Friday, July 31, 2015

Majisuka Gakuen (JKT48) - Chapter 6

Akhirnya gaes~~ Setelah sekian lama XDD
Semoga apdetan ini memuaskan dan menjawab pertannyaan kalian ya XDD

Btw saya nyaris aja pengsiun. Soalnya udah lupa gitu cara nulis (?) lolz
Beruntung semalem dapet ilham.

Yaudah, langsung aja.

Majisuka Gakuen (JKT48)

Gambarnya ini ajalah disini.
Biar serem (?)
Chapter 6
Tidak ada yang berbeda dengan keadaan Majijo, hanya saja suasana terasa makin mencekat dan tegang pasca menyebarnya berita kekalahan Nobi atas Elaine. Tentu saja Majijo diserang kepanikan dan kegegeran. Karena untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ada yang berhasil lagi kembali mengalahkan Rappapa.
Tahun lalu, posisi Elaine diisi oleh Melody. Dengan perlahan Melody menaiki satu persatu anak tangga menuju tempat dimana Rappapa berada. Usahanya tak sia-sia, bersama Kinal yang akhirnya dijadikan wakil ketuanya, Melody berhasil meraih puncak tertinggi di Majijo.
Namun sejujurnya, ada satu nama lain yang lebih diinginkannya ada disampingnya saat dirinya berhasil menjadi ketua Rappapa, seseorang yang dulu pergi meninggalkan Majijo dan berakhir menjadi ketua di sekolah yang merupakan rival Majijo, sang ketua Yabakune, Jessica Veranda.
Suatu sore di tahun lalu, langit terlihat begitu berwarna orange, panas begitu mencekat. Di bawahnya, sebuah pertarungan sengit sedang terjadi. Kedua gadis yang sedang bertarung itu terlihat sama-sama kuat. Salah seorangnya kita kenali sebagai Melody.
Keringat dan darah telah membasahi tubuh keduanya. Namun belum terlihat adanya tanda-tanda kekalahan. Sampai akhirnya, Melody yang berlari mengarahkan tendangan berputar yang sangat keras. Jatuh. Lawannyapun terjatuh. Perlahan tubuh Melody ambruk. Walau begitu senyuman manisnya tetap terukir disana.
Saat Veranda yang memperhatikan itu dari kejauhan ingin menolong sahabatnya, ia didahului oleh seseorang yang merupakan sahabat mereka, kekasih hatinya, Devi Kinal Putri. Ya, Kinal yang berlari dengan khawatirnya menuju Melody.
Dari tempatnya, Veranda terus memperhatikan dalam diamnya sang kekasih yang perlahan memeluk, mengusap wajah dan berakhir mencium bibir seorang Melody….
BRUG!!
Dengan kerasnya, Jessica memukul meja yang ada disampingnya.
PRANG!
Gelas kaca berisi Hibiscus Tea miliknya itu terjatuh dan pecah di lantai. Kagetkan Naomi yang sedang duduk disamping Jessica dan juga Desy-Okta. Adik kelas berwajah shota itu langsung bersembunyi kembali dibalik tubuh Desy saat melihat Jessica menatap mereka bergantian dengan tajamnya setelah berdiri.
“Je, kenapa?”
“Yona sama Viny dimana?”
“Mereka udah pergi jalanin tugas mereka.”
“Hmm. Yaudah kalau gitu.” Tiba-tiba Jessica berjalan menuju pintu ruangan mereka.
“Mau kemana, Je?”

