Wednesday, March 25, 2015

Princess Hours (JKT48 3rd Gen) - Chapter 4

Ehehehe... bilangnya sih bakal lama ya waktu di chapt 3 ke chapt 4 nya ehehe, cuman ternyata kemaren dapet feel dan moodnya jadi..... jadi deh *apasih lol
Doain aja, mood dan feelnya terus dapet sampe ending walau mungkin FS nya Andelaine udah jarang lagi...
Yaudah, langsung aja, cekibrot!!

Princess Hours (JKT48)

Pake ini lagi duls ya.. Ota muncul?
Ga belum! Belum tau wkwk

Chapter 4
Suasana universitas berubah semenjak kejadian itu. Dunia seakan-akan memusuhi Elaine, para mahasiswi seakan tidak suka dengan keberadaan gadis penyuka bebek itu. Dilain sisi ketiga sahabatnya tidak bisa berbuat apa-apa, saat mereka mendekati Elaine, mereka akan dibully senior mereka, Elainepun terpaksa menjauh dari ketiga sahabatnya itu. Dan satu-satunya tempat yang aman buat Elaine adalah… ruangan khusus milik Andrew dan Nino.


“Hah..” Elaine menghembuskan nafasnya. Sendirian duduk di ruangan itu. Steak di depannya mungkin kini sudah dingin, buku ditangannya hanya jadi pajangan, suara TV hanya bagaikan seperti suara angin yang sedang berhembus untuk kedaan Elaine saat ini.
Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka, terlihat sosok cewek jangkung masuk ke dalamnya. Yah, itu Desy, yang katanya pacar Andrew.
“Siang Kak Desy.” Elaine langsung reflek berdiri dan memberi hormat.
“Elaine?” Desy menatap Elaine dengan malasnya. “Andrew mana??”
“Aku gak tau, Kak. Maaf.” Jawab Elaine masih menunduk.
“Ngapain kamu disini?” Tanya Andrew yang muncul dari belakang punggung Desy.
“Aku kangen sama kamu, babe.” Ucap Desy dengan manjanya sambil merangkul Andrew.
Andrew hanya menatap datar gadis dihadapannya itu, terlihat jelas sama sekali tidak ada ‘rasa cinta’ dari tatapan matanya.

“Setiap hari kita kan ketemu di kampus. Emang kurang, ya?” Tanya Andrew setelah melepas rangkulan tangan Desy lalu duduk di sofa yang di duduki Elaine sebelumnya.
“Kurang lah! Apalagi semenjak perjodohan itu--” Desy menghentikan kata-katanya itu dan menatap Elaine yang masih berdiri di dekat Andrew.
“Lebih baik, aku keluar dulu.” Namun, tangan Elaine ditahan oleh Andrew saat gadis itu baru melangkahkan kakinya.
“Kamu mau kemana?” Tanya Andrew dengan memasang senyum manisnya. Jujur saja, senyuman itu membuat Elaine gugup. Elaine wanita normal, dia sadar senyum Andrew memang begitu manis, begitu menggoda, membuat pemuda itu makin tampan. “Emangnya diluar sana, masih ada yang mau deket sama kamu? Kamu beruntung loh bisa deket sama aku dan Nino. Iya gak, Des?” Masih sambil memegang tangan Elaine dan tersenyum, Andrew menatap Desy yang terlihat tidak suka dengan adegan itu.

Mendengar pertanyaan dan pernyataan dari Andrew yang menurut Elaine menyebalkan, gadis itu membanting tangan Andrew. “Permisi.” Berjalan pergi melewati Desy yang masih berdiri di depan pintu ruangan itu. Desy yang tatapannya coba diabaikan Elaine.
“Gadis sombong! Gak tahu apa, banyak cewek di luar sana yang mau sama Andrew atau Nino.” Andrew hanya diam mendengar pernyataan Desy itu, perhatiannya tercuri oleh buku milik Elaine yang tertinggal. “Yah, tapi dari sekian banyaknya cewek yang beruntung itu, aku. Iya gak, babe?” Andrew tertawa kecil dan pelan lalu menatap Desy dan akhirnya menghampiri gadis itu.
“Iya sayang.” Ucap Andrew sambil mengusap lembut pipi Desy. “Oh iya, kamu beneran kangen aku?” Tanya Andrew sambil memainkan rambut Desy.
“Ya iyalah, bener.”
“Buktinya apa?”
“Buktinya-”
“Apa? Bisa buktiin kan ke aku?” Andrewpun tersenyum licik, dirinya lalu menarik Desy dan mengunci pintu ruangan pribadinya itu.

