lu pade, ngapain
disini?!”
Nabilah terus berteriak-teriak
tidak jelas, yang tentunya suaranya terdengar oleh Gracia yang baru saja menuju
kelas mereka. Gracia hanya menggeleng. Sudah biasa. Saat dirinya ingin
menginjakkan kaki di anak tangga terakhir, lewatlah seseorang yang berjalan
begitu cepat. Gracia cukup kaget. Dia tidak merasakan hawa gadis itu.
Apa gadis itu bukan manusia? Tapi,
kakinya masih menapak. Gadis yang berjalan cepat itupun melewati pintu belakang
kelas 2-4, Ayana yang melihat itu langsung menjatuhkan satenya.
“Ha-Hantu?!” Ucap Ayana masih
terlihat kaget.
“Hah? Nih anak kobam? Ya kali
pagi-pagi ada hantu, bangun Ay!!” Teriak Jeje.
Gracia yang melihat itu langsung
menaruh tasnya dan mengikuti gadis yang berjalan cepat itu. Rasa penasaran
membaluti pikirannya. Gadis yang dianggap hantu oleh Ayana itu ternyata masuk
ke dalam kelas 2-1, lalu duduk di sebuah kursi. Siapa lagi yang dihampirinya
kalau bukan… Elaine.
Elaine yang tengah membaca Novel
karya Dan Brown itu langung menoleh, cukup kaget melihat gadis disampingnya
yang tersenyum-senyum tidak jelas padanya. Siapa gadia itu? Ada perlu apa
dengan Elaine?
“Hai Elaine.” Ucap gadis itu
sambil menjulurkan tangan. Elaine memperhatikan tangan gadis itu lalu ke atas menatap
wajahnya yang terdapat tahi lalat di dekat mata. Siapa dia? “Ahh iya, nama gw
gak penting buat lo.” Gadis itu menarik tangannya, lalu terlihat mencari
sesuatu di dalam bajunya. “Gw cuman mau ngasih sesu-”
“Buat apa murid Yabakune ada di
Majijo?”
“Ketawan? Wah hebat juga. Padahal
udah pake seragam Majijo.”
“Tetap saja, kau pasti tidak akan
menggunakan pin sekolah lain.”
Gadis itu melirik ke arah dalam
kerah bajunya. “Ahh, ternyata aku terlalu mencintai Yabakune. Tapi, yasudahlah
itu tidak penting. Langsung saja.” Gadis itu memberikan sebuah amplop pada
Elaine. “Untukmu.”
“Apa ini?”
“Dari Andela.” Elaine langsung
menatap gadis itu yang hanya tersenyum sinis.
“Andela? Gak mungkin.”
“Kenapa gak mungkin? Ahh iya,
kalian sudah putus, ya? Maaf ya.”
“Siapa kau sebenernya?”
“Bukan urusanmu. Ahh yasudah aku
permisi dulu.” Gadis itu berdiri lalu keluar dari kelas Elaine.
“Siapa kau?” Tanya Gracia yang
berdiri menyandar di lorong antara kelas 2-1 dan kelas 2-2, menghentikan gadis
yang baru saja keluar itu.
Gadis itu menoleh dan…
KLIK!
Gracia mengambil fotonya.
“Bukan urusanmu.”
“Urusanku. Untuk apa murid sekolah
lain kemari?”
“Ahh, kupikir hanya Elaine saja
yang bakal sadar.”
“Aku sudah 2 tahun sekolah disini.
Tentu saja aku sadar kalau kau bukan murid Majijo.”
“Begitu ya? Hmm tapi aku memang
tidak ada urusannya denganmu. Maaf lebih baik aku pergi, kau membuang waktuku.”
Gracia menarik salah satu sudut
bibirnya, dia diam dan membiarkan gadis itu pergi berlalu. Gadis itu akhirnya
sudah keluar dari Majijo lalu menghampiri temannya yang menunggu di depan
gerbang.
“Ehem.”
“Eh? Michelle. Udah? Kamu
baik-baik aja?”
“Keliatannya?”
“Emang gak ada murid Majijo yang
sadar?”
“Mereka cukup bodoh untuk
menyadari keberadaanku. Yaudah yuk ah.”
“Kemana? Yabakune?”
“Ganti baju dulu kali. Udah ayo
ah.” Michelle menarik tangan Nadse untuk pergi dari sana.
~~~
Elaine yang sudah tiba di kamarnya sepulang sekolah setelah mengganti baju langsung merebahkan diri di kasur. Dia hanya diam memandangi langit-langit kamarnya. Boneka bebek kesayangannya ada disampingnya selalu menemani. Elaine melirik ke samping kirinya, Novel berjudul “Angels and Demons” yang berada di atas meja belajarnya itu mencuri perhatiannya. Elaine bangkit, saat ingin mengambil kertas yang jadi pembatasnya…
Elaine yang sudah tiba di kamarnya sepulang sekolah setelah mengganti baju langsung merebahkan diri di kasur. Dia hanya diam memandangi langit-langit kamarnya. Boneka bebek kesayangannya ada disampingnya selalu menemani. Elaine melirik ke samping kirinya, Novel berjudul “Angels and Demons” yang berada di atas meja belajarnya itu mencuri perhatiannya. Elaine bangkit, saat ingin mengambil kertas yang jadi pembatasnya…
Tok. Tok. Tok.
Pintu kamarnya diketuk dan
seseorang membukanya.
“Dek, makan malem dulu, yuk.” Ucap
gadis cantik yang memandangi Elaine sambil tersenyum dari depan pintu itu.
“Iya, Ci.”
Kini Elaine sudah duduk di kursi
makannya. Di hadapannya, berbagai lauk pauk yang sehat dan bergizi sudah
tersedia. Sementara itu, gadis cantik yang tadi memanggil Elaine sedang
mengambilkan nasi untuk mereka berdua.