“Cari angin.” Jawab singkat Jessica sebelum akhirnya pergi dari ruangannya, meninggalkan Naomi dan kedua adik kelasnya dalam keheranan.
~~~
Di taman sekolahnya, Jessica duduk seorang diri sambil melamun. Angin semilir berhembus menerbangkan daun-daun yang berguguran. Menerpa dan menghempaskan rambut panjang Jessica yang di gerainya. Jessica menghela nafasnya. Angin benar-benar menyejukkan pikiran dan juga hatinya.
“Tumben sang ratu keluar dari sarangnya.” Ucap seseorang, langsung saja Jessica membuka matanya dan menoleh.
Terlihat Michelle duduk di sampingnya sambil tersenyum. “Michelle? Mau apa lagi?”
“Tidak ada. Hanya duduk disini. Tidak masalah kan, Kak?”
Jessica hanya melengos malas. Sampai seseorang yang lewat di dekat mereka, curi perhatian keduanya. Jessicapun bangkit mengikuti sosok adik kelasnya itu. Begitu juga Michelle yang diam-diam mengikuti. Setibanya di ujung koridor Yabakune, mereka berhenti. Gadis yang diikuti Jessica berbalik dan lalu sedikit membungkuk hormat.
“Ada apa Kak Jessica?”
“Kau menyadari aku ikuti dan mengenaliku?” Andela hanya diam. “Hah. Baiklah. Bagus kalau begitu aku tidak perlu basa basi. Apa kamu tahu mengenai masalah Yabakune dengan Majijo?”
“Sesuatu yang bukan urusanku.” Jawab Andela dengan dinginnya.
“Apa kau tidak peduli lagi dengan mantan pacarmu?” Andela menatap mata Jessica dalam.
“Tidak. Karena bukan dia yang Kak Jessica incar.” Jawab Andela sebelum akhirnya pergi meninggalkan Jessica dan Michelle yang mencuri dengar dari kejauhan.
~~~
Elaine masih terbaring di kasurnya. Sesekali dia membaca pesan Line dari teman-temannya yang diterimanya. Tapi, ada satu grup yang selalu dibukanya, dibacanya berulang-ulang chat lama mereka. Padahal tak akan pernah lagi ada chat yang masuk ke grup itu. Grup yang berisi dirinya, Gracia, Andela dan Hamids. Grup yang ditinggalkan, dan terlupakan semenjak insiden yang lalu.
Insiden yang terkadang masih sangat disesali Elaine. Cerita yang masih membuat gadis bermata sipit itu keluarkan air matanya…
Sore itu, Elaine dan Hamids hanya berdua dalam diamnya menunggu kembalinya Andela dan Gracia. Cukup awkward untuk keduanya yang bahkan jarang sekali ngobrol hanya berdua saja tanpa adanya Andela maupun Gracia. Keduanya sibuk dan tenggelam dalam pikiran masing-masing dan menyibukkan diri dengan Handphone mereka.
Sesekali obrolan keluar, namun hanya sekadar basa-basi. Sampai pesan bergambar diterima Elaine dan nomor tak dikenal menghubungi Elaine. Entah apa yang diucapkan orang-orang di seberang sana. Sesuatu yang berhasil membuat raut wajah Elaine yang mengantuk menjadi tegang.
“Len, kamu pasti dijebak.”
“Aku harus tetap memastikan, Mids.”
“Lebih baik tunggu Andela sama Grecot dulu, Len.”
“Terlalu lama, Mids. Aku pergi dulu. Kamu tunggu disini aja.” Elaine langsung saja pergi berlari tinggalkan Hamids yang cengo.
Bingung, panik dan khawatir. Itulah perasaan yang dirasakan Hamids. Akhirnya, karena tak kunjung ada respon dari Gracia, Hamids memilih mengikuti Elaine.
Begitu cepat dan kencang Hamids berlari mengikuti Elaine yang siapa sangka kaki kecilnya tak menutupi larinya yang jauh lebih cepat dibanding Hamids yang memiliki kaki panjang. Mungkin efek seringnya berkelahi membuat fisik Elaine jauh lebih kuat.
Akhirnya, Hamids tiba. Di dalam sebuah gudang tua tak terpakai, Elaine sedang berkelahi dengan puluhan orang yang jelas tak dikenali oleh Hamids. Hamids menghela panjang nafasnya, mengepal kedua tangannya, dengan ragu, perlahan masuk ke dalam gudang tersebut…
*agak aneh ya? Cut duls lah*
Ckrek.
Bunyi gagang pintu kamar Elaine, bangunkan gadis itu. Perlahan, Elaine membuka matanya dan mendapati sosok kakak sepupunya yang tersenyum di depan pintu kamarnya.
“Dek, bangun yuk. Kamu mau sekolah kan hari ini?” Elaine mengangguk pelan.
Setelah mengumpulkan nyawa dan bangkit dari tempat tidurnya, Elaine pergi mandi, sarapan dan akhirnya kembali berangkat menuju sekolahnya tercinta. Majisuka Gakuen…
~~~
Kini, Elaine sudah sangat-sangat terbiasa dengan berbagai jenis pasang mata yang menatapnya tajam dan dengan berbagai macam jenis celotehan yang terlontar dari murid-murid sekitarnya yang selalu mengiringinya hingga dirinya tiba di lantai 2.
Elaine menoleh melirik isi ruangan kelas 2-4 yang tumben tak ada tanda-tanda kehidupan dan keberadaan dari anak-anak Tim Gesrek. Elaine menatap jam tangannya, memang masih terlalu pagi. Elaine kembali melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya sendiri. Saat dia membuka pintu kelasnya….
Klik.
“Welcome back Elaine~~” Bersamaan dengan bunyi yang keluar dari kamera milik Gracia, Tim Gesrek beserta Duo ChelVan menyambutnya di dalam kelasnya.
Elaine tersenyum dan tertawa saat melihat mereka memberi kejutan selayaknya pada orang yang sedang merayakan ulang tahunnya. Tapi, yang paling membuatnya terharu adalah keberadaan Gracia diantara mereka.
Elaine tersenyum terharu pada Gracia yang hanya tersenyum tipis itu. Ingin rasanya Elaine memeluk sahabat lamanya itu. Tapi apa daya, hatinya masih tak mampu. Terlebih tubuh kecilnya sudah terlebih dahulu jadi sasaran peluk.
Elaine memperhatikan teman-temannya itu satu persatu, dan baru disadarinya, tidak ada sosok Ghaida disana. Gadis tampan yang menyukai kamen rider itu tidak terlihat batang hidungnya. Dan anggota Tim Gesrek seperti menutupi sesuatu, mereka terlihat bingung menanggapi pertanyaan dari Elaine mengenai keberadaan Ghaida.
Elaine merasa ada yang aneh. Terlebih, untuk pertama kalinya gadis mungil itu merasa tidak nyaman dengan suasana kelasnya. Seperti ada yang menatap dan memperhatikan tingkah lakunya itu. Elaine memperhatikan sekelilingnya. Dan untuk pertama kalinya dia melihat gadis yang tak pernah dilihatnya duduk di bangku paling belakang kelasnya.
Gadis itu menatap tajam Elaine, begitu menusuk seolah tidak suka dengan keberadaan Elaine. Siapa gadis itu? Apa masalahnya dengan Elaine?
Hingga akhirnya, bel masuk berbunyi. Memisahkan kebersamaan mereka sejenak. Elainepun memulai kegiatan belajarnya dengan rasa tak nyaman yang harus ditahannya…
~~~

Gadis berparas cantik itu berdiri sendirian. Terdiam. Di tangannya, sebuah kamera mini menjadi temannya dalam kesendiriannya itu. Perlahan air matanya menetes, mengalir begitu saja.

“Hamids…” Panggilnya lirih. “Kuatkan aku…”

Bagaikan sebuah roda, kenangan itu kembali berputar dalam benak seorang Shania Gracia. Masa lalu yang tak pernah dilupakannya. Waktu dimana seseorang yang sangat disayanginya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya menjadi kenangan terpahit semasa perjalanan hidupnya. Waktu seakan berhenti kala itu. Seandainya bisa dan mampu, ingin Gracia menyusulnya…

“Gre.” Panggil pelan seseorang. “Gracia.” Lagi, suara tak asing itu memanggil Gracia. Sadarkan Gracia dari kenangan pahit yang selalu menguras tangisnya.

“Elaine?”

“Kamu kenapa?”

“Seharusnya kamu yang paling tahu aku kenapa.”

“Aku tahu itu. Maafkan aku.” Ucap Elaine dengan raut wajah sedihnya.

“Sudahlah. Ada apa? Tumben seorang Elaine membolos.”

“Emm… Kamu tahu gadis yang duduk di pojok kanan belakang kelasku?”

“Iya. Mungkin. Kenapa?”

“Dia memperhatikanku sepanjang pelajaran berlangsung. Bahkan dari awal saat kalian main tadi pagi. Dia menatap kita seakan tidak suka dengan keberadaanku. Tatapannya tajam dan menusuk.”

“Dia anggota Rappapa kedua. Frieska Anastasia Laksani. Wajar saja dia begitu. Kau ini sudah berurusan dengan Rappapa. Wajar kalau anggota Rappapa lain mengawasimu.” Jelas Gracia.

Keheningan tercipta menyelimuti keduanya. Perkelahian kecil di bawah sana sempat menyita perhatian mereka sampai Elaine kembali membuka mulutnya.

“Aku kembali kesini bukan untuk terlibat dengan Rappapa, apalagi menjadi ketua di Majijo. Yang aku inginkan hanya--”

“Kembali menyatukan persahabatan yang dirusak olehmu.” Potong Gracia tanpa menatap Elaine.