Entahlah apa yang mereka lakukan berikutnya, yang pasti hal dewasa yang belum pernah dilakukan oleh gadis baik-baik seperti Elaine yang kini sedang berjalan di koridor Universitas mewah itu. Mahasiswi-mahasiswi di sekelilingnya begitu menatap benci gadis imut itu. Tapi, sama sekali tidak ada yang berani menganggunya. Ya, karena status Elaine kini bukan lagi ‘mahasiswi biasa’. Mereka hanya bisa menyerang Elaine dengan hujatan-hujatan, tapi tidak dengan serangan fisik. Dan itulah yang membuat SEGC pecah, karena justru SGC-lah yang akan jadi ‘target serangan’ bila ketiganya ketawan dekat kembali dengan Elaine. Begitulah ancaman yang mereka –SGC- terima.

Elaine hanya bisa diam dalam kesedihan menatap ketiga sahabatnya yang sedang bercanda itu. Terlihat ketiganya sedang berdiri sambil bercanda tawa. Cesen yang suka cengo itu menjadi bahan ledekan Sofia dan Gracia. Senyum tipis terpampang di wajah Elaine, Elaine merindukan sahabat-sahabatnya itu. Tak lama, ketiganya menyadari sosok Elaine yang masih berdiri memperhatikan mereka. Elaine mencoba tersenyum, tapi apa yang di dapatkannya? Cesen langsung mengalihkan pandangannya entah kemana, Sofia langsung menunduk, sementara Gracia… gadis penyuka Real Madrid itu hanya bisa tersenyum singkat pada sahabat karibnya itu, sebelum pergi mengajak Cesen dan Sofia untuk pergi dari tempat itu.