“Ini Dek. Yuk makan.”
“Makasih Ci.”
“Sama-sama.” Gadis yang sepertinya
lebih tua dari Elaine itu lalu duduk di depan Elaine. “Makan, Dek.”
“Iya, Ci. Tumben Ci Shani udah
pulang?”
“Iya, Dek. Lagi bisa pulang. Maaf
ya, akhir-akhir ini kegiatan kampus nguras waktu banget. Padahal Om sama Tante
nitip kamu sama Ci Shani, tapi malah gak ku urusin.” Ucap gadis bernama Shani
itu, merasa tak enak.
“Gak apa-apa, Ci. Aku udah biasa
sendiri kok.” Jawab Elaine yang sudah mulai makan.
Shani menatap sedih wajah adik
sepupunya itu. Adik sepupu yang kembali lagi ke Jakarta dari Neptunus
Malang hanya untuk menguntai ulang kisah persahabatan lamanya yang pernah
terputus dulu. Ditatapnya lekat kedua bola mata Elaine, gadis imut dihadapannya
itu terlihat kesepian.
“Gimana sekolah baru kamu?” Tanya
Shani.
“Biasa aja.”
“Kenapa harus pindah ke sekolah
Yankee seperti itu?”
“Karena hanya tempat seperti itu
yang membuatku bisa bertemu lagi dengan mereka.”
“Lalu ketemu?”
Elaine mengangguk pelan. “Gracia
bersekolah di Majijo. Tapi, Andela…” Elaine menghentikan ucapannya.
“Andela kenapa? Dia masih marah sama
kamu?”
“Dia sekolah di Yabakune. Musuh
bebuyutan Majijo.”
“Hmm. Terus hubungan kamu sama
Gracia bagaimana?” Elaine hanya menggeleng.
Hening. Ruang makan itu kembali
dalam keadaan hening. Hanya ada bunyi dari jarum jam yang ada di ruangan itu.
Jarum pendek di jam dinding tersebut menunjuk angka 7 sementara jarum panjangny
ada di antara angka 8 dan 9. Belum begitu malam, tapi suasana rumah itu begitu
sepi. Keduanya masih makan dengan begitu konsentrasi.
Di hadapan Elaine, Shani masih
memperhatikan wajah Elaine. Elaine yang pikirannya entah berada dimana. Shani
tersenyum sedih, dahulu adik sepupunya itu tidak seperti ini. Shani tiba-tiba
teringat, masa lalu saat Elaine dan ketiga sahabatnya bermain di rumahnya itu…
“Selamat siang Ci Shani~” Ucap kompak Gracia dan Hamids saat Shani
membukakan pintu untuk mereka.
“Selamat sayang Ci Shani~” Ucap Andela kali ini yang langsung saja
dapatkan cubitan di perutnya. Siapa lagi kalau bukan Elaine yang mencubitnya.
“A-Aduh, aduh Kwek. Ampun.”
“Huh! Tau ah, sebel sama Andela.” Keluh Elaine. “Siang Ci,
temen-temenku mau main. Tapi, yang namanya Andela itu gak usah disuruh masuk.”
“Ih, kok Kwek gitu?”
“Bodo.”
Shani hanya diam, bingung tentu saja. Elaine lalu masuk ke dalam rumah
Shani, disusul Gracia dan Hamids yang masuk setelah menunduk hormat. Sementara
itu, Andela masih berdiam di depan pintu.
“Gak masuk?” Tanya Shani heran.
“Tadi kata Kwek, gak boleh. Yaudah.”
“Ahaha. Makanya jangan bikin dia kesel. Coba bujuk sana.”
“Jadi, boleh masuk nih?”
“Boleh. Udah ayo masuk ah.” Andelapun masuk, dan saat akan memeluk
Shani. “Ettss mau ngapain? Gak liat tuh udah ditatap tajem sama Anak Poseidon?”
“Ehehe. Gak jadi kok. Elaine~~” Shani hanya menggeleng-geleng melihat
kelakuan ketiga anak SMP itu.
Keempatnya langsung berlari dengan cepat ke arah kamar Elaine. Lagi,
Shani hanya menggeleng. Tanpa diminta, Shani lalu membuatkan minuman dan
berbagai cemilan untuk mereka. Di dalam kamar Elaine, mereka langsung
merebahkan diri di kasur Elaine. Gracia dan Hamids langsung bernasis ria dengan
Sao, nama boneka bebek kesayangan Elaine. Tak lupa update status juga di
Twitter, tapi tidak di Path. Karena di Path, Neptunus gak ada di location. Oke
ini jayus.
Sementara Andela, sambil memejamkan matanya dia memeluk guling.
Diam-diam, gadis itu mengintip Elaine yang sedang ganti baju di depannya.
Setelah Elaine berganti baju, mereka ber empat-pun bermain. Sekitar 30 menit
kemudian, pintu kamar Elaine dibuka. Perlihatkan Shani yang datang dengan
membawa nampan berisi minuman dan juga piring berisi kue.
“Ya, ampun Ci. Elaine jadi ngerepotin.” Ucap Elaine sambil membantu
Shani menaruh minuman mereka, Graciapun juga membantu.
“Gak apa-apa kok, Len. Lagian Ci Shani gak repot.” Jawab Shani sambil
tersenyum. “Oh iya, cobain deh kuenya. Itu special buat kalian loh, untung
Elaine udah bilang dari kemaren-kemaren. Jadi tadi, tingal nunggu jadi.”
“Spesial?” Keempatnya langsung melihat ke arah piring tersebut.
Terdapat kue bentuk empat cewek yang saling bergandengan tangan.
“Tapi, maaf ya gak mirip kalian. Abis Ci Shani kan belum pernah ketemu
kalian.”
“Ahh~~ Ci Shani ini lucu banget.” Ucap Gracia, hal itu disetujui Hamids
yang mengangguk-ngangguk. “Kapan-kapan ajarin Gracia, ya?”
“Boleh aja.”
“Tapi, dalam rangka apa Ci Shani bikinin kue gini?”
“Dalam rangka… apa ya? Gak tau juga. Kepengen aja. Ya, anggep aja kado
untuk persahabatan kalian.” Spontan Elaine langsung memeluk Shani.
“Ahh, makasih Ci Shani~”
“Makasih Ci Shani~~” Gracia dan Hamidspun ikut memeluk Shani.
“Makasih Ci Shantik~” Saat Andela juga ingin ikut memeluk Shani….
Bonus foto Shani nih. |
BUGH!!
Pukulan melayang ke wajahnya, siapa lagi kalau bukan Elaine yang
memukulnya.
“Aduh, sakit Kwek. Gitu banget sih, Hamids aja dibolehin sama Gre.”
“Hamids sama kamu tuh beda! Kamu mah sekalian modus, emangnya aku gak
tau!”
“Ehehehe.” Andela hanya nyengir-nyengir kuda.
“Makasih makan malamnya.” Ucap
Elaine buyarkan lamunan Shani. “Aku balik ke kamar dulu, Ci.” Elainepun bangkit
dari tempat duduknya.
“Elaine.” Elaine menoleh, menatap
Shani. “Jangan bobok malem-malem.” Elaine hanya mengangguk lalu berjalan pergi
tinggalkan Shani. “Semoga persahabatan kalian bisa kembali seperti yang dulu,
walau semua telah berbeda…”
Di dalam kamar, Elaine langsung
duduk di depan meja belajarnya. Mengambil sebuah buku dan alat tulisnya dan
mulai membaca dan mengerjakan soal-soal di buku tersebut. Satu jam berlalu,
gadis pecinta bebek itu tidak bisa konsentrasi dengan rumus-rumus di buku
pelajaran Fisika tersebut. Novel tebal di meja belajarnya itu selalu mencuri
konsentrasinya, apalagi amplop yang jadi pembatasnya.
Elaine mengambil novel tersebut,
juga amplopnya. Dilihatnya muka amplop tersebut, hanya ada tulisan ‘Elaine
Hartanto’ disana. Elaine menghela nafasnya lalu mulai membuka dan membaca surat
yang ada di dalamnya…
Halo Elaine.
Aku tunggu kedatangan kamu di gudang TwT setiap harinya sepulang
sekolah. Jika dalam waktu kurang dari 7 x 24 Jam kau tidak memperlihatkan
batang hidungmu. Jangan harap teman-temanmu selamat.
Andela Y.
Itulah kalimat yang ada di dalam
surat tersebut. Sebuah cap bibir dan cap logo Yabakune juga ada di surat
tersebut. Andela? Apa-apaan. Dalam hati dan pikirannya, Elaine tentu
mempercayai bahwa surat ini jelas bukan dari Andela.
Mungkin, seseorang hanya memakai
dan ‘meminjam’ namanya. Cewek yang memberikannya surat? Tapi, untuk apa? Ah sudahlah.
Elaine kembali melipat surat tersebut dan memasukkan ke dalam amplopnya. Diapun
kembali belajar.
~~~
Hari kembali berganti. Seperti biasa, di ruang kelas 2-4 bersama Ghaida dan Duo ChelVan, Tim Gesrek sedang memakan sate. Ketiga orang itu terasa sudah jadi bagian dari Tim Gesrek. Di depan ruangan kelas tersebut, Elaine yang baru datang tersenyum bahagia. Apalagi, saat melihat kedekatan Nabilah dan Ghaida.
Hari kembali berganti. Seperti biasa, di ruang kelas 2-4 bersama Ghaida dan Duo ChelVan, Tim Gesrek sedang memakan sate. Ketiga orang itu terasa sudah jadi bagian dari Tim Gesrek. Di depan ruangan kelas tersebut, Elaine yang baru datang tersenyum bahagia. Apalagi, saat melihat kedekatan Nabilah dan Ghaida.
Pemimpin Tim Gesrek itu sesekali
terlihat memukul kepala Ghaida yang makan sambil menggoda anggota Tim Gesrek atau
Rachel/Vanka. Elaine hanya menggeleng. Bila diingat-ingat persis seperti dia
pada Andela dulu.
“Buat apa berdiri memperhatikan
dari situ? Kenapa gak masuk aja?” Tanya seseorang. Elaine menoleh, terlihat
Gracia ternyata yang baru tiba. “Bukankah kamu juga udah jadi bagian dari
mereka?”
Elaine terlihat berpikir sejenak.
“Gre. Apa kamu liat cewek yang kemaren dateng kesini?”
“Cewek yang mana? Ahh tunggu. Yang
jalannya cepet itu?” Elaine mengangguk. “Kenapa memangnya dengan cewek itu?”
“Dia murid Yabakune.”
“Ahh. Pantes. Setelah aku
memperhatikan wajahnya baik-baik. Dia cewek yang menonton perkelahianmu dengan
ChelVan beberapa waktu yang lalu.”
Hening, keduanya tampak sama-sama
berpikir. Tanpa disadari keduanya, Tim Gesrek, Ghaida, dan Duo ChelVan
memperhatikan mereka dengan tenang dan seksama, begitu juga dengan seseorang
yang mendengarkan dari atas.
“Dia menyebut nama Andela saat
berbicara denganku.” Ucap Elaine kembali.
“Wah? Benarkah? Berarti kau sudah
tenar sampe Yabakune. Tapi… untuk apa menceritakannya padaku? Apapun yang akan
kamu bilang berikutnya, semua tentang kamu dan Andela tidak ada lagi
hubungannya dengan aku.”
“Tapi, Gre-”
“Ahh, satu lagi. Asal kamu tahu,
aku udah membuang semua hal yang bersangkutan dengan kalian.”