Elaine menelan ludahnya dan menatap lekat Gracia. “Kamu harus tahu. Akulah yang paling tersakiti atas meninggalnya Hamids…”
~~~
BUGH!!
Begitu keras bunyi yang ditimbulkan saat Yona memukul samsak yang digantungkannya di sudut ruangan para petinggi Yabakune. Keringat deras bercucuran dari puncuk kepalanya membasahi tubuh kurusnya.
“Handuk?” Tawar Naomi dengan mata menggoda.
Yonapun mengambil handuk tersebut dari Naomi yang langsung berjalan dan memberikan teh buatannya pada sang ketua. Gadis yang disibukkan dengan berkas-berkas yang ada di hadapannya.
“Je, sibuk banget?”
“Hmm.”
“Teh dulu, biar gak pusing.”
Jessica melirik sekilas pada Naomi dan secangkir teh yang dipegang gadis oriental itu.
“Herb Tea? Makasih.” Jessica mengambil cangkir teh itu dan meminumnya sedikit. “Kau juga harus mencobanya Naomi.”
“Iya, gampang. Aku tinggal—Aaa.” Rintih Naomi kesakitan saat Jessica menarik tangannya.
Sambil tersenyum, Jessica menyodorkan balik cangkir tehnya ke mulut Naomi.
“Minumlah.” Ucap Jessica sambil tersenyum. Dengan cangkir dipegang oleh Jessica, perlahan Naomi meminum teh berwarna biru tersebut.
Yona yang melihat itu langsung mengalihkan pemandangannya. Hingga seseorang datang dengan banyak belanjaan di tangannya.
“Viny~~” Sapa Yona girang sambil menghampiri Viny. “Kueku?”
“Sabarlah. Tak bisakah kau tenang sedikit?”
“Aku tak bisa tenang jika berhadapan denganmu.” Gombal Yona yang diabaikan Viny.
“Kak Naomi, belanjaannya aku taruh dimana?”
“Letakkan saja di meja. Biar Kak Naomi yang rapihkan nanti.”
“Baiklah. Emm dimana Desy dan Okta, es krimnya-”
“Ada aku dihadapanmu kenapa kamu malah nyari yang gak ada sih, Vin?”
“Letakkan saja di kulkas. Nanti juga Desy ambil.”
Tidak merespon lagi ucapan Yona, Viny pergi untuk meletakkan belanjaannya. Dimanakah Desy dan Okta? Kedua remaja yang selalu bersama karena borgol yang menyatukan mereka itu kini sedang duduk bersama sambil menonton para murid Yabakune yang sedang bermain basket. Desy duduk sambil memainkan HPnya. Sementara Okta sedang memakan chiki. Begitu asik menonton dan memperhatikan sosok Andela yang juga ikut bermain basket itu.
“Sebenernya, seberapa kuat Andela itu? Kenapa Kak Je sampai segitunya?” Tanya Okta.
Desypun menghentikan permainannya dan menatap Okta yang menatapnya balik dengan wajah begitu polos.
“Entahlah, Cidey juga gak tahu. Cidey juga penasaran, Ta. Penasaran seberapa kuat seorang Andela.”
“Yang pasti lebih kuat dari kalian.” Ucap seseorang. Desy dan Okta reflek menoleh ke atas lalu ke belakang mereka.
Terlihat seorang Michelle berdiri disana sambil memangku kedua tangannya. Dibelakangnya, Nadse berdiri bersembunyi dan terlihat agak takut?
“Kalau kalian penasaran, kenapa gak coba menghadapinya?” Tanya Michelle.
SRET!
Entah lupa atau tidak suka dengan keberadaan Michelle, Desy main berdiri saja. Membuat Okta terseret dan chiki yang sedang dinikmatinyapun tumpah.
“Ahh chiki Ota…” Ucap Okta dengan suara yang sudah agak bergetar.
“Maaf ya Michelle. Tapi, kami tak akan terkena bujuk rayu atau apapun itu yang keluar dari mulut berbisamu.” Ucap Desy tajam.
“Kejam sekali. Hmm lagian aku hanya memberikan saran saja.” Ucap Michelle sambil tersenyum. Keduanya saling bertatapan tajam. Saling menusuk. “Yah, dibanding memikirkan Andela, lebih baik kau pikirkan dulu gadis manja yang mengikat dirimu itu.” Sindir Michelle.
“Chiki Ota…”
“Hhh.” Desy menghela nafasnya. “Udahlah Ta, entar Cidey beliin yang baru. Ayo kita pergi dari sini.” Desypun pergi dari lapangan sekolahnya dengan menarik paksa Okta.
Sementara Michelle yang masih disana, tertawa dan tersenyum sambil menatap balik Andela yang ternyata memperhatikan sedari tadi…
~~~
Langit sore telah terlihat dan menghias indah di atas sana. Sambil berjalan dengan mengantungkan kedua tangannya di kantung celananya, Ghaida berjalan pelan menghampiri gadis mungil yang sedang tidur dengan menjadikan novelnya sebagai penutup mata.
Dengan jahilnya, diangkatlah novel itu. Matahari sorepun langsung menusuk mata sipit yang sedang terututup itu. Tangan mungilnyapun langsung berusaha menutupi cahaya yang ada di depan mata yang belum siap terkena cahaya.
“Bangun, bangun. Bangun, Len.”
“Hngg…” Setelah mengulet sedikit, Elaine membuka matanya, mengusapnya dan langsung berdiri. “Jam berapa ini?”
“Jam empat. Tumben sekali kau bolos.”
Elaine lalu kembali duduk disamping Ghaida. “Sudah berapa jam aku tertidur disini?”
“Mana gw tahu. Kamu masih sakit?”
Elaine menggeleng. “Gak kok Kak Ghaida. Maaf ya kalau bikin khawatir.”
Keduanya melanjutkan obrolan tanpa mereka sadari, gadis yang dulu begitu dekat dengan Ghaida memperhatikan mereka…
-Flashback-
Seragam putih biru masih menjadi pakaian sehari-hari keduanya. Sambil bergandengan tangan, gadis tomboy itu memakan eskrimnya. Sementara gadis disampingnya bersender padanya dengan begitu manja.
“Bang. Kamu janji bakalan terus disamping aku, kan?”
“Tenang aja neng mpries~ pastinya dong.” Jawab Ghaida.