Pergi dari tempat itu, meninggalkan dan melewati Elaine yang diam mematung di tempatnya berdiri.
“Maaf, Kwek.” Ucap Gracia pelan saat melewati Elaine. Elaine hanya bisa diam, memejamkan matanya, menahan agar air mata tidak tumpah dari mata sipitnya.
Tanpa disadari, kejadian itu dilihat oleh Nino yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan.
~~~

Sebulan berlalu semenjak kejadian itu, suasana universitas tetap sama. Tetap memusuhi Elaine. Sementara keadaan di rumah keluarga Wicaksono? Ya begitu-begitu saja. Datar. Pak Ajisapto memang baik pada Elaine, namun beliau tidak selalu ada. Sedangkan, Arlan dan Wisnu terlihat seperti menganggap Elaine antara ada dan tiada. Apalagi Arlan, suka terlihat menatap Elaine dengan tatapan tidak suka. Karena menurutnya, keberadaan Elaine mengacaukan semua rencananya.
Beruntung, Pak Khrisna dan Bu Marni begitu baik dan perhatian pada Elaine. Mereka seperti sosok ayah dan ibu bagi Elaine di tempat ini. Dan Elaine tidak pernah menganggap kedua orang itu adalah ‘pelayan’. Namun, tetap saja Elaine merindukan sosok kedua orang tua aslinya. Sudah sebulan lebih berarti Elaine belum kembali menemui orang tuanya semenjak kepindahannya.

Dia memang masih saling memberi kabar lewat telepon, SMS bahkan Skype dengan kedua orang tua dan adiknya yang menyebalkan. Tapi, tetap saja, itu kurang. 18 tahun selama hidupnya dia tidak pernah terpisahkan dari ayah dan ibunya itu.
Tapi, Elaine bisa apa? Sebagai anak kuliahan, tugas selalu menanti dan menuntutnya untuk tidak berpaling memikirkan hal lain. Jarak juga semakin membuat dirinya terpisahkan. Elaine hanya bisa menghembuskan nafasnya dan menatap buku-buku mata kuliah di depan mejanya itu. Sampai seseorang mengetok pintu kamarnya.
“Eh? Silahkan masuk.” Pintu besar itu perlahan terbuka, terlihatlah sosok seorang wanita pelayan muda masuk ke dalam kamar Elaine.

“Maaf nona muda, ada yang ingin bertemu dengan anda.”
“Siapa?”
“Boleh saya masuk?” Tanya Nino sambil mengintip dari depan pintu.
“Nino? Ah masuk aja.”
“Baiklah, kalau begitu. Tuan muda, Nona muda, apa ada lagi yang bisa saya bantu?” Tanya pelayan itu.
“Saya gak. Mungkin Elaine?” Tanya Nino sambil menatap Elaine.
“Ah, gak ada kok. Makasih.”
“Baiklah kalau begitu. Saya permisi.” Ucap pelayan itu kembali, sambil membungkuk hormat pada Nino dan juga Elaine tentunya.
Pelayan itupun pergi, menutup pintu kamar Elaine, meninggalkan Nino dan Elaine berdua saja di dalam kamar besar itu.

“Maaf, Apa… aku ganggu?”
“Sama sekali gak.” Jawab Elaine sambil menggeleng. “Ada apa?”
“Boleh aku duduk?”
“Ah, silahkan.” Elaine merapihkan sofanya yang juga penuh tumpukan buku, Ninopun lalu duduk di sampingnya.
Sedikit membuat Elaine canggung, Elainepun mencoba fokus kembali dan menatap lembaran-lembaran tugasnya, dan tentunya kembali mengerjakanya.
“Pusing jadi anak Manajemen?” Tanya Nino tiba-tiba.
“A-ah? Ya, begitulah.”
Hening, hanya suara TV yang mengisi keheningan yang diciptakan keduanya di kamar besar berdinding biru muda itu.
“Boleh gw tanya sesuatu?”

“Ah?” Elaine melirik Nino sekilas. “Silahkan.”
“Maaf sebelumnya, gak ada maksud ikut campur. Tapi, waktu itu, aku gak sengaja liat kejadian kamu sama teman-teman kamu. Apa kalian baik-baik saja?”
“Apa, kelihatannya kami baik-baik saja?” Tanya Elaine balik. “Tidak ada yang baik-baik saja semenjak perjodohan ini, kan? Apa aku salah?” Nino hanya diam menatap Elaine. “Aku kehilangan sahabat-sahabatku yang menjadi bulan-bulanan fans kalian! Padahal jelas aku disini ‘masalahnya’. Bahkan komunikasi kami di chating menjadi kagok. Aku seperti bukan bagian dari mereka lagi. Aku kehilangan mereka. Apa itu baik-baik saja?” Tanya Elaine lagi. Namun, Nino masih tetap diam. “Sekarang, bagaimana keadaan rumah ini setelah perjodohan ini?”

“Entahlah, masih tetap sama-” Nino berhenti sejenak. “Tapi, sedikit lebih hangat.” Nino tersenyum tipis, tapi tidak dengan Elaine.
“Aku senang, kalian baik padaku. Biar om Arlan, om Wisnu atau Andrew masih belum menerimaku. Aku senang karena kakek, kamu, Pak Khrisna dan Bu Marni baik dan ramah padaku. Mereka seperti orang tua sendiri. Tapi, tetap saja. Aku rindu sahabat-sahabatku, aku rindu keluargaku apalagi orang tuaku. A-ah ma-maaf, aku gak maksud--”
“Gak apa-apa, mau main ke rumahmu?”
“E-Eh?? Boleh?”
“Tentu saja boleh. Bukannya kakek juga mempersilahkan dan membolehkanmu jika ingin mengunjungi orang tuamu?”
“I-Iya--”

“Kalau gitu sekarang, aku tunggu dibawah.” Ninopun bangkit dari tempatnya duduk.
“Se-Serius?” Tanya Elaine masih tidak percaya.
Nino terus berjalan, sampai dirinya tiba di depan pintu kamar Elaine. Nino berhenti, kembali menatap Elaine. “Iya.” Jawabnya singkat sebelum membuka pintu kamar itu dan menutupnya kembali.
Saat Nino, sudah berdiri di depan pintu kamar Elaine. Sudah ada seseorang yang menyambutnya. Bukan pelayan penjaga kamar, melainkan…

“Mulai mencoba mencuri hatinya?” Tanya orang itu. Namun, Nino tidak menggubris pertanyaan itu dan kembali lanjutkan perjalanannya.
Dengan tatapan tajam, Andrew, ya Andrew memperhatikan kepergian Nino yang sudah mulai terlihat menjauh. “Hah!” Nafas berat Andrew hembuskan, dan dengan hati-hati Andrew membuka pintu kamar Elaine sedikit. Dari celah itu, terlihat Elaine sedang tersenyum girang sambil memeluk boneka bebek kesayangannya. Begitu menggemaskan. “Cih!” Andrewpun pergi dari situ, entah kenapa terlihat kesal.
~~~