“Termasuk soal Hamids?” Tanya Elaine
dengan raut wajah yang sedih.
Raut wajah Gracia terlihat
berubah, mukanya sedikit merah. Menahan marah? Atau menahan tangis? Tidak ada
yang tahu pasti. Hanya seorang Gracia yang tahu. Gracia memejamkan mata dan
menghela nafasnya.
“Itu bukan urusan kamu lagi. Dan kamu
gak perlu tau.”
“A-”
“Cukup, Len. Terakhir tolong
bilangin kurcaci-kurcaci kamu. Untuk menghilangkan hobi mengintip mereka.”
Elainepun langsung menengok ke arah Tim Gesrek dan lainnya. Kedelapan orang
tersebut langsung berpura-pura sibuk atau makan sate kembali. “Sekali lagi
mereka begitu gw gak akan segan-segan bakar mereka kayak sate yang mereka
makan. Atau jadiin mereka kelinci rebus.” Graciapun berbalik dan kembali
menuruni tangga sekolah mereka.
Elaine kembali menoleh ke arah
mereka berdelapan. Mereka hanya bisa menelan ludah sendiri. Tidak berani
menatap Elaine yang menatap mereka dengan tajam. Elaine menghela nafasnya
sebelum kembali menuju ruang kelasnya.
“Lo, sih Je.”
“Lo, sih Sil.” Saling tuduh sambil
mendorong-dorong badan yang lainnyapun terjadi.
Semenjak kejadian itu berlalu,
hampir di setiap harinya enam orang dari delapan orang tersebut (kecuali Ghaida
dan Nabilah yang menyatakan mereka itu senjata terakhir) selalu meminta maaf
secara bergantian. Mereka berpikir Elaine marah karena tidak pernah kembali
berkumpul bersama mereka (terutama dengan Tim Gesrek).
Padahal, kenyataannya tidak
seperti itu. Elaine sudah pernah mengatakan pada mereka bahwa Elaine tidak
marah dan hanya butuh sendirian dulu. Tapi, mereka tetap tidak percaya. Memang
sih, Elaine berbohong soal ingin menyendiri. Karena lebih tepatnya, Elaine
memang ingin menghindari mereka dulu. Bukan karena marah, tapi ya karena surat
yang diterimanya.
Elaine bukannya takut. Benar atau
tidaknya surat dari ‘Andela’ itu, main-main atau tidaknya. Elaine hanya
berjaga-jaga juga mencegah yang terburuk. Dan hal itu hanya disimpan dalam
hatinya seorang diri. Hingga tiba di hari ke tujuh…
“Michelle.” Panggil Manda pada
gadis yang sedang sibuk memainkan HPnya itu. “Heh, Michelle!”
“Hmm?” Saut Michelle tanpa
memperhatikan Manda.
“Heh, Michelle! Lo bisa sopan
sedikit gak sih sama yang lebih tua? Kalau diajak ngomong tuh liat orangnya!”
“Hah.” Michelle menghela nafasnya.
“Kenapa sih, Kak Manda?”
“Itu bocah kecil mana? Kok gak
muncul-muncul?! Udah seminggu kita ke tempat yang lo bilang. Tapi, mana?!?”
Teriak Manda yang terlihat kesal.
Manda membalikkan badannya. Kesal
dan marah. Emosinya makin tersulut saat melihat Tya dan Farin malah asik-asikan
dengan Nadse. Bebas aja suka-suka imajinasi para pembaca, mereka lagi ngapain.
“Errr!! Itu dua bocah malah
enak-enakan lagi.”
“Kak Manda gak ikutan?” Tanya
Michelle sambil memeluk Manda dari belakang, spontan kagetkan Manda yang
langsung menghadap Michelle.
“Ngapain, lo?”
“Ahahahahaha! Santai aja sih. Udah
tujuh hari, ya? Berarti udah saatnya kalian gerak.”
“Gerak gimana? Samperin dia di
Majijo?”
“Pancing dengan ini, dong!” Ucap
Michelle sambil menunjukkan foto yang di kantongin Manda. Mandapun tersenyum.
“Hampir aja gw lupa.” Manda
kembali mengambil foto yang dipegang Michelle. “Tya, Farin. Kita jalan
sekarang.”
“Tapi, Man-”
“Gak ada tapi-tapi-an. Udah ayok.”
“Man-”
“Sekarang.”
Farin dan Tya saling bertatapan
lalu bangkit sambil merapihkan pakaian mereka dan mengikuti Manda. Sementara
itu Nadse…
“Syel, lagi nanggung juga.”
“Bukan urusan gw.” Jawab Michelle
ketus. Membuat Nadse bete. “Gak usah bete. Lanjut sama gw, gimana?”
“Serius?” Tanya Nadse dengan
girangnya.
“Kapan sih seorang Michelle
bercanda.” Jawab Michelle sambil tersenyum.
~~~
Sambil menatap cerahnya langit di atas gedung sekolahnya, Elaine berdiri disana dan menikmati udara segar yang ada diatas sana. Tiba-tiba, ada suara grasak-grusuk dari kejauhan. Elaine menoleh. Ternyata ada Nabilah dan Ghaida yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
Sambil menatap cerahnya langit di atas gedung sekolahnya, Elaine berdiri disana dan menikmati udara segar yang ada diatas sana. Tiba-tiba, ada suara grasak-grusuk dari kejauhan. Elaine menoleh. Ternyata ada Nabilah dan Ghaida yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
“Sore, Len. Belom pulang?” Tanya
Ghaida.
“Yaelah dah Kadong basi amat sih
nanyanya. Udah tau Elaine ada di depan mata kita. Ya masih ada, lah.” Omel
Nabilah.
“Ada apa?”
“A-A-Anu, Len. Itu, anuan.”
“Apaan, sih lu, Dek? Ambigu
banget. Kita mau ngomong aja, kok. Boleh, kan?”
“Soal ngintip lagi?” Nabilah dan
Ghaida saling berhadap-hadapan dan saling sikut-sikutan. Elainepun menghela
nafasnya. “Hmmfh. Kalau soal itu aku udah maafin kalian. Tapi, aku harap kalian
tau sopan santun untuk tidak selalu mencuri dengar obrolan orang lain.” Tambah
Elaine.
“Makasih Elaine.” Ucap Ghaida dan
Nabilah hampir bersamaan sambil membungkuk pada Elaine.
“Ehh?? Sudahlah. Gak apa-apa, kok.
Gak usah sampe kayak gitu.”
“Hehehe. Makasih ye, Len. Kalau
gitu, gw sama Kadong pulang dulu boleh, nih?” Elaine mengangguk.
“Yaudah kita pulang dulu, Len.
Sekali lagi maaf.” Ucap Ghaida.
“Kak Ghaida, Nabilah tunggu.”
Panggil Elaine kembali. “Anak-anak tim Gesrek udah pada pulang, kan?”
“Udah kok daritadi mereka.”
“Yaudah kalau gitu. Kalian hati-hati,
ya.” Ghaida dan Nabilah saling bertatapan sebelum pergi tinggalkan Elaine.
Sial. Sungguh sial. Tim Gesrek
memang sudah keluar dari Majijo, tapi mereka tidak langsung pulang ke rumah
masing-masing. Keempat orang anggota Tim Gesrek itu sedang mengobrol sambil
bermain dan makan martabak di taman bermain –tempat Elaine dan ChelVan
berantem-.
“Kira-kira Elaine udah maafin kita
belum, ya?” Tanya Sisil.
“Cuman bisa doa dan berharap sama
si Kubil.” Jawab Jeje.
“Ehem, ehem.” Batuk seseorang
mencuri perhatian keempatnya.
“Tim Gesrek betul?” Tanya salah
seorang diantara tiga orang yang menghampiri Tim Gesrek.
“Ya-Yabakune??” Tiga orang itu
hanya tersenyum dan….
BAGH! BUGH! BAGH! BUGH!
~~~
Sudah sejam Elaine berdiam diri di atas sekolahnya. Sudah waktunya dia pulang. Saat berjalan menuruni tangga, tak sengaja Elaine berpapasan dengan seorang cewek bertubuh macho dan tinggi yang tidak dikenalnya.
Sudah sejam Elaine berdiam diri di atas sekolahnya. Sudah waktunya dia pulang. Saat berjalan menuruni tangga, tak sengaja Elaine berpapasan dengan seorang cewek bertubuh macho dan tinggi yang tidak dikenalnya.
“Itu anak baru yang dibilangin
Beby? Hmm.” Ucap orang itu.
Elaine terus berjalan, sampe di
taman yang tidak jauh dari sekolah itu. Elaine memperhatikan dengan seksama
taman tersebut. Keadaannya aneh. Seperti terdapat bekas perkelahian. Pikiran Elaine
langsung kemana-mana, ia mendekat dan mencari sesuatu yang diharapkannya semoga
tidak sesuai yang dipikirkannya.
Saat sedang mencari, kakinya
menginjak sesuatu. Elaine berjongkok. Dan ternyata itu adalah pin Majijo. Di
dekatnya, ada darah yang masih cukup segar.
“Tim Gesrek? Sial.” Sambil
menggenggam pin itu, Elaine bangkit dan berlari. Menuju….
BUGH!!
Dengan kasarnya, Manda memukul
perut Dena.
“Hah.” Kini Manda menarik rambut
pendek Sisil. “Tinggal jawab dimana bocah kecil itu apa susahnya sih?!” Kesal
Manda.
“Gak akan. Kita gak akan kasih
tau.” Dengan kasarnya, Manda melepas pegangannya. Dan kini menuju Ayana.
“Nih anak udah mati duluan kali,
ya?” Tanya Manda saat melihat Ayana yang memang memejamkan matanya. “Bodo amat.”
Manda lalu berjalan mendekat ke arah Jeje. “Heh, cihuy. Kasih tau gw cepet nama
contact tuh bocah di HP lo!!”
“Lo mau tau banget? Nih…” Cih!!
Dengan sengaja, Jeje meludahi Manda. Dan tentu saja…
BUGH!!
“Jeje!!” Teriak anggota Tim Gesrek
lainnya saat melihat Jeje dipukul wajahnya. Darah segar kembali keluar dari
hidung Jeje.
Manda lalu kembali mendekati Tya. “Ty,
lo gak bisa nemuin apa contact tuh bocah di HP mereka?!” Tya hanya menggeleng.
Tim Gesrek tersenyum dalam sakitnya. Bukannya mereka tidak punya contact
Elaine, hanya saja sesuai perintah Nabilah, mereka tidak menamain Elaine di HP
mereka dengan yang sebenernya.
“Brengsek.”
“Man.” Panggil Farin. “Manda.”
“Apasih, Rin?”
“Di foto, mereka ada lima orang?
Kok di kita cuman empat?” Tanya Farin. Manda langsung menghampirinya, dan saat
Manda memperhatikan foto itu…
BRAK!!
Pintu tersebut, dibanti seseorang.
Perlihatkan Elaine yang datang dengan nafas tak beraturan setelah berlari.
“Elaine?!” Kaget kompak Tim
Gesrek. Elaine langsung menoleh kepada mereka. Betapa terkejutnya Elaine saat
melihat keadaan keempatnya yang tidak hanya babak belur, tapi juga dalam
keadaan tali mengikat tangan dan leher mereka. Dan bila kursi yang jadi tempat
mereka berdiri jatuh…
“Hyaaa!!” Tanpa aba-aba Manda
menyerang Elaine.
Elaine menunduk menghindari tinju
tersebut lalu berputar dan menendang perut Manda. Dari depannya, Tya menyerang
bertubi-tubi. Tentu saja Elaine mampu menepisnya dan dengan tangan kirinya,
Elaien memukul perut Tya. Manda melayangkan tendangan berputar yang sukses
mengenai pelipis kiri Elaine, namun Elaine tidak tinggal diam, dirinya juga
langsung berputar dan tendangannya sukses membuat Manda jatuh menimpa Tya.
Elaine langsung menatap Farin yang
entah kenapa dari tadi hanya diam di dekat Tim Gesreka. Saat Elaine berjalan
mendekatinya…
“Etss. Maju lagi, bangkunya gw tendang.”
Elaine melihat kaki Farin sudah siap menendang bangku yang jadi tumpuan Sisil
berdiri. Dan bila bangku itu benar-benar ditendang, hilanglah sudah nyawa Sisil
karena mati tercekik.
“Elaine!!!” Teriak Tim Gesrek
bersamaan dan saat Elaine menoleh…
BUGH!!
Dengan sebuah tongkat kayu, Manda
memukul kepala Elaine. Seperti saat bertarung dengan Ghaida, kepala Elaine
kembali teteskan darah segar. Tubuhnya langsung oleng, Tya langsung
menangkapnya. Dan dengan kedua tangannya memegangi Elaine. Darah yang mengucur
dari kepalanya mengganggu penglihatan Elaine. Sambil tersenyum, Manda kembali
memukul Elaine yang tidak bisa lagi melawan.
BUGH!! BAGH!! BUGH!!
Pukulan terus terdengar bersaman
dengan suara bunyi kamera HP. Ya, dengan HP ber-case Stitch milik Ayana, Farin
mengambil foto-foto Elaine yang makin terluka karena pukulan Manda. Foto tersebut
dikirim ke grup Line Tim Gesrek. Tentu saja, tujuan mereka adalah untuk…
Nabilah. Gadis penyuka kelinci
yang sedang jalan-jalan bersama seorang Ghaida. Di taman yang sama, Nabilah
lalu duduk di ayunan, memainkan ayunan tersebut seperti anak kecil.
“Kadong. Tau gak? Di taman ini,
waktu itu, Elaine berantem sama ChelVan.”
“Hmm.” Di dekat papan
jungkat-jungkit, Ghaida berjongkok mengambil sesuatu. “Dek, ini novelnya Elaine
bukan, sih?” Tanya Ghaida sambil menunjukkan novel yang memang milik Elaine.
“Lah? Kayaknya sih iya tuh. Coba gw
tanya Elaine, dah.” Nabilah lalu mengambil HP di kantongnya. “Ett busee! Apaan
neh banyak banget notif dari Ayana.” Nabilah lalu membuka HPnya, dan mengecek
Linenya. “Ngirim foto apaan nih bocah ke grup?” Nabilah lalu membukanya dan
foto-foto yang dikirimkan dari HP Ayana itu sukses membuat matanya melebar.
“Dedong….” “Kadong….”
“Elaine…” Ucap keduanya bersamaan.
Nabilah menoleh menatap Ghaida
yang sedang membaca surat yang ada dalam novel tersebut. Surat tersebut
dilihatkannya pada Nabilah yang langsung membacanya. Nabilah menelan ludahnya
lalu memperlihatkan foto-foto yang barusan dilihatnya pada Ghaida. Betapa
kagetnya Ghaida melihat Tim Gesrek dan terutama Elaine yang sudah tak berdaya.
“Yabakune brengsek!!” Ghaida
meremas surat tersebut dan melemparnya. Lemparan surat tersebutpun ditangkap
oleh seseorang.
~~~
“HAHAHAHA.” “Ternyata payah!” “Cuman segini doang!” “Kenapa Michelle sampai takut?!” Ucap SexySter bergantian sambil memandangi Elaine yang sudah terduduk lemas.
“HAHAHAHA.” “Ternyata payah!” “Cuman segini doang!” “Kenapa Michelle sampai takut?!” Ucap SexySter bergantian sambil memandangi Elaine yang sudah terduduk lemas.
BRAG!!
Pintu itu kembali dibanting.
“Ghaida? Nabilah?!” Teriak Tim
Gesrek.
Elaine menoleh melihat keduanya
yang langsung berlari ke arahnya dan mendorong SexySter.
“Len? Kamu gak apa-apa?” Tanya
Ghaida yang lansgung mengusap luka Elaine dengan sapu tangannya. Sementara
Nabilah membantu Elaine berdiri.
“Kenapa kalian kemari?” Tanya
Elaine dengan suara lemah.
“Jelaslah! Tim Gesrek itu
sohib-sohib gw! Begitu juga elo!” Ucap Nabilah. Elaine menatap keduanya
bergantian yang tersenyum padanya.
“Cukup basa-basi adegan
persahabatannya. Menggelikan!” Bentak Manda. “Mending lo berdua gak usah
macem-macem deh. Atau nyawa empat kunyuk itu bakal melayang!” Teriak Manda.
Ghaida yang terlihat emosi, nyaris
saja maju menyerang ketiganya. Beruntung Nabilah mencegahnya.
“Len, ngerasa ada yang kurang gak?”
Elaine menatap Nabilah dengan bingung. “Nih novel lo, barangkali mau dilempar.”
Elaine mengambil novelnya dan tersenyum sambil menatap SexySter.
“Cukup sudah main-mainnya.” Elaine
memejamkan matanya lalu dilemparlah novelnya.
Dengan secepat kilat, Elaine maju.
Dengan tangan kanannya dia meninju Farin yang ada di sisi kanan Manda, lalu
menendang Tya. Kedua gadis itu terjatuh, saat Manda belum siap, Elaine langsung
menarik tangan kanan Manda, memelintirnya dan…
BUGH!
Dengan sikunya mematahkan tangan
Manda. Tidak sampe situ, Elaine langsung menghajar leher Manda. Gadis itu jatuh
dengan posisi terduduk. Ringis kesakitan begitu terdengar dari mulutnya. Saat
Tya dan Farin ingin membantu Manda, Ghaida dan Nabilah langsung bergerak. Tak membiarkan
Tya-Farin membantu.
Pertarungan 3 vs 3 terjadi. Walau
kemampuan Ghaida-Nabilah sedikit dibawah Tya-Farin, setidaknya itu membantu
Elaine. Elaine yang sesungguhnya kemampuannya jauh di atas mereka semua. Saat
Nabilah yang sudah terluka itu akan dihajar Farin… dari belakang, Elaine
merangkul leher Farin dan langsung menjatuhkan gadis itu selayaknya smackdown.
Elaine berputar dan…
BUGH!!
Dengan sikutnya menghajar dagu
Farin dangan posisi mereka yang tiduran itu. Elaine lalu bangkit dan…
BUGH!!
Selayaknya smackdown menghajar
perut Farin yang tentunya masih tiduran itu dengan sikutnya. Elaine kembali
bangkit, dan dengan cepat berlari loncat dan menendang Tya. Tubuh Tya langsung
terdorong dan menabrak tembok dengan kerasnya. Tya berbalik dan mendapati
Elaine…
BUGH!!
Keras, sangat keras. Itulah yang
dirasakan Tya yang langsung tersungkur saat Elaine menghajar ulu hatinya. Darah
segar dimuncratkannya dan mengotori seragam Elaine yang sudah penuh darahnya
sendiri.
Kini tinggal Manda yang masih tersadar.
Dengan tatapan begitu tajam, Elaine menuju gadis itu. Tatapan mata yang sungguh
menyeramkan. Elaine mengambil tongkat kayu yang sebelumnya dipakai Manda. Tanpa
perintah, Ghaida-Nabilah memegangi kedua lengan Manda.
Manda begitu ketakutan saat menatap
Elaine. Manda sudah tak mampu lagi berkelahi, apalagi setelah tulang lengan
kanannya dipatahkan Elaine. Elaine memegangi rambut Manda, ditariknya rambut
Manda yang otomatis juga Elaine menarik kepala Manda.
Dengan tangan kanannya, Elaine
melayangkan tongkat kayu tersebut dan….
PRAK!!
Manda yang menutup matanya karena
takut, membuka matanya. Dengan takutnya menatap Elaine yang ternyata tidak
memukul dirinya dengan tongkat tersebut, melainkan malah mematahkan kayu tersebut
dengan tangan kirinya. Setengah tongkat kayu tersebut jatuh di depan tubuh
Manda, sementara setengah tongkat kayunya masih di bawa Elaine yang berjalan
dengan gontai mendekati empat anggota Tim Gesrek.
Dibuangnya tongkat tersebut.
Sambil tersenyum miris, Elaine membukakan tali yang mengikat leher Dena.
Ghaida-Nabilah saling bertatapan dalam tanya, mengerti Elaine tak akan pernah
benar-benar menghabisi musuhnya, mereka melepaskan Manda dan membantu Elaine melepaskan
tali yang mengikat anggota yang lainnya.
Akhirnya setelah membereskan
barang-barang mereka, sambil saling menopang atau berangkulan, mereka keluar
dari gudang tersebut. Melihat pemandangan itu, Michelle merasa geram. Tak habis
pikir bahwa Elaine mampu mengalahkan SexySter walau dengan ancaman seperti itu
(nyawa Tim Gesrek akan melayang).
“Hey bocah Yabakune.” Panggil
seseorang dari belakang Michelle dan Nadse. Keduanya menoleh, ternyata seorang yang
tidak asing untuk Michelle -namun asing untuk Nadse- yang memanggilnya. “Pertarungan
licik seperti itu tidak akan pernah bisa mengalahkan Elaine. Sekaligus ada
seorang Andela Yuwono di gudang itu.”
Michelle tersenyum licik mendengar
itu. “Aku baru sadar. Kau ini Shania Gracia. Sahabat Elaine-”
“Mantan sahabat kalau boleh
dikoreksi.” Ucap Gracia sambil tersenyum.
“Hmm. Kudengar, bukannya kau tidak
tertarik dengan hal seperti ini? Hal yang menyangkut Majijo?”
“Memang tidak. Hanya saja, aku tak
ingin. Elaine dikalahkan sebelum bertarung denganku.” Gracia kembali tersenyum
sebelum berbalik untuk meninggalkan keduanya.
“Ahh!! Jadi kau ingin membalaskan
dendam kematian--”
SRET!!
Sebuah foto dilemparkan Gracia ke
wajah Michelle, beruntung Michelle dapat menangkapnya. Kalau tidak ujung foto
tersebut pasti sudah mengenai matanya.
“Jangan ikut campur. Karena aku
tak akan mencampuri urusan kalian.” Ucap Gracia sebelum benar-benar pergi.
Michelle lalu melihat foto yang
berisi foto dirinya bersama Nadse. Michelle lalu tersenyum. “Menarik.”
~~~
Berita pertarungan Elaine dengan SexySter itupun dengan cepatnya menyebar ke seluruh penjuru kota. Ya, tidak hanya di Majijo, tapi juga di Yabakune dan di sekolah-sekolah lainnya. Tentunya berita kemenangan Elaine itu juga sampai kepada mereka yang katanya petinggi di sekolah masing-masing. Tentunya Desy-Okta yang sedang membeli es krim juga sudah mengetahui hal itu.
Berita pertarungan Elaine dengan SexySter itupun dengan cepatnya menyebar ke seluruh penjuru kota. Ya, tidak hanya di Majijo, tapi juga di Yabakune dan di sekolah-sekolah lainnya. Tentunya berita kemenangan Elaine itu juga sampai kepada mereka yang katanya petinggi di sekolah masing-masing. Tentunya Desy-Okta yang sedang membeli es krim juga sudah mengetahui hal itu.