Tiba-tiba, keduanya dicegat oleh beberapa orang preman. Ghaida dan gadis yang dipanggilnya ‘Mpries’ itu langsung berdiri tegak. Bersiap untuk berkelahi. Dan benar saja, karena menolak menyerahkan barang berharga mereka, keduanya terlibat perkelahian dengan para preman tersebut.
Walau sempat dan bahkan beberapa kali sempat melawan, tubuh keduanya yang kecil akhirnya terlempar. Mereka tidak hanya kalah dari segi fisik, tapi juga jumlah. Walau hanya melawan 3 orang, lawan mereka tetap preman dengan tubuh besar dan kekar.
Saat para preman itu merasa menang, seseorang memukul mereka dari belakang. Perkelahian kembali terjadi. Kali ini perkelahian seimbang, ketiga preman itu berkelahi dengan ketiga orang yang ternyata datang tepat waktu dan menyelamatkan Ghaida.
“Mel, bawa pergi adik lo. Biar gw sama Kinal yang urus ini.”
“Tapi, Ve--”
“Preman kaya gini doang cetek kok.” Ucap Kinal dengan begitu percaya diri, ya Devi Kinal Putri. Sang wakil ketua Majijo saat ini.
Sesuai perintah kedua sahabatnya, Melody langsung menghampiri adiknya. Siapa lagi kalau bukan Frieska.
“Dek, kamu bisa berdiri?” Tanya Melody sambil menjulurkan tangannya pada Frieska. “Kamu. Bisa berdiri gak?” Tanya Melody pada Ghaida yang hanya diam melongo sedari tadi. “Ayo, bangun. Jangan diem aja.” Waktu seakan berhenti dihadapan Ghaida. Untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang menurutnya lebih menyilaukan dari sinar mentari.
“Woaahh!!” Karena tak kunjung merespon, Melody mengangkat dan menarik tubuh Ghaida untuk pergi dari sana bersamanya dan Frieska. Meninggalkan Kinal dan seseorang yang kini telah berganti seragamnya untuk menghadapi preman-preman itu.
~~~
Ghaida memang sosok yang mudah bergaul. Begitu juga dengan Melody. Merekapun akhirnya saling kenal, apalagi Ghaida sudah cukup sering bermain ke rumah Laksani bersaudara itu.
Seperti hari itu, dua bulan semenjak pertemuan pertama mereka. Ghaida yang sedang bermain di rumah keluarga Laksani, iseng mengganggu Melody yang sedang masak untuk makan siang mereka bertiga. Bukannya membantu, Ghaida malah mengambil dan makan sedikit demi sedikit masakan Melody.
“Ghaidaaaa!!” Teriak Melody.
“Hehehe. Teteh jangan teriak-teriak dong. Berisik.”
“Kamu tuh ihh!! Bukannya bantuin. Ini juga Frieska kenapa gak turun-turun, sih. Ihh.” Keluh Melody.
“Teteh mau dibantuin apa? Sini-sini, Ghaida bantuin deh.” Ucap Ghaida yang mendekat kepada Melody, dan dari belakang, tangannya menjulur untuk memegang tangan Melody yang sedang mengaduk sop yang sedang dibuatnya.
“Haduh. Modus. Udah mending gak usah deh. Sana-sana ah. Malah recok entar.” Usir Melody sambil mendorong tubuh Ghaida.
“Ahahaha, gimana sih Teteh. Tadi minta bantuin, sekarang gak usah.”
“Abisnya kamu modus.”
“Aku gak modus kok. Lagian aku modusnya cuman sama Teteh.”
“Hih. Boong banget.”
“Serius Teh. Ghaida sukanya cuman sama Teteh. Jadi ya modusnya cuman sama Teteh.” Ungkapan cinta itu mengalir begitu saja tanpa sengaja dari mulut Ghaida. Hentikan Melody dari kegiatannya. “Ghaida suka cewek yang mandiri dan kuat kayak Teteh.” Ucap Ghaida tersenyum.
Senyuman yang percuma sesungguhnya, karena Melody yang berdiri memunggunginya tak dapat melihat senyuman itu.
“Ahh iya Teh. Kapan-kapan ajarin Ghaida berantem dong. Teteh kan kuat banget tuh.”
“Makan sayur gih tuh.”
“Hah??”
“Udah itu makan sayurnya, itu supaya tubuh kita kuat.”
“Yang bener? Boong ah.”
“Iya bener.”
Sambil manyun, Ghaida yang terlihat tidak suka dengan sayur yang ada dihadapannya memakannya sedikit demi sedikit. Melody hanya tersenyum memperhatikan Ghaida. Dan baru disadarinya, bahwa sedari tadi seorang Frieska memperhatikan mereka…
-Flashback End-
Frieska berjalan masuk dengan langkah kesal ke dalam ruangan Rappapa, kagetkan Beby dan Shania yang sedang berjalan bergandengan tangan ingin keluar dari sana. Tak memperdulikan pasangan itu, Frieska terus berjalan menuju ruangan Melody. Dan lagi-lagi kagetkan seorang Nobi yang baru saja keluar dari ruangan Melody.
“Teh. Izinkan aku menghadapi Elaine.”
“Secepat ini?”
“Apa aku harus menunggu dia dan Ghaida jadian dulu?”
“Ghaida?”
“Udahlah, Teh. Gak usah pura-pura gak tahu. Aku permisi.”
“Dek, tunggu!”
Tidak merespon panggilan Melody, Frieska keluar dari ruangan Melody dengan langkah terburu-buru, kagetkan Kinal yang ada di depan ruangan Melody.
“Astagfirullah Frieska.” Kaget Kinal yang hanya dapatkan tatapan sinis dari Frieska.
“Teh-”
“Nal.”
“Iya, Teh?”
“Cepat atau lambat, Frieska dan Elaine akan saling berhadapan. Sebelum itu, aku ingin minta tolong sama kamu.”
“Apa Teh?”
“Tolong jagain jangan sampai pertarungan mereka melibatkan Ghaida.”
Kinal terdiam untuk sesaat sampai Melody menatapnya. “Baiklah.” Jawabnya sambil membungkuk. “Ah, Teteh mau balik bareng?”
“Gak usah, Nal. Kamu duluan aja.”
Kinal hanya membungkuk hormat lalu pergi meninggalkan Melody yang duduk bersandar di kursi kebanggaannya setelah menghela panjang nafasnya. Diambilnya HPnya dari laci mejanya, dibukanya fitur pengaman yang ada di HPnya. Melody hanya tersenyum miris saat menatap ke gambar yang menjadi wallpaper di HPnya. Foto dirinya bersama Ghaida dan Frieska. Diambilnya juga foto yang ada di dalam laci itu, foto Melody bersama Kinal dan Veranda. Melody kembali hanya menghela nafasnya.