Akhirnya, dengan mobil mersi, kini Nino dan tentunya Elaine sedang ada di perjalanan menuju rumahnya. Ya, rumah lamanya. Namun, lagi-lagi di tengah perjalanan Elaine menghentikan mobil mereka untuk membeli kue. Ninopun mengikuti gadis itu masuk ke dalam toko kue. Dia memperhatikan sosok Elaine yang terlihat sedang memilah-milih itu.
Elaine yang memang perawakannya kecil mungil itu terlihat makin imut dengan dress putih yang dipakainya. Tas kecil berwarna coklat juga wedges *tulisannya bener gak sih? :’v* yang senada membuat tubuh pendeknya jadi sedikit lebih tinggi. Namun, wajah manis dan rambut hitamnya yang di gerai lah yang membuatnya sempurna. Andrew dan Nino cowok normal, akan ada hari dimana suatu saat pasti salah satunya atau bahkan mungkin keduanya akan jatuh cinta pada gadis imut itu.

Tapi, bagaimanapun Elaine. Di pikiran Nino, masih ada sosok lain, gadis lain yang tidak kalah manis dari Elaine. Gadis lain yang… terlihat melewati depan toko kue itu. Nino tidak salah lihat, kan? Ahh memangnya kalau dia benar-benar lewat kenapa? Apa Nino akan berani menyapanya? Bukannya selama ini, dia hanya diam walau bertemu dengannya. Nino tersenyum tipis, merasa miris dengan dirinya sendiri.
“No.” Elaine memanggil dan menepuk pundak Nino pelan, sadarkan pemuda itu dari lamunannya.
“Udah?” Elaine mengangguk, keduanyapun kembali ke mobil mereka.
Dengan kantong plastic besar, Elaine berjalan sambil tersenyum girang di depan Nino. Terlihat tidak sabar. Elainepun membuka pintu mobil dan masuk ke dalam, saat Nino ingin masuk, tiba-tiba Elaine kembali keluar.
“Kenapa?”

“Pak, maaf. Bisa tunggu sebentar lagi? No, boleh aku kesana bentar.”
“Kesana mana?”
Tidak menjawab pertanyaan Nino, Elaine langsung berlari. Tentunya Ninopun mau tak mau mengikuti. Meninggalkan supir mereka, yang lagi-lagi harus menunggu. Cukup cepat Elaine berlari, Nino di belakang yang mengejarnyapun tidak menyangka dan tidak tahu ada apa. Namun, saat matanya cukup jelas dan bisa lihat dari kejauhan apa yang menjadi tujuan Elaine, kedua kaki Nino berhenti. Berhenti mengejar Elaine. Sementara itu, Elaine berhenti saat memang sudah sampai di tujuannya.
“Gre! Hah. Hah. Hah.” Panggil Elaine dengan ngos-ngosan.
Gracia yang terlihat akan masuk ke dalam restoran di pinggir jalan itupun menghentikan langkahnya. Membalikkan badan dan menatap Elaine.
“Elaine?”