Saat mereka berbalik, tanpa
sengaja mereka bertabrakan dengan dua orang yang juga ingin membeli es krim,
tentu saja akibat trabakan itu, es krim milik Okta mengotori baju kedua orang
yang ditabrak mereka.
“Aduh, mohon maaf. Kami tidak
sengaja.” Ucap Desy sambil membungkuk tanda meminta maaf.
“Waduh. Baju kita jadi kotor nih!!”
Bentak gadis berkulit hitam.
“Baju kita mahal tau!” Bentak gadis
berkulit putih.
Okta terlihat ingin menangis
karena dibentak seperti itu. Apalagi es krimnya juga ludes. Melihat itu, Desy
merasa pusing. Tanpa sengaja, Desy melihat pin Majijo yang ada dibalik baju
yang dipakai kedua gadis yang ditabraknya. Tak ingin menambah panjang masalah,
Desy menghela nafasnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu.
“Ini sebagai gantinya, buat
bersihin.” Ucap Desy. Melihat itu, Okta langsung menatapnya heran.
“Cidey, kok?” Desy hanya
menggeleng.
“Lo berdua… anak Yabakune, ya?”
Tanya si gadis berkulit putih.
“Serius, Cil?”
“Liat itu yang di leher mereka,
Chel. Pin Yabakune, kan?” Ucap siapa lagi kalau bukan Vanka. “Wah, wah,
kayaknya Yabakune takut nih sama Majijo sampe pake uang gitu. Hahaha.” Ledek
Vanka.
Mendengar itu, amarah Okta
meningkat. Inginnya menghajar, namun tangan kanannya tertahan karena terborgol
dengan tangan kiri Desy.
“Cidey, mereka ngeledek Yabakune
dan Cidey.”
“Biarkan. Kita gak boleh gerak
sebelum dapet perintak Kak Je.”
“Wah. Wah. Badan gede doang
ternyata penakut.” Ledek Vanka kembali. “Hahahaha.” Duo ChelVan itupun tertawa.
“Cidey~~”
“Gak Ota.”
“Cidey, Ota gak terima. Please,
Cidey.” Pinta Okta dengan muka memelas.
Desy kembali menghela nafasnya. “Sebentar
dan jangan sampai parah.”
Cklek.
Borgol yang mengunci lengan kanan
Okta dilepaskan dan…
BUGH! BAGH! BUGH!!
Desy memejamkan matanya sambil
menunggu Okta, tidak sampe 10 menit…
“Cidey~” Okta memeluk Desy dari
belakang. “Udah.” Desy langsung menoleh.
Borgol kembali dipasang Desy di
lengan kanan Okta. “Yaudah kita balik.” Keduanyapun pergi meninggalakan Vanka
dan Rachel yang sudah terkapar.
~~~
Di dalam ruangannya, Melody duduk memejamkan matanya. Dipijatnya keningnya yang terasa pusing. Siapa sangka, pertarungan Yabakune-Majijo tiba-tiba dimulai dengan seperti ini. Kinal hanya duduk diam di hadapan Melody.
Di dalam ruangannya, Melody duduk memejamkan matanya. Dipijatnya keningnya yang terasa pusing. Siapa sangka, pertarungan Yabakune-Majijo tiba-tiba dimulai dengan seperti ini. Kinal hanya duduk diam di hadapan Melody.
“Teh…” Panggil Kinal pelan.
BRAK!
Pintu ruangan Melody dibuka kasar
oleh seseorang yang ternyata adalah Frieska. Dengan emosinya Frieska langsung
mendekati sang kakak.
“Teh, ini gak bisa dibiarin.
Rappapa harus gerak!” Ucap Frieska dengan nada agak keras. “Teteh!”
BRUG!
Tiba-tiba Melody memukul mejanya. “Teteh
juga tau. Tapi gak sekarang. Pokoknya jangan ada yang bergerak sebelum aku
bilang iya.” Ucap Melody sambil menatap Kinal dan Frieska bergantian. “Sekarang
tolong kalian berdua keluar.” Dengan malasnya, Frieska keluar dari ruangan
tersebut.
Melody membalikan badannya dan
menatap pemandangan di luar jendelanya.
“Teh…”
“Biarin aku sendiri, Nal.” Kinal
menghela nafasnya, lalu keluar setelah membungkuk hormat pada Melody.
Di luar anggota Rappapa terlihat
menunggu Kinal. Terutama Frieska yang entah kenapa terlihat bernafsu sekali.
Kinal membanting tubuhnya di kursi yang suka di duduki Beby. Dia menghela
nafasnya dan menatap keempatnya secara bergantian dan berakhir di Nobi.
“Nobi…”
“Siap.” Nobi langsung berdiri
dengan tegap.
“Awasi anak itu, tapi jangan lakukan
apapun sebelum Teteh bilang iya.” Nobi langsung membungkuk hormat dan pergi
dari ruangan milik Rappapa itu.
Jadi…. Apa Rappapa sudah mulai
bergerak?
TBC
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada pertanyaan baru yang muncul
dibenak kalian? Hehehe. Ditunggu ajalah.
Btw, udah pada tau siapa ketua
Yabakune? Harusnya sih udah :v
Yaudah segitu aja ah.
Next: Rappapa akhirnya bergerak?! Nobi vs Elaine. Perlahan kisah di
masa lalu semakin terungkap…
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih telah membaca. Ditunggu komennya :)
Sankyuu~~ m(__)m
-Jurimayu14-
yah klo dr panggilannya kak je trus hubungannya sma kinal
ReplyDeletepasti si mba badai/jessica positive kan.
permintaan maaf di terima
puas banget bacanya hr ini
makasih kakmin
Maish bingung. Tapi seru/?. Desta nya ngeri tapi ena/?
ReplyDeleteKu penasaran hub antara wakil ketua majijo sama ketua yabakune
ReplyDelete