“Kenapa ini author bikin gw terlibat cinta segitiga sana sini sih!!” Ngamuk Melody.
~~~
Hari kembali berganti, Elaine yang masih merasa risih dengan keberadaan Frieska yang memang sekelas dengannya, memilih mengikuti pelajaran di kelas 2-4 bersama dengan Gracia dan tentunya Tim Gesrek yang dibuatnya heran.
Tidak ada peraturan di Majijo yang melarang muridnya mengikuti pelajara di kelas lain. Sekalipun ada, pasti tetap tidak ada guru yang akan menghukum Elaine. Elaine duduk di bangku Nabilah dan memperhatikan guru yang ada di depan dengan begitu serius.
Sementara Tim Gesrek yang memang duduknya di lantai, sambil memakan sate mereka saling bertatapan heran. Tidak aneh seorang Elaine ada di kelas mereka. Tapi, tumben saja Elaine membolos di jam pelajarannya sendiri.
“Len.” Panggil Nabilah, Elainepun menoleh ke arah Nabilah yang ada di belakangnya. “Lu sehat?”
“Kenapa?”
“Tumben aja bolos.”
“Gak ada apa-apa kok.” Elaine kembali memperhatikan ke depan, dan mendapati bahwa Gracia menatapnya sekilas.
“Aneh.” Gumam Nabilah pelan.
~~~
Jam pulang sekolah kembali tiba. Untuk pertama kalinya, seorang Elaine pulang bersama Nabilah dan mengajak gadis pecinta kelinci itu untuk main ke rumahnya. Nabilahpun merasa girangnya bukan main. Hanya saja, tetap saja, Nabilah merasa ada yang aneh.
“Tumben banget. Sebenernya apa yang mau lu tanyain, Len? Kenapa gak ngomongin di sekolah aja? Biasanya juga ngobrol di sekolah. Emang gw boleh nih main ke rumah lu?”
“Gak ada apa-apa. Emangnya Nabilah gak mau main ke rumah Elaine?”
“Wes. Jangan salah paham. Buset mau banget gw main, Len. Takutnya ngerepotin aje gitu.”
Elaine menggeleng. “Gak sama sekali. Pasti Ci Shani juga bakal seneng ketemu kamu. Aku mau ngenalin ke dia sama orang yang selama ini bantu aku di Majijo.”
“Aduh jadi malu nih ogut. Padahal biasanya emang malu-maluin. Betewe, Ci Shani sape tuh?”
“Ci Shani itu-” Elaine menghentikan ucapan dan langkahnya. Dengan tatapan tajamnya yang membuat matanya semakin sipit, Elaine memperhatikan jalanan dan setiap orang di sekitarnya.
“Kenape, Len?”
Elaine kembali menggeleng dan tersenyum. Lalu menarik Nabilah untuk berjalan lebih cepat.
“Apa kamu tahu Elaine, mantan pacarmu itu suka membuntutimu, loh.” Ucap Gracia setelah muncul dari persembunyiannya sambil menatap ke arah dimana Andela berdiri.
Gracia tertawa kecil, lalu menoleh ke arah lainnya dan mendapati bahwa tak hanya dia dan Andela yang membuntuti Elaine. Tetapi juga…
“Siapa dan apa mau gadis bertahi lalat itu sebenernya?” Tanya Gracia pada dirinya sendiri sebelum akhirnya pergi dari jalanan itu.
~~~
Elaine dan Nabilah akhirnya tiba di rumah Shani. Nabilah terlihat melongo sambil memandangi rumah Shani yang cukup besar itu.
“Rumah lu gedong gini.”
“Apasih Nab. Lagian ini juga bukan rumah aku. Ini rumah orang tua sepupu aku.” Nabilah hanya manggut-manggut saja.
Keduanya lalu berjalan ke depan pintu, setelah memencet bel beberapa kali, pintu itu akhirnya dibuka. Tentu saja oleh seorang Shani.
“Wedeh, adem betul.” Puji Nabilah saat melihat Shani pertama kali.
“Nab, kenalin ini sepupu aku. Ci Shani. Ci, ini Nabilah yang aku ceritain semalem.”
“Waduh, gw jadi topik pembicaraan kalian? Jadi malu. Nabilah, Ci.” Ucap Nabilah sambil bersalaman dengan Shani.
“Nabilah ayo masuk. Anggep aja rumah sendiri. Akhirnya ada temen Elaine yang main kesini lagi.” Ucap Shani mempersilahkan Nabilah masuk.
“Hehe. Iya, Ci. Emm emang si Gracia kaga pernah main kesini lagi?” Tanya Nabilah yang membuat Elaine bahkan Shani terdiam.
“Aaa…” Shani melirik sekilas ke arah Elaine yang wajah sedihnya kembali terlihat. “Nabilah mau minum apa, biar Ci Shani buatin.”
“Wehhh, pas banget nih aus, Ci. Emm jus jeruk boleh, manga apalagi, alpukat juga boleh banget.” Shani terdiam dan kaget. “Hahaha canda Ci. Nabilah mah minum air putih aja juga jadi kok.”
“Emm, yaudah nanti Ci Shani buatin sirup ya. Len, ajak Nabilahnya ke kamar gih. Nanti minum sama kuenya, Ci Shani bawain.”
“Iya, Ci. Yuk Nab.”
Setibanya di kamar Elaine, Nabilah memperhatikan koleksi buku Elaine yang tersusun rapih di lemari buku. Lalu duduk di tepi tempat tidur Elaine sambil memainkan boneka bebek kesayangan Elaine.
“Sepupu lu cantik, Len. Jangan sampe ketemu Kadong dah. Bahaya. Entar dimodusin pasti.”
“Nabilah cemburu, ya?” Tanya Elaine sambil tersenyum jahil.
“Apaan? Kagak! Dih! Ngapain banget cemburu. Buang enerji.”
“Yakin? Yakin gak bakal cemburu?”
“Ett dah, Len. Kenapa jadi ngeledekin ogut dah. Katanya ada yang penting.”
“Ahaha iya. Kamu tahu Frieska?”
“Waduh, langsung berat banget nih topik obrolan kek badan Ayana.”
“Serius Nab.”
Nabilah menghela nafasnya. “Yang gw tahu sih, Frieska itu katanya mantan pacarnya Kadong pas SMP. Cuman ya gw kaga tahu juga. Kadong kaga pernah mau ceritain. Terus mereka sekolah bareng di Majijo, Frieska jadi anggota Rappapa deh. Terus juga ada berita yang bilang Kadong pacaran sama Kak Melody. Ya, gitu deh. Gak jelas.”
“Hmm…”
Cklek.