“Aku mau ngomong sama kamu. Kita harus ngomong. Aku kangen kamu. Aku kangen Sofia. Aku kangen Cesen. Aku kangen SEGC. Aku kangen kita ngumpul kaya dulu lagi. Aku--” Tiba-tiba Gracia memeluk Elaine, menghentikan ucapan sahabatnya yang sedang nyerocos itu.
“Aku juga.” Gracia melepas pelukannya. Memegang kedua pipi Elaine dengan tangannya. “Tapi, sekarang waktu dan tempatnya gak tepat.” Gracia menegokkan kepalanya ke belakang, Elainepun ikut melongokkan kepalanya. Terlihat di dalam restoran ada sosok cowok *betewe anggep aja ini Shami :v* dengan topi kupluk berwarna putih menunggu dan menatap ke arah keduanya. “Keliatannya kamu juga mau jalan-jalan, kan?”
“A-Ah iya. Aku mau jenguk orang tua aku.” Elaine tersenyum lebar. “Itu pacar?” Tanya Elaine tentunya kagetkan Gracia.

“Ngaco deh! Yaudah, gih kamu temuin orang tua kamu. Besok kita bicarain ini. Selesein ini.”
“Janji? Pinky Swear?”
“Astaga Kwek! Masih aja! Pinky Swear.” Jari kelingking kedua gadis itupun saling bertautan, pemandangan yang timbulkan tawa dan senyuman di bibir Nino yang masih memperhatikannya dari jauh.
“Yaudah, aku pergi dulu. Nanti kamu cerita juga siapa cowok ini ya!”
“Duh iya, iya. Yaudah sana.”
Sambil tertawa Elainepun pergi tinggalkan Gracia, yang lalu masuk menghampiri cowok yang sebenernya bersama dirinya dari awal. Akhirnya, Elaine kembali melanjutkan perjalanannya ke rumah lamanya. Saat tiba di rumahnya, Boby yang sedang bermain dengan Shania di ruang tamu mereka, langsung kaget begitu melihat kedatangan Elaine.