Pintu kamar Elaine terbuka, perlihatkan Shani yang masuk sambil membawa minum dan kue.
“Wadoohh ngerepotin nih, Ci.” Ucap Nabilah.
“Gak apa-apa kok. Dimakan Nab.” Ucap Shani sebelum kembali keluar.
“Pasti Ci!” Nabilah langsung melahap kue dan minumnya. “Betewe, kenape Len? Frieska udah ngincar lo?”
“Cepat atau lambat, kan?”
“Hmm. Kalau bisa jangan deket-deket Kadong dulu deh sampai kalian berdua bertarung. Frieska nyeremin kalau udah berurusan sama Kadong. Udah pernah ngerasain gw.”
“Jadi, itu alasan kamu juga gak mau nembak Kak Ghaida?”
“Lah? Ngapa kesana dah….”
~~~
Hari berganti, seperti biasa Elaine berjalan dengan santainya. Dari belakang tiba-tiba, Ghaida merangkulnya.
“Oi, kemaren Dedong main ke rumahmu?”
“Kak Ghaida??”
“Kenapa kaget gitu. Kek ngeliat hantu aja.” Elaine tidak menjawab dan hanya tersenyum sambil melepaskan rangkulan Ghaida.
“Kenapa sih, Len? Kayaknya aneh gitu.”
“Gak ada apa-apa, kok.”
“Yang bener?”
“Iya, mending Kak Ghaida balik ke kelas Kak Ghaida aja. Gak perlu nemenin aku sampai ke dalem.”
“Emangnya kena-” Belum sempat Ghaida menyelesaikan kata-katanya, Ghaida mendapati seorang Frieska yang duduk di tempatnya memperhatikan mereka berdua.
“Aku rasa Kak Ghaida paham.”
“Permisi kalau gitu, Len.” Ghaidapun langsung berlari keluar, kembali ke kelasnya.
~~~
Elaine merasa begitu risih, tak pernah ia merasakan tatapan yang bisa membuatnya sampai tak konsen dengan pelajaran di depannya itu. Dengan susah payah, Elaine menahan rasa risihnya. Hingga bel pulang berbunyi, menandakan jam pelajaran terakhir telah berbunyi. Elaine langsung bangkit. Keluar dari kelasnya itu.
Kerisihan itu masih dirasakan Elaine saat berjalan di koridor sekolahnya. Dia sadar dan tahu, bahwa Frieska mengikutinya. Elaine siap kapanpun jika Frieska menyerangnya. Tapi, ada satu hal yang Elaine ingin tahu sebelum perkelahian mereka terjadi. Yaitu…
“Aaaaw.” Kaget Elaine saat seseorang tiba-tiba menyeretnya. “Kak Ghaida? Ngapain?”
“Ikut gw.”
Setibanya di bagian sekolah yang sangat sepi dan terpencil, Elaine langsung duduk dan menatap tajam Ghaida. Ya, Elaine butuh penjelasan. Apa yang sebenernya terjadi dengan Ghaida dan Frieska.
“Aku bukan ingin ikut campur. Tapi-”
“Iya, gw ngerti, Len.” Potong Ghaida yang mondar-mandir di depan Elaine. “Kapan kalian bertarung?”
“Entahlah. Bisa kapanpun. Mungkin juga sekarang.”
“Hah.” Ghaida menghela nafasnya. Lalu duduk di samping Elaine. “Semua ini salah paham. Gw tahu, gw tahu kok dari dulu Frieska suka sama gw. Tapi yang gw suka-”
“Kak Melody?” Ghaida terdiam. Sepertinya tebakan Elaine tepat sasaran. Jawabannya begitu jelas tergambar di wajah Ghaida yang memerah…
Kesal dan marah. Emosi begitu membaluti Frieska yang kehilangan Elaine. Semua murid yang ada di sekitarnya langsung terdiam dan menunduk. Siapapun yang menghalangi jalanan koridor itu akan dihajarnya. Dan, tanpa sengaja…
“Lawak mulu lu kek bapaknya Nabilah si Sule.” Ucap Jeje sambil mendorong Sisil dan….
BUGH!!
Tubuh Sisil yang didorong Jeje itu tanpa sengaja menabrak Frieska.
“Mampus gw.” Ucap Jeje. Wajah anggota Tim Gesrekpun langsung pucat. Apalagi seorang Nabilah.
Belum sempat Sisil berdiri dengan benar, rambutnya dijambak oleh Frieska.
“Lo pikir lo siapa hah main nabrak gw?!” Teriak Frieska sambil menjambak keras rambut Sisil. Tak peduli akan teriakan Sisil yang merintih kesakitan. “Jawab pertanyaan gw?! Lo siapa hah?!”
Teriakan Frieska itupun terdengar sampai ke tempat dimana Elaine dan Ghaida berada. Sadar ada yang tak beres, Elaine bangkit dan berlari meninggalkan Ghaida.
“Jawab!! Lo punya mulut, kan? Atau mau gw paksa jawab?! Baiklah kalau itu mau lo!!” Sambil menyeret Sisil, Frieska berbalik dan melanjutkan perjalanannya.
“Frieska!” Teriak Elaine. Frieskapun berbalik, menatap Elaine dan tersenyum. Namun senyumnya hilang saat Ghaida muncul dan berdiri di samping Elaine. “Lepasin Sisil.”
“Supaya apa? Lo siapa? Berlagak jadi pahlawan hah? Mentang-mentang deket sama babang gw, lo bisa seenaknya gitu sama gw?” Tiba-tiba, Frieska melepas jambakannya dan mendorong tubuh Sisil hingga menabrak tembok. Begitu keras. Frieskapun berjalan mendekati Elaine. “Ayo, ikut gw.”
Betapa terkejutnya Elaine apalagi Ghaida, karena tiba-tiba Frieska menjambak rambut Elaine dan menyeretnya. Bukannya melakukan sesuatu, Ghaida hanya terdiam.
“Kadong!!” Teriak Nabilah yang sudah ada di sisi Sisil. “Kenapa malah diem? Kejar mereka!!”
“Tapi?”
“Ikutin Elaine!” Teriak Nabilah dengan tatapan tajamnya. Ghaidapun akhirnya mengejar Elaine dan Frieska…
~~~
BRAK!!
Begitu kasar saat Frieska mendorong tubuh Elaine ke tumpukan meja yang sudah tak terpakai. Gadis itu membawa Elaine ke gudang sekolah.
“Bangun!” Sambil memegangi kerah kaos seragam Elaine, Frieska mengangkat tubuh Elaine.
BUGH!!
Pukulan pertamapun melayang ke perut Elaine. Pukulan kedua dan ketigapun dilayangkan Frieska pada tubuh mungil Elaine. Dan saat Frieska ingin melayangkan pukulan keempatnya, Ghaida tiba disana.
“Berhenti disana Kak Ghaida.” Ucap Elaine yang melihat kedatangan Ghaida dari sudut matanya. Frieskapun menoleh dan kembali membanting tubuh Elaine untuk menghampiri Ghaida.
“Ngapain babang kesini? Mau nolongin dia?” Tanya Frieska sambil menunjuk Elaine. “Apa? Apa yang buat dia lebih menarik daripada aku?! Jawab bang!!”
“Perasaan seseorang itu tidak bisa dipaksa. Apa kau tidak mengerti itu?” Ucap Elaine mengomentari ucapan Frieska.
“Gak usah ikut campur!!”
Dengan tongkat bisbol yang ada di dekatnya, Frieska menyerang Elaine. Namun tentunya, Elaine dapat menghindarinya. Setelah beberapa kali Frieska melayangkan serangannya yang tidak kena, Elaine menangkap tangan Frieska yang memegangi tongkat tersebut. Dipelintirnya tangan Frieska dan direbutnya tongkat tersebut. Melihat Frieska yang kesakitan, Elainepun menendang Frieska hingga terdorong dan menabrak peralatan olahraga yang ada di belakangnya.
“Boleh juga.” Ucap Frieska tersenyum.
Diambilnya bola-bola bisbol yang ada di belakangnya, dilemparkannya satu persatu ke arah Elaine. Reflek, Elaine memukul bola tersebut satu-persatu dengan tongkat yang ada di tangannya. Frieska akhirnya maju menerjang Elaine bersaaman sambil melempar beberapa buah bola.
BRUG!!
Tubuh keduanyapun jatuh menimpa meja-meja yang sebelumnya sudah ambruk karena tubuh Elaine. Pertarungan itupun terus berlangsung dengan Ghaida yang hanya bisa diam sambil menonton di tempat perkelahian itu. Begitu juga dengan Gracia dan sosok lain yang menonton dari kejauhan.
Kedua orang yang telah bangkit setelah terjatuh tadipun kembali memasang kuda-kuda mereka. Serangan cepat dan bertubi dilancarkan Frieska.
“Kalau aku bisa mengalahkanmu.” Tinju diarahkannya, namun ditepis Elaine. “Aku akan membuktikan pada semuanya.” Kembali, tinjunya ditepis Elaine. “Bahwa aku, menjadi anggota Rappapa bukan karena seorang Melody!! Hyaa!!” Tinju begitu keras dilayangkan Frieska, namun tentunya dengan tubuh yang kecil, Elaine mampun menghindar. Tinju Frieskapun mengenai….
PRANG!!
Cermin yang ada di gudang tersebut, hancur menjadi kepingan. Menusuk dan melukai tangan kanan Frieska. Memanfaatkan itu, Elaine yang posisinya sudah ada di belakang Frieska melayangkan tinjunya. Namun, Frieska menyadari pergerakan Elaine yang terpantul di sisa cermin yang ada. Sambil memegangi pecahan cermin, Frieskapun berputar dan…
SRET!!
Darah segar muncrat dan mengenai wajah Frieska. Elaine langsung mundur beberapa langkah. Beruntung luka yang diciptakan Frieska itu tidak dalam. Begitu nyaris mengenai urat nadi Elaine. Frieskapun tersenyum begitu licik dan langsung kembali melayangkan tinju dengan tangan kirinya. Elainepun reflek menepisnya dengan tangan kanannya yang terluka. Membuat Frieska makin tersenyum lebar.
Namun telat untuk Elaine menyadarinya, Frieska langsung memilintir tangannya dan memijatnya dengan begitu keras.
“Aaaaaaa!!” Teriak Elaine begitu kencang dan sakit saat Frieska terus mengencangkan genggamannya. Darahpun terus menetes dan mengalir deras dari pergelangan tangan Elaine.
BUGH!!
Dengan tangan kanannya yang bebas, Frieska melayangkan tinjunya berkali-kali ke arah wajah Elaine yang kini sudah penuh luka. Darahpun telah menghiasi sudut bibirnya. Darah yang terus keluar dari tangannya itu membuat tubuh Elaine lemas dan jatuh dengan sendirinya.
Frieskapun menendang Elaine lalu kembali memukuli wajah Elaine. Elaine yang sudah tiduran telentang itupun sudah terlihat tak berdaya. Tubuhnya sudah terlalu banyak keluarkan darah.
“Payah. Ternyata segini doang.” Ucap Frieska sambil berdiri. Ditatapnya Elaine. “Apa sekalian aja gw mampusin? Hyaaa!!” Frieska mengangkat kakiknya dan…
Ghaida hanya bisa terkejut saat Frieska nyaris saja menginjak pergelangan tangan Elaine yang terluka. Dengan sisa tenaganya, Elaine menahan dan memegangi kaki Frieska dengan tangan kirinya.
“Lepasin. Sial. Kenapa masih kuat aja? Lepasin. Sialan. Hahh!!” Harus dengan tenaganya, Frieska baru berhasil melepaskan pegangan Elaine. “Sialan lo emang!!” Diinjaknya perut Elaine. Elainepun memuntahkan darahnya. “Brengsek! Cih!” Ditendangnya wajah Elaine.
“Cukup Mpries! Kamu udah menang!!” Teriak Ghaida akhirnya.
“Menang? Siapa yang bilang aku udah menang?” Frieska mengambil tongkat bisbol yang sebelumnya lalu berjalan ke arah Ghaida. “Aku belom menang! Belom sampai babang jadi milik aku!!”
BUGH!!
Dengan tongkat bisbol itu, Frieska memukul keras perut Ghaida. Dilemparnya tongkat tersebut. Frieska lalu membangunkan Ghaida yang terduduk kesakitan.
“Kenapa babang kenapa?!”
BRUG!!
Didorongnya tubuh Ghaida dan dipukulnya berkali-kali. Ghaida tidak menghindar ataupun melawan. Dia tahu Frieska marah. Ghaida membiarkan dirinya menjadi pelampiasan amarah Frieska. Ghaida melakukan itu bukan karena tak mampu melawan, tapi memberikan waktu. Waktu untuk Elaine kembali, kembali bangkit.
“Seharusnya Babang sadar! Teteh Melody sama sekali gak pernah ngelirik Babang!! Cuman satu orang yang disukain Kak Melody. Dan itu bukan Babang!!!”
BUGH!!
“Aaak!” Teriak Frieska, diapun mengusap-usap kepalanya dan menoleh ke bawahnya ada bola bisbol yang bergulir disana.
Frieskapun menoleh dan mendapati Elaine telah berdiri. Ghaidapun tersenyum apalagi setelah menyadari bahwa tatapan Elaine yang pernah menghancurkannya dulu, kembali dilihatnya.
“Harus berapa kali aku bilang? Perasaan itu tidak bisa dipaksa!”
“Brengsek!!”
Frieskapun berlari ke arah Elaine dan melayangkan tinjunya, namun tangannya berhasil ditangkap Elaine. Dan dengan kekuatan dari bahunya, Elaine mengangkat tubuh Frieska dan membantingnya. Frieskapun merintih kesakitan. Tanpa basa-basi, Elaine membangunkan Friesa, menyeretnya dan mendorongnya ke lemari yang ada disana.
Frieska sempat melawan dan berhasil memukul Elaine. Elainepun melakukan hal yang sama. Keduanya saling memegangi kerah lawannya dan berputar-putar di ruangan itu. Namun, tenaga Elaine lebih menang dan berhasil mendorong Frieska ke tembok. Dengan tangan kirinyapun, Elaine memukuli tubuh Frieska berkali-kali.
Elaine lalu menarik wajah Frieska ke bawah, dan dengan dengkulnya. Ia menendang wajah Frieska. Darahpun mengalir dan keluar dari hidung Frieska. Tidak sampai disitu, Elaine menjambak dan menyeret Frieska lagi dan melempar tubuhnya. Elaine lalu kembali mengambil tongkat bisbol yang sudah berwarna merah darah, dari darah 3 orang.
“Dengan ini, semuanya selesai!!”
BUGH!!
Air liur bercampur darahpun keluar dari mulut Frieska…
Klontang-klontang (?)
Begitulah bunyi tongkat bisbol yang lepas dari genggaman tangan Elaine. Tubuh mungil itupun kembali kehilangan tenaganya, beruntung Ghaida menangkapnya saat Elaine nyari terjatuh. Pemandangan yang membuat Frieska yang melihatnya merasa miris.
“Tak usah pedulikan aku. Kak Ghaida, Frieska selesaikan masalah kalian.”
“Tapi-”
“Selesaikan!”
Ghaida menghela nafasnya lalu membantu Elaine untuk duduk dan menghampiri Frieska.
“Mpries.”
“Babang?”
“Maafin Babang kalau terkesannya tidak tegas. Babang pernah bilang, kan? Dari dulu, Babang cuma menyukai Teteh. Maaf kalau akhirnya seperti memberi harapan palsu dan menyakiti kamu. Tapi, dari sebelum bertemu Teteh, kamu juga tahu kan kalau Babang gak pernah suka sama kamu.” Air mata Frieskapun keluar, gadis itu menangis. “Babang mohon jangan menangis karena Babang. Maaf kalau Babang gak akan pernah bisa membalas perasaan kamu.”
“Bang, tapi cuman aku. Cuman aku yang menyukai Babang. Teteh itu gak.”
“Babang tahu. Babang gak apa-apa selama orang yang disukai Teteh lebih baik. Dan kamu juga, lebih baik mencari seseorang yang lebih baik dari Babang.”
“Bang…”
“Sekarang berhentilah menangis. Karena yang Babang tahu, seorang Frieska itu anak yang kuat.”
“Keluarlah. Bawa Elaine pergi dari sini. Tinggalkan aku.”
“Eh? Kamu udah-”
“Aku udah gak apa-apa. Selamat atas kemenanganmu Elaine. Aku memang gak ada apa-apanya.” Ghaida dan Elaine sempat terdiam saling bertatapan. “Udah jangan kelamaan. Cepet pergi!” Ghaidapun membantu Elaine untuk bangkit dan pergi dari situ.
5 menit berlalu, masih tiduran di gudang itu, Frieska menangis. Sampai seseorang masuk ke dalam dan menjulurkan tangan padanya.
“Bangun, Dek. Mau sampai kapan tidur disini?”
“Te-Teteh?”
“Kamu hebat, Teteh tahu itu. Terserah orang yang mau bilang apa. Tapi, kamu berada di Rappapa bukan karena Teteh. Tapi, karena kekuatanmu sendiri.”
“Teh…”
“Sekarang ayo bangkit. Dan tunjukkan, bahwa kau memang pantas berada di Rappapa.”
Dengan bantuan Melody, Frieskapun bangkit dan kembali berdiri. Bersiap menghadapi kenyataan atas kekelahannya atas semua yang telah terjadi…
~~~
Di ruangan Rappapa, Shania duduk sambil memainkan HPnya. Ruangan itu begitu sepi karena hanya ada dirinya dan Beby yang sedang menonton sesuatu di HPnya.
“Frieska kalah. Berarti besok giliran aku atau kamu. Mau aku atau kamu dulu?”
“Aaaa, yossha ikuzo! Taiga! Faiya! Saiba! Faiba! Daiba-”
BRAK!!
“Eh! Mampus lu HP gw jatoh!” Kaget Beby karena HPnya jatuh. Dijatuhkan Shania.
“BEBY!!!!”
“I-Iya, Nju. Gak usah teriak-teriak, sih!”
“Habisnya Beby gak dengerin aku.”
“Dengerin kok dengerin. Kamu aja duluan, tuh udah.”
“Ohh gitu? Oke. Huh.” Shaniapun bangkit dan meninggalkan Beby seorang diri.
“Ehh? Apaan sih? Nju kok ninggalin Beby?! Nju!! Errr betewe… duluan apaan, ya?” Tanya Beby pada dirinya sendiri sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Au, ah. Nju!!” Bebypun lalu berlari mengejar Shania…
TBC
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nah! Udah pada tahu kan kalau Hamids meninggal? Hehehe maaf ya yang ngarep GreMids lebih disini :’) maaf banget.
Nanti gw bikin side storynya khusus waktu kejadian Hamids meninggal kok. Ditunggu aja ya!

Next: Bebek dan Bebeb, mereka kembar? Jadi, Beby atau Shania dulu? 2 vs 2 lebih adil.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih telah membaca. Ditunggu komennya :)
Sankyuu~~ m(__)m

-Jurimayu14-

4 comments:

  1. Jangan sampe pensiun thor :'v
    Jujur lo inspirasi wa untuk ngarang ff juga
    my motivator gitu deh *azekkkk*

    ReplyDelete
  2. kenapa malah gesrek pas bagian beby sama nju marahan -.- pas bagian akhir malah ckck

    ReplyDelete
  3. Jangan pensiun kak rui~
    Gimana para readers kalo lo pensiun

    kreatifstoryjkt48.blogspot.com

    ReplyDelete