“Ci Ilen??” Kaget Boby. “Ci Ilen!!” Boby langsung berlari menuju Elaine dan memeluk erat kakaknya itu. Siapa sangka, adik yang menyebalkan itu ternyata begitu merindukan Elaine. Membuat Elaine rasanya ingin meneteskan air mata. Elainepun mengusap lembut kepala Boby. *betewe dulu manggilnya ‘Kak’ ya? Ganti ‘ci’ aja ya :v lebih enak dan pas wkwk, bebaslah gw authornya ini. Ape lo?! Ape lo?!
“Apa kabar adikku yang resek.” Elaine mencubit pipi adiknya itu. “Selama gak ada Cici, kamu pasti bandel, ya? Boby bandel ya Shania?” Shania hanya menggeleng. “Shania apa kabar? Maaf ya, kalau selama gak ada Ci Ilen, Boby nyusahin kamu.”
“Sama sekali gak kok, Ci.” Elainepun tersenyum dan mengusap lembut kepala gadis SMP yang tingginya tidak jauh beda dari dirinya itu. *wkwk :v
“Oh iya, Boby, Shania. Kenalin ini Kak Nino.” Ucap Elaine sambil menunjuk Nino yang daritadi hanya diam saja.
Bos sama Bu Bos mah bebas mau muncul dimana-mana :3
“Oh jadi ini yang nanti akan jadi Koko-ku?” Boby memperhatikan sosok Nino dari atas sampai bawah balik lagi ke atas. “Ganteng, Ci. Tapi, masih gantengan Boby.”
“Hah! Apasih. Ayah sama Ibu mana? Daripada kamu gak jelas gitu, tolong taro kue ini di kulkas.”
“Roger!” Boby mengambil plastic kue yang dibawa Elaine lalu berlari ke dapur. “Ci! Boby ambil ya!!”
“Iya! Ambilin juga buat Shania tuh.” Jawab Elaine sambil teriak, karena saat ini dirinya sedang berjalan menuju kamar orang tuanya.
Elaine menghembuskan nafasnya, dan perlahan membuka pintu kamar tersebut. Tersenyum pada orang tuanya yang benar-benar terlihat terkejut. Suasana harupun menyelimuti kamar tersebut. Ketiganya berpelukan, menumpahkan segala kerinduan yang dirasa selama ini.
Setelah memperkenalkan Nino pada kedua orang tuanya, akhirnya mereka –termasuk Shania- makan siang bersama di rumah keluarga Elaine itu. Mereka terlihat akrab, Ninopun bisa menyatu dengan keluarga Elaine dengan cepat. Jadi apakah Nino merupakan pilihat hati Elaine? Cerita masih panjang bung!
~~~

Hari berganti, Elaine terlihat begitu bahagia pasca pertemuannya dengan keluarganya. Kini, tinggal masalahnya dengan SEGC. Tapi, Elaine harus sabar. Ya, Elaine mesti sabar menunggu kedatangan sahabat yang dipanggilnya Grecot itu datang menyapanya. Elaine terus berdiri dalam diam. Membiarkan hembusan angin menghempaskan rambut panjangnya yang di gerai.
“Kwek.” Akhirnya, suara itu, panggilan itu.
“Gre.” Elaine tersenyum lebar, ingin memeluk Gracia, tapi saat ini mereka sedang ada di kampus. Elainepun mengurungkan niatnya itu.
“Kenapa Kwek? Apa kamu masih belum mau cerita?”
“Bukan gitu. Tapi, sekarang ini kita ada di--”

GreKwek :3 godaan sekali ini dua emang *eh
“Kenapa? Kamu takut?” Elainepun terkejut dengan pertanyaan Gracia. “Kami gak akan kenapa-kenapa, aku akan baik-baik saja. Justru kalau aku—kami jauhin kamu..” Gracia menghembuskan nafasnya. “Sahabat macam apa kami ini? Gak seharusnya kami takut dengan ancaman mereka. Silahkan kalau mereka mau membully atau apapun itu. Aku gak takut dan aku akan lawan kalau perlu. Karena, cukup. Aku gak mau terlalu lama pisah dari sahabat aku.” Jelas Gracia, keduanyapun tersenyum. “Sekarang giliran kamu cerita.”
“Jadi--” Elainepun menceritakan bagaimana awalnya perjodohannya dengan…. Entahlah dengan siapa. “Begitulah Gre. Maaf ya, waktu itu gak langsung cerita ke kamu. Aku bingung. Aku gak tahu harus gimana. Aku ngerasa ini semua masih bohong. Tapi, nyatanya ini memang bukan mimpi.”
“Gak apa-apa kok, Kwek. Aku ngerti.”

“Dan malam itu saat aku nelpon-” Elaine menghentikan sejenak ucapannya. “Aku cuman-”
“Mau bilang jangan kaget dan sebagainya, kan? Ya, aku paham. Waktu pertama kali kamu datang dan turun dari limousine itu bareng kedua pangeran kampus kita itu memang membuat kaget. Khususnya Cesen, cengo banget.”
“Hufft.”
“Sekarang udah lega kan, Kwek? Kita udah bisa kaya dulu lagi.”
“Belum! Cesen sama Sofia, kan belum tahu! Dan aku masih khawatir, kalau setelah ini kalian di-”
“Haduh! Kan udah aku bilang, kami nanti pasti gak akan kenapa-kenapa. Biar aku yang urus.”
“Dengan cara?”
“Entahlah. Ahahaha! Urusan nanti. Yaudah sekarang kita ke Sofia sama Cesen, yuk.” Ajak Gracia, Elainepun mengangguk mantab.
Keduanya berjalan di koridor sambil bergandengan tangan selayaknya anak kecil dan bercanda tawa.
“Jadi cowok yang kemaren siapa, Gre?”

“Temen.”
“Temen apa temen? Kok makan berdua?”
“Ih bebek. Beneran temen kok.”
“Masa sih??”
Elaine terus meledek Gracia, sampe sosok cowok di kejauhan menghentikan langkah Gracia. Elainepun ingin tak ingin, juga harus menghentikan langkahnya.
“Kenapa Gre?”
“Kwek, bukannya itu??” Graciapun menunjuk ke arah cowok yang terlihat seperti sedang mencari sesuatu. Elainepun melihat ke arah yang ditunjuk Gracia.
“Se-Senna?”

TBC
---------------------------------------------------------------------------------------
Yang bisa tebak siapa 'Senna' gw kasih......
.
.
.
Selamat aja :v #dzigh
Kapan Michelle muncul?? Tunggu aja yaps~~
---------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih telah membaca. Ditunggu komennya :)
Sankyuu~~ m(__)m

-Jurimayu14-

5 comments: