Akhirnya gaes~~ Setelah sekian lama XDD
Semoga apdetan ini memuaskan dan menjawab pertannyaan kalian ya XDD
Btw saya nyaris aja pengsiun. Soalnya udah lupa gitu cara nulis (?) lolz
Beruntung semalem dapet ilham.
Yaudah, langsung aja.
Majisuka Gakuen (JKT48)
Gambarnya ini ajalah disini. Biar serem (?) |
Chapter 6
Tidak ada yang berbeda dengan
keadaan Majijo, hanya saja suasana terasa makin mencekat dan tegang pasca menyebarnya
berita kekalahan Nobi atas Elaine. Tentu saja Majijo diserang kepanikan dan
kegegeran. Karena untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ada yang berhasil
lagi kembali mengalahkan Rappapa.
Tahun lalu, posisi Elaine diisi
oleh Melody. Dengan perlahan Melody menaiki satu persatu anak tangga menuju
tempat dimana Rappapa berada. Usahanya tak sia-sia, bersama Kinal yang akhirnya
dijadikan wakil ketuanya, Melody berhasil meraih puncak tertinggi di Majijo.
Namun sejujurnya, ada satu nama
lain yang lebih diinginkannya ada disampingnya saat dirinya berhasil menjadi
ketua Rappapa, seseorang yang dulu pergi meninggalkan Majijo dan berakhir
menjadi ketua di sekolah yang merupakan rival Majijo, sang ketua Yabakune,
Jessica Veranda.
Suatu sore di tahun lalu, langit terlihat begitu berwarna orange, panas
begitu mencekat. Di bawahnya, sebuah pertarungan sengit sedang terjadi. Kedua
gadis yang sedang bertarung itu terlihat sama-sama kuat. Salah seorangnya kita
kenali sebagai Melody.
Keringat dan darah telah membasahi tubuh keduanya. Namun belum terlihat
adanya tanda-tanda kekalahan. Sampai akhirnya, Melody yang berlari mengarahkan
tendangan berputar yang sangat keras. Jatuh. Lawannyapun terjatuh. Perlahan
tubuh Melody ambruk. Walau begitu senyuman manisnya tetap terukir disana.
Saat Veranda yang memperhatikan itu dari kejauhan ingin menolong
sahabatnya, ia didahului oleh seseorang yang merupakan sahabat mereka, kekasih
hatinya, Devi Kinal Putri. Ya, Kinal yang berlari dengan khawatirnya menuju
Melody.
Dari tempatnya, Veranda terus memperhatikan dalam diamnya sang kekasih
yang perlahan memeluk, mengusap wajah dan berakhir mencium bibir seorang Melody….
BRUG!!
Dengan kerasnya, Jessica memukul
meja yang ada disampingnya.
PRANG!
Gelas kaca berisi Hibiscus Tea
miliknya itu terjatuh dan pecah di lantai. Kagetkan Naomi yang sedang duduk
disamping Jessica dan juga Desy-Okta. Adik kelas berwajah shota itu langsung
bersembunyi kembali dibalik tubuh Desy saat melihat Jessica menatap mereka
bergantian dengan tajamnya setelah berdiri.
“Je, kenapa?”
“Yona sama Viny dimana?”
“Mereka udah pergi jalanin tugas
mereka.”
“Hmm. Yaudah kalau gitu.”
Tiba-tiba Jessica berjalan menuju pintu ruangan mereka.
“Mau kemana, Je?”
“Cari angin.” Jawab singkat Jessica
sebelum akhirnya pergi dari ruangannya, meninggalkan Naomi dan kedua adik
kelasnya dalam keheranan.
~~~
Di taman sekolahnya, Jessica duduk
seorang diri sambil melamun. Angin semilir berhembus menerbangkan daun-daun
yang berguguran. Menerpa dan menghempaskan rambut panjang Jessica yang di
gerainya. Jessica menghela nafasnya. Angin benar-benar menyejukkan pikiran dan
juga hatinya.
“Tumben sang ratu keluar dari
sarangnya.” Ucap seseorang, langsung saja Jessica membuka matanya dan menoleh.
Terlihat Michelle duduk di
sampingnya sambil tersenyum. “Michelle? Mau apa lagi?”
“Tidak ada. Hanya duduk disini.
Tidak masalah kan, Kak?”
Jessica hanya melengos malas.
Sampai seseorang yang lewat di dekat mereka, curi perhatian keduanya.
Jessicapun bangkit mengikuti sosok adik kelasnya itu. Begitu juga Michelle yang
diam-diam mengikuti. Setibanya di ujung koridor Yabakune, mereka berhenti.
Gadis yang diikuti Jessica berbalik dan lalu sedikit membungkuk hormat.
“Ada apa Kak Jessica?”
“Kau menyadari aku ikuti dan
mengenaliku?” Andela hanya diam. “Hah. Baiklah. Bagus kalau begitu aku tidak
perlu basa basi. Apa kamu tahu mengenai masalah Yabakune dengan Majijo?”
“Sesuatu yang bukan urusanku.”
Jawab Andela dengan dinginnya.
“Apa kau tidak peduli lagi dengan
mantan pacarmu?” Andela menatap mata Jessica dalam.
“Tidak. Karena bukan dia yang Kak
Jessica incar.” Jawab Andela sebelum akhirnya pergi meninggalkan Jessica dan
Michelle yang mencuri dengar dari kejauhan.
~~~
Elaine masih terbaring di kasurnya. Sesekali dia membaca pesan Line dari teman-temannya yang diterimanya. Tapi, ada satu grup yang selalu dibukanya, dibacanya berulang-ulang chat lama mereka. Padahal tak akan pernah lagi ada chat yang masuk ke grup itu. Grup yang berisi dirinya, Gracia, Andela dan Hamids. Grup yang ditinggalkan, dan terlupakan semenjak insiden yang lalu.
Elaine masih terbaring di kasurnya. Sesekali dia membaca pesan Line dari teman-temannya yang diterimanya. Tapi, ada satu grup yang selalu dibukanya, dibacanya berulang-ulang chat lama mereka. Padahal tak akan pernah lagi ada chat yang masuk ke grup itu. Grup yang berisi dirinya, Gracia, Andela dan Hamids. Grup yang ditinggalkan, dan terlupakan semenjak insiden yang lalu.
Insiden yang terkadang masih
sangat disesali Elaine. Cerita yang masih membuat gadis bermata sipit itu
keluarkan air matanya…
Sore itu, Elaine dan Hamids hanya berdua dalam diamnya menunggu
kembalinya Andela dan Gracia. Cukup awkward untuk keduanya yang bahkan jarang
sekali ngobrol hanya berdua saja tanpa adanya Andela maupun Gracia. Keduanya
sibuk dan tenggelam dalam pikiran masing-masing dan menyibukkan diri dengan
Handphone mereka.
Sesekali obrolan keluar, namun hanya sekadar basa-basi. Sampai pesan
bergambar diterima Elaine dan nomor tak dikenal menghubungi Elaine. Entah apa
yang diucapkan orang-orang di seberang sana. Sesuatu yang berhasil membuat raut
wajah Elaine yang mengantuk menjadi tegang.
“Len, kamu pasti dijebak.”
“Aku harus tetap memastikan, Mids.”
“Lebih baik tunggu Andela sama Grecot dulu, Len.”
“Terlalu lama, Mids. Aku pergi dulu. Kamu tunggu disini aja.” Elaine
langsung saja pergi berlari tinggalkan Hamids yang cengo.
Bingung, panik dan khawatir. Itulah perasaan yang dirasakan Hamids.
Akhirnya, karena tak kunjung ada respon dari Gracia, Hamids memilih mengikuti
Elaine.
Begitu cepat dan kencang Hamids berlari mengikuti Elaine yang siapa
sangka kaki kecilnya tak menutupi larinya yang jauh lebih cepat dibanding
Hamids yang memiliki kaki panjang. Mungkin efek seringnya berkelahi membuat
fisik Elaine jauh lebih kuat.
Akhirnya, Hamids tiba. Di dalam sebuah gudang tua tak terpakai, Elaine
sedang berkelahi dengan puluhan orang yang jelas tak dikenali oleh Hamids.
Hamids menghela panjang nafasnya, mengepal kedua tangannya, dengan ragu,
perlahan masuk ke dalam gudang tersebut…
*agak aneh ya? Cut duls lah*
Ckrek.
Bunyi gagang pintu kamar Elaine,
bangunkan gadis itu. Perlahan, Elaine membuka matanya dan mendapati sosok kakak
sepupunya yang tersenyum di depan pintu kamarnya.
“Dek, bangun yuk. Kamu mau sekolah
kan hari ini?” Elaine mengangguk pelan.
Setelah mengumpulkan nyawa dan
bangkit dari tempat tidurnya, Elaine pergi mandi, sarapan dan akhirnya kembali
berangkat menuju sekolahnya tercinta. Majisuka Gakuen…
~~~
Kini, Elaine sudah sangat-sangat terbiasa dengan berbagai jenis pasang mata yang menatapnya tajam dan dengan berbagai macam jenis celotehan yang terlontar dari murid-murid sekitarnya yang selalu mengiringinya hingga dirinya tiba di lantai 2.
Kini, Elaine sudah sangat-sangat terbiasa dengan berbagai jenis pasang mata yang menatapnya tajam dan dengan berbagai macam jenis celotehan yang terlontar dari murid-murid sekitarnya yang selalu mengiringinya hingga dirinya tiba di lantai 2.
Elaine menoleh melirik isi ruangan
kelas 2-4 yang tumben tak ada tanda-tanda kehidupan dan keberadaan dari
anak-anak Tim Gesrek. Elaine menatap jam tangannya, memang masih terlalu pagi.
Elaine kembali melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya sendiri. Saat dia
membuka pintu kelasnya….
Klik.
“Welcome back Elaine~~” Bersamaan
dengan bunyi yang keluar dari kamera milik Gracia, Tim Gesrek beserta Duo
ChelVan menyambutnya di dalam kelasnya.
Elaine tersenyum dan tertawa saat
melihat mereka memberi kejutan selayaknya pada orang yang sedang merayakan
ulang tahunnya. Tapi, yang paling membuatnya terharu adalah keberadaan Gracia
diantara mereka.
Elaine tersenyum terharu pada
Gracia yang hanya tersenyum tipis itu. Ingin rasanya Elaine memeluk sahabat
lamanya itu. Tapi apa daya, hatinya masih tak mampu. Terlebih tubuh kecilnya
sudah terlebih dahulu jadi sasaran peluk.
Elaine memperhatikan
teman-temannya itu satu persatu, dan baru disadarinya, tidak ada sosok Ghaida
disana. Gadis tampan yang menyukai kamen rider itu tidak terlihat batang
hidungnya. Dan anggota Tim Gesrek seperti menutupi sesuatu, mereka terlihat
bingung menanggapi pertanyaan dari Elaine mengenai keberadaan Ghaida.
Elaine merasa ada yang aneh.
Terlebih, untuk pertama kalinya gadis mungil itu merasa tidak nyaman dengan
suasana kelasnya. Seperti ada yang menatap dan memperhatikan tingkah lakunya
itu. Elaine memperhatikan sekelilingnya. Dan untuk pertama kalinya dia melihat
gadis yang tak pernah dilihatnya duduk di bangku paling belakang kelasnya.
Gadis itu menatap tajam Elaine,
begitu menusuk seolah tidak suka dengan keberadaan Elaine. Siapa gadis itu? Apa
masalahnya dengan Elaine?
Hingga akhirnya, bel masuk
berbunyi. Memisahkan kebersamaan mereka sejenak. Elainepun memulai kegiatan
belajarnya dengan rasa tak nyaman yang harus ditahannya…
~~~
Gadis berparas cantik itu berdiri sendirian. Terdiam. Di tangannya, sebuah kamera mini menjadi temannya dalam kesendiriannya itu. Perlahan air matanya menetes, mengalir begitu saja.
“Hamids…” Panggilnya lirih. “Kuatkan aku…”
Bagaikan sebuah roda, kenangan itu kembali berputar dalam benak seorang Shania Gracia. Masa lalu yang tak pernah dilupakannya. Waktu dimana seseorang yang sangat disayanginya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya menjadi kenangan terpahit semasa perjalanan hidupnya. Waktu seakan berhenti kala itu. Seandainya bisa dan mampu, ingin Gracia menyusulnya…
“Gre.” Panggil pelan seseorang. “Gracia.” Lagi, suara tak asing itu memanggil Gracia. Sadarkan Gracia dari kenangan pahit yang selalu menguras tangisnya.
“Elaine?”
“Kamu kenapa?”
“Seharusnya kamu yang paling tahu aku kenapa.”
“Aku tahu itu. Maafkan aku.” Ucap Elaine dengan raut wajah sedihnya.
“Sudahlah. Ada apa? Tumben seorang Elaine membolos.”
“Emm… Kamu tahu gadis yang duduk di pojok kanan belakang kelasku?”
“Iya. Mungkin. Kenapa?”
“Dia memperhatikanku sepanjang pelajaran berlangsung. Bahkan dari awal saat kalian main tadi pagi. Dia menatap kita seakan tidak suka dengan keberadaanku. Tatapannya tajam dan menusuk.”
“Dia anggota Rappapa kedua. Frieska Anastasia Laksani. Wajar saja dia begitu. Kau ini sudah berurusan dengan Rappapa. Wajar kalau anggota Rappapa lain mengawasimu.” Jelas Gracia.
Keheningan tercipta menyelimuti keduanya. Perkelahian kecil di bawah sana sempat menyita perhatian mereka sampai Elaine kembali membuka mulutnya.
“Aku kembali kesini bukan untuk terlibat dengan Rappapa, apalagi menjadi ketua di Majijo. Yang aku inginkan hanya--”
“Kembali menyatukan persahabatan yang dirusak olehmu.” Potong Gracia tanpa menatap Elaine.
Elaine menelan ludahnya dan menatap lekat Gracia. “Kamu harus tahu. Akulah yang paling tersakiti atas meninggalnya Hamids…”
~~~
BUGH!!
Begitu keras bunyi yang
ditimbulkan saat Yona memukul samsak yang digantungkannya di sudut ruangan para
petinggi Yabakune. Keringat deras bercucuran dari puncuk kepalanya membasahi
tubuh kurusnya.
“Handuk?” Tawar Naomi dengan mata
menggoda.
Yonapun mengambil handuk tersebut
dari Naomi yang langsung berjalan dan memberikan teh buatannya pada sang ketua.
Gadis yang disibukkan dengan berkas-berkas yang ada di hadapannya.
“Je, sibuk banget?”
“Hmm.”
“Teh dulu, biar gak pusing.”
Jessica melirik sekilas pada Naomi
dan secangkir teh yang dipegang gadis oriental itu.
“Herb Tea? Makasih.” Jessica
mengambil cangkir teh itu dan meminumnya sedikit. “Kau juga harus mencobanya
Naomi.”
“Iya, gampang. Aku tinggal—Aaa.”
Rintih Naomi kesakitan saat Jessica menarik tangannya.
Sambil tersenyum, Jessica
menyodorkan balik cangkir tehnya ke mulut Naomi.
“Minumlah.” Ucap Jessica sambil tersenyum.
Dengan cangkir dipegang oleh Jessica, perlahan Naomi meminum teh berwarna biru
tersebut.
Yona yang melihat itu langsung
mengalihkan pemandangannya. Hingga seseorang datang dengan banyak belanjaan di
tangannya.
“Viny~~” Sapa Yona girang sambil
menghampiri Viny. “Kueku?”
“Sabarlah. Tak bisakah kau tenang
sedikit?”
“Aku tak bisa tenang jika
berhadapan denganmu.” Gombal Yona yang diabaikan Viny.
“Kak Naomi, belanjaannya aku taruh
dimana?”
“Letakkan saja di meja. Biar Kak
Naomi yang rapihkan nanti.”
“Baiklah. Emm dimana Desy dan
Okta, es krimnya-”
“Ada aku dihadapanmu kenapa kamu
malah nyari yang gak ada sih, Vin?”
“Letakkan saja di kulkas. Nanti
juga Desy ambil.”
Tidak merespon lagi ucapan Yona,
Viny pergi untuk meletakkan belanjaannya. Dimanakah Desy dan Okta? Kedua remaja
yang selalu bersama karena borgol yang menyatukan mereka itu kini sedang duduk
bersama sambil menonton para murid Yabakune yang sedang bermain basket. Desy
duduk sambil memainkan HPnya. Sementara Okta sedang memakan chiki. Begitu asik
menonton dan memperhatikan sosok Andela yang juga ikut bermain basket itu.
“Sebenernya, seberapa kuat Andela
itu? Kenapa Kak Je sampai segitunya?” Tanya Okta.
Desypun menghentikan permainannya
dan menatap Okta yang menatapnya balik dengan wajah begitu polos.
“Entahlah, Cidey juga gak tahu.
Cidey juga penasaran, Ta. Penasaran seberapa kuat seorang Andela.”
“Yang pasti lebih kuat dari
kalian.” Ucap seseorang. Desy dan Okta reflek menoleh ke atas lalu ke belakang
mereka.
Terlihat seorang Michelle berdiri
disana sambil memangku kedua tangannya. Dibelakangnya, Nadse berdiri
bersembunyi dan terlihat agak takut?
“Kalau kalian penasaran, kenapa
gak coba menghadapinya?” Tanya Michelle.
SRET!
Entah lupa atau tidak suka dengan
keberadaan Michelle, Desy main berdiri saja. Membuat Okta terseret dan chiki
yang sedang dinikmatinyapun tumpah.
“Ahh chiki Ota…” Ucap Okta dengan
suara yang sudah agak bergetar.
“Maaf ya Michelle. Tapi, kami tak
akan terkena bujuk rayu atau apapun itu yang keluar dari mulut berbisamu.” Ucap
Desy tajam.
“Kejam sekali. Hmm lagian aku
hanya memberikan saran saja.” Ucap Michelle sambil tersenyum. Keduanya saling
bertatapan tajam. Saling menusuk. “Yah, dibanding memikirkan Andela, lebih baik
kau pikirkan dulu gadis manja yang mengikat dirimu itu.” Sindir Michelle.
“Chiki Ota…”
“Hhh.” Desy menghela nafasnya.
“Udahlah Ta, entar Cidey beliin yang baru. Ayo kita pergi dari sini.” Desypun
pergi dari lapangan sekolahnya dengan menarik paksa Okta.
Sementara Michelle yang masih
disana, tertawa dan tersenyum sambil menatap balik Andela yang ternyata
memperhatikan sedari tadi…
~~~
Langit sore telah terlihat dan
menghias indah di atas sana. Sambil berjalan dengan mengantungkan kedua
tangannya di kantung celananya, Ghaida berjalan pelan menghampiri gadis mungil
yang sedang tidur dengan menjadikan novelnya sebagai penutup mata.
Dengan jahilnya, diangkatlah novel
itu. Matahari sorepun langsung menusuk mata sipit yang sedang terututup itu.
Tangan mungilnyapun langsung berusaha menutupi cahaya yang ada di depan mata
yang belum siap terkena cahaya.
“Bangun, bangun. Bangun, Len.”
“Hngg…” Setelah mengulet sedikit,
Elaine membuka matanya, mengusapnya dan langsung berdiri. “Jam berapa ini?”
“Jam empat. Tumben sekali kau
bolos.”
Elaine lalu kembali duduk
disamping Ghaida. “Sudah berapa jam aku tertidur disini?”
“Mana gw tahu. Kamu masih sakit?”
Elaine menggeleng. “Gak kok Kak
Ghaida. Maaf ya kalau bikin khawatir.”
Keduanya melanjutkan obrolan tanpa
mereka sadari, gadis yang dulu begitu dekat dengan Ghaida memperhatikan mereka…
-Flashback-
Seragam putih biru masih menjadi
pakaian sehari-hari keduanya. Sambil bergandengan tangan, gadis tomboy itu
memakan eskrimnya. Sementara gadis disampingnya bersender padanya dengan begitu
manja.
“Bang. Kamu janji bakalan terus
disamping aku, kan?”
“Tenang aja neng mpries~ pastinya
dong.” Jawab Ghaida.
Tiba-tiba, keduanya dicegat oleh
beberapa orang preman. Ghaida dan gadis yang dipanggilnya ‘Mpries’ itu langsung
berdiri tegak. Bersiap untuk berkelahi. Dan benar saja, karena menolak
menyerahkan barang berharga mereka, keduanya terlibat perkelahian dengan para
preman tersebut.
Walau sempat dan bahkan beberapa
kali sempat melawan, tubuh keduanya yang kecil akhirnya terlempar. Mereka tidak
hanya kalah dari segi fisik, tapi juga jumlah. Walau hanya melawan 3 orang,
lawan mereka tetap preman dengan tubuh besar dan kekar.
Saat para preman itu merasa
menang, seseorang memukul mereka dari belakang. Perkelahian kembali terjadi.
Kali ini perkelahian seimbang, ketiga preman itu berkelahi dengan ketiga orang
yang ternyata datang tepat waktu dan menyelamatkan Ghaida.
“Mel, bawa pergi adik lo. Biar gw
sama Kinal yang urus ini.”
“Tapi, Ve--”
“Preman kaya gini doang cetek
kok.” Ucap Kinal dengan begitu percaya diri, ya Devi Kinal Putri. Sang wakil
ketua Majijo saat ini.
Sesuai perintah kedua sahabatnya,
Melody langsung menghampiri adiknya. Siapa lagi kalau bukan Frieska.
“Dek, kamu bisa berdiri?” Tanya
Melody sambil menjulurkan tangannya pada Frieska. “Kamu. Bisa berdiri gak?”
Tanya Melody pada Ghaida yang hanya diam melongo sedari tadi. “Ayo, bangun.
Jangan diem aja.” Waktu seakan berhenti dihadapan Ghaida. Untuk pertama
kalinya, ada sesuatu yang menurutnya lebih menyilaukan dari sinar mentari.
“Woaahh!!” Karena tak kunjung
merespon, Melody mengangkat dan menarik tubuh Ghaida untuk pergi dari sana
bersamanya dan Frieska. Meninggalkan Kinal dan seseorang yang kini telah
berganti seragamnya untuk menghadapi preman-preman itu.
~~~
Ghaida memang sosok yang mudah bergaul. Begitu juga dengan Melody. Merekapun akhirnya saling kenal, apalagi Ghaida sudah cukup sering bermain ke rumah Laksani bersaudara itu.
Ghaida memang sosok yang mudah bergaul. Begitu juga dengan Melody. Merekapun akhirnya saling kenal, apalagi Ghaida sudah cukup sering bermain ke rumah Laksani bersaudara itu.
Seperti hari itu, dua bulan
semenjak pertemuan pertama mereka. Ghaida yang sedang bermain di rumah keluarga
Laksani, iseng mengganggu Melody yang sedang masak untuk makan siang mereka
bertiga. Bukannya membantu, Ghaida malah mengambil dan makan sedikit demi
sedikit masakan Melody.
“Ghaidaaaa!!” Teriak Melody.
“Hehehe. Teteh jangan
teriak-teriak dong. Berisik.”
“Kamu tuh ihh!! Bukannya bantuin.
Ini juga Frieska kenapa gak turun-turun, sih. Ihh.” Keluh Melody.
“Teteh mau dibantuin apa?
Sini-sini, Ghaida bantuin deh.” Ucap Ghaida yang mendekat kepada Melody, dan
dari belakang, tangannya menjulur untuk memegang tangan Melody yang sedang
mengaduk sop yang sedang dibuatnya.
“Haduh. Modus. Udah mending gak
usah deh. Sana-sana ah. Malah recok entar.” Usir Melody sambil mendorong tubuh
Ghaida.
“Ahahaha, gimana sih Teteh. Tadi
minta bantuin, sekarang gak usah.”
“Abisnya kamu modus.”
“Aku gak modus kok. Lagian aku
modusnya cuman sama Teteh.”
“Hih. Boong banget.”
“Serius Teh. Ghaida sukanya cuman
sama Teteh. Jadi ya modusnya cuman sama Teteh.” Ungkapan cinta itu mengalir
begitu saja tanpa sengaja dari mulut Ghaida. Hentikan Melody dari kegiatannya.
“Ghaida suka cewek yang mandiri dan kuat kayak Teteh.” Ucap Ghaida tersenyum.
Senyuman yang percuma
sesungguhnya, karena Melody yang berdiri memunggunginya tak dapat melihat
senyuman itu.
“Ahh iya Teh. Kapan-kapan ajarin
Ghaida berantem dong. Teteh kan kuat banget tuh.”
“Makan sayur gih tuh.”
“Hah??”
“Udah itu makan sayurnya, itu
supaya tubuh kita kuat.”
“Yang bener? Boong ah.”
“Iya bener.”
Sambil manyun, Ghaida yang
terlihat tidak suka dengan sayur yang ada dihadapannya memakannya sedikit demi
sedikit. Melody hanya tersenyum memperhatikan Ghaida. Dan baru disadarinya,
bahwa sedari tadi seorang Frieska memperhatikan mereka…
-Flashback End-
Frieska berjalan masuk dengan
langkah kesal ke dalam ruangan Rappapa, kagetkan Beby dan Shania yang sedang
berjalan bergandengan tangan ingin keluar dari sana. Tak memperdulikan pasangan
itu, Frieska terus berjalan menuju ruangan Melody. Dan lagi-lagi kagetkan
seorang Nobi yang baru saja keluar dari ruangan Melody.
“Teh. Izinkan aku menghadapi
Elaine.”
“Secepat ini?”
“Apa aku harus menunggu dia dan
Ghaida jadian dulu?”
“Ghaida?”
“Udahlah, Teh. Gak usah pura-pura
gak tahu. Aku permisi.”
“Dek, tunggu!”
Tidak merespon panggilan Melody,
Frieska keluar dari ruangan Melody dengan langkah terburu-buru, kagetkan Kinal
yang ada di depan ruangan Melody.
“Astagfirullah Frieska.” Kaget
Kinal yang hanya dapatkan tatapan sinis dari Frieska.
“Teh-”
“Nal.”
“Iya, Teh?”
“Cepat atau lambat, Frieska dan
Elaine akan saling berhadapan. Sebelum itu, aku ingin minta tolong sama kamu.”
“Apa Teh?”
“Tolong jagain jangan sampai
pertarungan mereka melibatkan Ghaida.”
Kinal terdiam untuk sesaat sampai
Melody menatapnya. “Baiklah.” Jawabnya sambil membungkuk. “Ah, Teteh mau balik
bareng?”
“Gak usah, Nal. Kamu duluan aja.”
Kinal hanya membungkuk hormat lalu
pergi meninggalkan Melody yang duduk bersandar di kursi kebanggaannya setelah
menghela panjang nafasnya. Diambilnya HPnya dari laci mejanya, dibukanya fitur
pengaman yang ada di HPnya. Melody hanya tersenyum miris saat menatap ke gambar
yang menjadi wallpaper di HPnya. Foto dirinya bersama Ghaida dan Frieska.
Diambilnya juga foto yang ada di dalam laci itu, foto Melody bersama Kinal dan
Veranda. Melody kembali hanya menghela nafasnya.
~~~
Hari kembali berganti, Elaine yang
masih merasa risih dengan keberadaan Frieska yang memang sekelas dengannya,
memilih mengikuti pelajaran di kelas 2-4 bersama dengan Gracia dan tentunya Tim
Gesrek yang dibuatnya heran.
Tidak ada peraturan di Majijo yang
melarang muridnya mengikuti pelajara di kelas lain. Sekalipun ada, pasti tetap
tidak ada guru yang akan menghukum Elaine. Elaine duduk di bangku Nabilah dan
memperhatikan guru yang ada di depan dengan begitu serius.
Sementara Tim Gesrek yang memang
duduknya di lantai, sambil memakan sate mereka saling bertatapan heran. Tidak
aneh seorang Elaine ada di kelas mereka. Tapi, tumben saja Elaine membolos di
jam pelajarannya sendiri.
“Len.” Panggil Nabilah, Elainepun
menoleh ke arah Nabilah yang ada di belakangnya. “Lu sehat?”
“Kenapa?”
“Tumben aja bolos.”
“Gak ada apa-apa kok.” Elaine
kembali memperhatikan ke depan, dan mendapati bahwa Gracia menatapnya sekilas.
“Aneh.” Gumam Nabilah pelan.
~~~
Jam pulang sekolah kembali tiba. Untuk pertama kalinya, seorang Elaine pulang bersama Nabilah dan mengajak gadis pecinta kelinci itu untuk main ke rumahnya. Nabilahpun merasa girangnya bukan main. Hanya saja, tetap saja, Nabilah merasa ada yang aneh.
Jam pulang sekolah kembali tiba. Untuk pertama kalinya, seorang Elaine pulang bersama Nabilah dan mengajak gadis pecinta kelinci itu untuk main ke rumahnya. Nabilahpun merasa girangnya bukan main. Hanya saja, tetap saja, Nabilah merasa ada yang aneh.
“Tumben banget. Sebenernya apa
yang mau lu tanyain, Len? Kenapa gak ngomongin di sekolah aja? Biasanya juga
ngobrol di sekolah. Emang gw boleh nih main ke rumah lu?”
“Gak ada apa-apa. Emangnya Nabilah
gak mau main ke rumah Elaine?”
“Wes. Jangan salah paham. Buset
mau banget gw main, Len. Takutnya ngerepotin aje gitu.”
Elaine menggeleng. “Gak sama
sekali. Pasti Ci Shani juga bakal seneng ketemu kamu. Aku mau ngenalin ke dia
sama orang yang selama ini bantu aku di Majijo.”
“Aduh jadi malu nih ogut. Padahal
biasanya emang malu-maluin. Betewe, Ci Shani sape tuh?”
“Ci Shani itu-” Elaine
menghentikan ucapan dan langkahnya. Dengan tatapan tajamnya yang membuat
matanya semakin sipit, Elaine memperhatikan jalanan dan setiap orang di
sekitarnya.
“Kenape, Len?”
Elaine kembali menggeleng dan
tersenyum. Lalu menarik Nabilah untuk berjalan lebih cepat.
“Apa kamu tahu Elaine, mantan
pacarmu itu suka membuntutimu, loh.” Ucap Gracia setelah muncul dari
persembunyiannya sambil menatap ke arah dimana Andela berdiri.
Gracia tertawa kecil, lalu menoleh
ke arah lainnya dan mendapati bahwa tak hanya dia dan Andela yang membuntuti Elaine.
Tetapi juga…
“Siapa dan apa mau gadis bertahi
lalat itu sebenernya?” Tanya Gracia pada dirinya sendiri sebelum akhirnya pergi
dari jalanan itu.
~~~
Elaine dan Nabilah akhirnya tiba
di rumah Shani. Nabilah terlihat melongo sambil memandangi rumah Shani yang
cukup besar itu.
“Rumah lu gedong gini.”
“Apasih Nab. Lagian ini juga bukan
rumah aku. Ini rumah orang tua sepupu aku.” Nabilah hanya manggut-manggut saja.
Keduanya lalu berjalan ke depan
pintu, setelah memencet bel beberapa kali, pintu itu akhirnya dibuka. Tentu
saja oleh seorang Shani.
“Wedeh, adem betul.” Puji Nabilah
saat melihat Shani pertama kali.
“Nab, kenalin ini sepupu aku. Ci
Shani. Ci, ini Nabilah yang aku ceritain semalem.”
“Waduh, gw jadi topik pembicaraan
kalian? Jadi malu. Nabilah, Ci.” Ucap Nabilah sambil bersalaman dengan Shani.
“Nabilah ayo masuk. Anggep aja
rumah sendiri. Akhirnya ada temen Elaine yang main kesini lagi.” Ucap Shani
mempersilahkan Nabilah masuk.
“Hehe. Iya, Ci. Emm emang si
Gracia kaga pernah main kesini lagi?” Tanya Nabilah yang membuat Elaine bahkan
Shani terdiam.
“Aaa…” Shani melirik sekilas ke
arah Elaine yang wajah sedihnya kembali terlihat. “Nabilah mau minum apa, biar
Ci Shani buatin.”
“Wehhh, pas banget nih aus, Ci.
Emm jus jeruk boleh, manga apalagi, alpukat juga boleh banget.” Shani terdiam
dan kaget. “Hahaha canda Ci. Nabilah mah minum air putih aja juga jadi kok.”
“Emm, yaudah nanti Ci Shani buatin
sirup ya. Len, ajak Nabilahnya ke kamar gih. Nanti minum sama kuenya, Ci Shani
bawain.”
“Iya, Ci. Yuk Nab.”
Setibanya di kamar Elaine, Nabilah
memperhatikan koleksi buku Elaine yang tersusun rapih di lemari buku. Lalu
duduk di tepi tempat tidur Elaine sambil memainkan boneka bebek kesayangan
Elaine.
“Sepupu lu cantik, Len. Jangan
sampe ketemu Kadong dah. Bahaya. Entar dimodusin pasti.”
“Nabilah cemburu, ya?” Tanya
Elaine sambil tersenyum jahil.
“Apaan? Kagak! Dih! Ngapain banget
cemburu. Buang enerji.”
“Yakin? Yakin gak bakal cemburu?”
“Ett dah, Len. Kenapa jadi
ngeledekin ogut dah. Katanya ada yang penting.”
“Ahaha iya. Kamu tahu Frieska?”
“Waduh, langsung berat banget nih
topik obrolan kek badan Ayana.”
“Serius Nab.”
Nabilah menghela nafasnya. “Yang
gw tahu sih, Frieska itu katanya mantan pacarnya Kadong pas SMP. Cuman ya gw
kaga tahu juga. Kadong kaga pernah mau ceritain. Terus mereka sekolah bareng di
Majijo, Frieska jadi anggota Rappapa deh. Terus juga ada berita yang bilang
Kadong pacaran sama Kak Melody. Ya, gitu deh. Gak jelas.”
“Hmm…”
Cklek.
Pintu kamar Elaine terbuka,
perlihatkan Shani yang masuk sambil membawa minum dan kue.
“Wadoohh ngerepotin nih, Ci.” Ucap
Nabilah.
“Gak apa-apa kok. Dimakan Nab.”
Ucap Shani sebelum kembali keluar.
“Pasti Ci!” Nabilah langsung
melahap kue dan minumnya. “Betewe, kenape Len? Frieska udah ngincar lo?”
“Cepat atau lambat, kan?”
“Hmm. Kalau bisa jangan
deket-deket Kadong dulu deh sampai kalian berdua bertarung. Frieska nyeremin
kalau udah berurusan sama Kadong. Udah pernah ngerasain gw.”
“Jadi, itu alasan kamu juga gak
mau nembak Kak Ghaida?”
“Lah? Ngapa kesana dah….”
~~~
Hari berganti, seperti biasa
Elaine berjalan dengan santainya. Dari belakang tiba-tiba, Ghaida merangkulnya.
“Oi, kemaren Dedong main ke
rumahmu?”
“Kak Ghaida??”
“Kenapa kaget gitu. Kek ngeliat
hantu aja.” Elaine tidak menjawab dan hanya tersenyum sambil melepaskan
rangkulan Ghaida.
“Kenapa sih, Len? Kayaknya aneh
gitu.”
“Gak ada apa-apa, kok.”
“Yang bener?”
“Iya, mending Kak Ghaida balik ke
kelas Kak Ghaida aja. Gak perlu nemenin aku sampai ke dalem.”
“Emangnya kena-” Belum sempat
Ghaida menyelesaikan kata-katanya, Ghaida mendapati seorang Frieska yang duduk
di tempatnya memperhatikan mereka berdua.
“Aku rasa Kak Ghaida paham.”
“Permisi kalau gitu, Len.”
Ghaidapun langsung berlari keluar, kembali ke kelasnya.
~~~
Elaine merasa begitu risih, tak pernah ia merasakan tatapan yang bisa membuatnya sampai tak konsen dengan pelajaran di depannya itu. Dengan susah payah, Elaine menahan rasa risihnya. Hingga bel pulang berbunyi, menandakan jam pelajaran terakhir telah berbunyi. Elaine langsung bangkit. Keluar dari kelasnya itu.
Elaine merasa begitu risih, tak pernah ia merasakan tatapan yang bisa membuatnya sampai tak konsen dengan pelajaran di depannya itu. Dengan susah payah, Elaine menahan rasa risihnya. Hingga bel pulang berbunyi, menandakan jam pelajaran terakhir telah berbunyi. Elaine langsung bangkit. Keluar dari kelasnya itu.
Kerisihan itu masih dirasakan
Elaine saat berjalan di koridor sekolahnya. Dia sadar dan tahu, bahwa Frieska
mengikutinya. Elaine siap kapanpun jika Frieska menyerangnya. Tapi, ada satu
hal yang Elaine ingin tahu sebelum perkelahian mereka terjadi. Yaitu…
“Aaaaw.” Kaget Elaine saat seseorang
tiba-tiba menyeretnya. “Kak Ghaida? Ngapain?”
“Ikut gw.”
Setibanya di bagian sekolah yang
sangat sepi dan terpencil, Elaine langsung duduk dan menatap tajam Ghaida. Ya,
Elaine butuh penjelasan. Apa yang sebenernya terjadi dengan Ghaida dan Frieska.
“Aku bukan ingin ikut campur. Tapi-”
“Iya, gw ngerti, Len.” Potong
Ghaida yang mondar-mandir di depan Elaine. “Kapan kalian bertarung?”
“Entahlah. Bisa kapanpun. Mungkin
juga sekarang.”
“Hah.” Ghaida menghela nafasnya.
Lalu duduk di samping Elaine. “Semua ini salah paham. Gw tahu, gw tahu kok dari
dulu Frieska suka sama gw. Tapi yang gw suka-”
“Kak Melody?” Ghaida terdiam. Sepertinya
tebakan Elaine tepat sasaran. Jawabannya begitu jelas tergambar di wajah Ghaida
yang memerah…
Kesal dan marah. Emosi begitu
membaluti Frieska yang kehilangan Elaine. Semua murid yang ada di sekitarnya
langsung terdiam dan menunduk. Siapapun yang menghalangi jalanan koridor itu
akan dihajarnya. Dan, tanpa sengaja…
“Lawak mulu lu kek bapaknya
Nabilah si Sule.” Ucap Jeje sambil mendorong Sisil dan….
BUGH!!
Tubuh Sisil yang didorong Jeje itu
tanpa sengaja menabrak Frieska.
“Mampus gw.” Ucap Jeje. Wajah
anggota Tim Gesrekpun langsung pucat. Apalagi seorang Nabilah.
Belum sempat Sisil berdiri dengan
benar, rambutnya dijambak oleh Frieska.
“Lo pikir lo siapa hah main nabrak
gw?!” Teriak Frieska sambil menjambak keras rambut Sisil. Tak peduli akan
teriakan Sisil yang merintih kesakitan. “Jawab pertanyaan gw?! Lo siapa hah?!”
Teriakan Frieska itupun terdengar
sampai ke tempat dimana Elaine dan Ghaida berada. Sadar ada yang tak beres,
Elaine bangkit dan berlari meninggalkan Ghaida.
“Jawab!! Lo punya mulut, kan? Atau
mau gw paksa jawab?! Baiklah kalau itu mau lo!!” Sambil menyeret Sisil, Frieska
berbalik dan melanjutkan perjalanannya.
“Frieska!” Teriak Elaine.
Frieskapun berbalik, menatap Elaine dan tersenyum. Namun senyumnya hilang saat
Ghaida muncul dan berdiri di samping Elaine. “Lepasin Sisil.”
“Supaya apa? Lo siapa? Berlagak
jadi pahlawan hah? Mentang-mentang deket sama babang gw, lo bisa seenaknya gitu
sama gw?” Tiba-tiba, Frieska melepas jambakannya dan mendorong tubuh Sisil hingga
menabrak tembok. Begitu keras. Frieskapun berjalan mendekati Elaine. “Ayo, ikut
gw.”
Betapa terkejutnya Elaine apalagi
Ghaida, karena tiba-tiba Frieska menjambak rambut Elaine dan menyeretnya.
Bukannya melakukan sesuatu, Ghaida hanya terdiam.
“Kadong!!” Teriak Nabilah yang
sudah ada di sisi Sisil. “Kenapa malah diem? Kejar mereka!!”
“Tapi?”
“Ikutin Elaine!” Teriak Nabilah
dengan tatapan tajamnya. Ghaidapun akhirnya mengejar Elaine dan Frieska…
~~~
BRAK!!
BRAK!!
Begitu kasar saat Frieska mendorong
tubuh Elaine ke tumpukan meja yang sudah tak terpakai. Gadis itu membawa Elaine
ke gudang sekolah.
“Bangun!” Sambil memegangi kerah
kaos seragam Elaine, Frieska mengangkat tubuh Elaine.
BUGH!!
Pukulan pertamapun melayang ke
perut Elaine. Pukulan kedua dan ketigapun dilayangkan Frieska pada tubuh mungil
Elaine. Dan saat Frieska ingin melayangkan pukulan keempatnya, Ghaida tiba
disana.
“Berhenti disana Kak Ghaida.” Ucap
Elaine yang melihat kedatangan Ghaida dari sudut matanya. Frieskapun menoleh
dan kembali membanting tubuh Elaine untuk menghampiri Ghaida.
“Ngapain babang kesini? Mau
nolongin dia?” Tanya Frieska sambil menunjuk Elaine. “Apa? Apa yang buat dia lebih
menarik daripada aku?! Jawab bang!!”
“Perasaan seseorang itu tidak bisa
dipaksa. Apa kau tidak mengerti itu?” Ucap Elaine mengomentari ucapan Frieska.
“Gak usah ikut campur!!”
Dengan tongkat bisbol yang ada di
dekatnya, Frieska menyerang Elaine. Namun tentunya, Elaine dapat
menghindarinya. Setelah beberapa kali Frieska melayangkan serangannya yang
tidak kena, Elaine menangkap tangan Frieska yang memegangi tongkat tersebut. Dipelintirnya
tangan Frieska dan direbutnya tongkat tersebut. Melihat Frieska yang kesakitan,
Elainepun menendang Frieska hingga terdorong dan menabrak peralatan olahraga
yang ada di belakangnya.
“Boleh juga.” Ucap Frieska tersenyum.
Diambilnya bola-bola bisbol yang
ada di belakangnya, dilemparkannya satu persatu ke arah Elaine. Reflek, Elaine
memukul bola tersebut satu-persatu dengan tongkat yang ada di tangannya.
Frieska akhirnya maju menerjang Elaine bersaaman sambil melempar beberapa buah
bola.
BRUG!!
Tubuh keduanyapun jatuh menimpa
meja-meja yang sebelumnya sudah ambruk karena tubuh Elaine. Pertarungan itupun
terus berlangsung dengan Ghaida yang hanya bisa diam sambil menonton di tempat
perkelahian itu. Begitu juga dengan Gracia dan sosok lain yang menonton dari
kejauhan.
Kedua orang yang telah bangkit
setelah terjatuh tadipun kembali memasang kuda-kuda mereka. Serangan cepat dan
bertubi dilancarkan Frieska.
“Kalau aku bisa mengalahkanmu.”
Tinju diarahkannya, namun ditepis Elaine. “Aku akan membuktikan pada semuanya.”
Kembali, tinjunya ditepis Elaine. “Bahwa aku, menjadi anggota Rappapa bukan
karena seorang Melody!! Hyaa!!” Tinju begitu keras dilayangkan Frieska, namun
tentunya dengan tubuh yang kecil, Elaine mampun menghindar. Tinju Frieskapun
mengenai….
PRANG!!
Cermin yang ada di gudang
tersebut, hancur menjadi kepingan. Menusuk dan melukai tangan kanan Frieska.
Memanfaatkan itu, Elaine yang posisinya sudah ada di belakang Frieska
melayangkan tinjunya. Namun, Frieska menyadari pergerakan Elaine yang terpantul
di sisa cermin yang ada. Sambil memegangi pecahan cermin, Frieskapun berputar
dan…
SRET!!
Darah segar muncrat dan mengenai
wajah Frieska. Elaine langsung mundur beberapa langkah. Beruntung luka yang
diciptakan Frieska itu tidak dalam. Begitu nyaris mengenai urat nadi Elaine.
Frieskapun tersenyum begitu licik dan langsung kembali melayangkan tinju dengan
tangan kirinya. Elainepun reflek menepisnya dengan tangan kanannya yang
terluka. Membuat Frieska makin tersenyum lebar.
Namun telat untuk Elaine
menyadarinya, Frieska langsung memilintir tangannya dan memijatnya dengan
begitu keras.
“Aaaaaaa!!” Teriak Elaine begitu
kencang dan sakit saat Frieska terus mengencangkan genggamannya. Darahpun terus
menetes dan mengalir deras dari pergelangan tangan Elaine.
BUGH!!
Dengan tangan kanannya yang bebas,
Frieska melayangkan tinjunya berkali-kali ke arah wajah Elaine yang kini sudah
penuh luka. Darahpun telah menghiasi sudut bibirnya. Darah yang terus keluar
dari tangannya itu membuat tubuh Elaine lemas dan jatuh dengan sendirinya.
Frieskapun menendang Elaine lalu
kembali memukuli wajah Elaine. Elaine yang sudah tiduran telentang itupun sudah
terlihat tak berdaya. Tubuhnya sudah terlalu banyak keluarkan darah.
“Payah. Ternyata segini doang.”
Ucap Frieska sambil berdiri. Ditatapnya Elaine. “Apa sekalian aja gw mampusin?
Hyaaa!!” Frieska mengangkat kakiknya dan…
Ghaida hanya bisa terkejut saat
Frieska nyaris saja menginjak pergelangan tangan Elaine yang terluka. Dengan
sisa tenaganya, Elaine menahan dan memegangi kaki Frieska dengan tangan
kirinya.
“Lepasin. Sial. Kenapa masih kuat
aja? Lepasin. Sialan. Hahh!!” Harus dengan tenaganya, Frieska baru berhasil
melepaskan pegangan Elaine. “Sialan lo emang!!” Diinjaknya perut Elaine.
Elainepun memuntahkan darahnya. “Brengsek! Cih!” Ditendangnya wajah Elaine.
“Cukup Mpries! Kamu udah menang!!”
Teriak Ghaida akhirnya.
“Menang? Siapa yang bilang aku
udah menang?” Frieska mengambil tongkat bisbol yang sebelumnya lalu berjalan ke
arah Ghaida. “Aku belom menang! Belom sampai babang jadi milik aku!!”
BUGH!!
Dengan tongkat bisbol itu, Frieska
memukul keras perut Ghaida. Dilemparnya tongkat tersebut. Frieska lalu
membangunkan Ghaida yang terduduk kesakitan.
“Kenapa babang kenapa?!”
BRUG!!
Didorongnya tubuh Ghaida dan
dipukulnya berkali-kali. Ghaida tidak menghindar ataupun melawan. Dia tahu
Frieska marah. Ghaida membiarkan dirinya menjadi pelampiasan amarah Frieska.
Ghaida melakukan itu bukan karena tak mampu melawan, tapi memberikan waktu. Waktu
untuk Elaine kembali, kembali bangkit.
“Seharusnya Babang sadar! Teteh
Melody sama sekali gak pernah ngelirik Babang!! Cuman satu orang yang disukain
Kak Melody. Dan itu bukan Babang!!!”
BUGH!!
“Aaak!” Teriak Frieska, diapun
mengusap-usap kepalanya dan menoleh ke bawahnya ada bola bisbol yang bergulir
disana.
Frieskapun menoleh dan mendapati Elaine
telah berdiri. Ghaidapun tersenyum apalagi setelah menyadari bahwa tatapan
Elaine yang pernah menghancurkannya dulu, kembali dilihatnya.
“Harus berapa kali aku bilang?
Perasaan itu tidak bisa dipaksa!”
“Brengsek!!”
Frieskapun berlari ke arah Elaine
dan melayangkan tinjunya, namun tangannya berhasil ditangkap Elaine. Dan dengan
kekuatan dari bahunya, Elaine mengangkat tubuh Frieska dan membantingnya. Frieskapun
merintih kesakitan. Tanpa basa-basi, Elaine membangunkan Friesa, menyeretnya
dan mendorongnya ke lemari yang ada disana.
Frieska sempat melawan dan
berhasil memukul Elaine. Elainepun melakukan hal yang sama. Keduanya saling
memegangi kerah lawannya dan berputar-putar di ruangan itu. Namun, tenaga
Elaine lebih menang dan berhasil mendorong Frieska ke tembok. Dengan tangan
kirinyapun, Elaine memukuli tubuh Frieska berkali-kali.
Elaine lalu menarik wajah Frieska ke
bawah, dan dengan dengkulnya. Ia menendang wajah Frieska. Darahpun mengalir dan
keluar dari hidung Frieska. Tidak sampai disitu, Elaine menjambak dan menyeret
Frieska lagi dan melempar tubuhnya. Elaine lalu kembali mengambil tongkat
bisbol yang sudah berwarna merah darah, dari darah 3 orang.
“Dengan ini, semuanya selesai!!”
BUGH!!
Air liur bercampur darahpun keluar
dari mulut Frieska…
Klontang-klontang (?)
Begitulah bunyi tongkat bisbol
yang lepas dari genggaman tangan Elaine. Tubuh mungil itupun kembali kehilangan
tenaganya, beruntung Ghaida menangkapnya saat Elaine nyari terjatuh.
Pemandangan yang membuat Frieska yang melihatnya merasa miris.
“Tak usah pedulikan aku. Kak
Ghaida, Frieska selesaikan masalah kalian.”
“Tapi-”
“Selesaikan!”
Ghaida menghela nafasnya lalu membantu
Elaine untuk duduk dan menghampiri Frieska.
“Mpries.”
“Babang?”
“Maafin Babang kalau terkesannya
tidak tegas. Babang pernah bilang, kan? Dari dulu, Babang cuma menyukai Teteh. Maaf
kalau akhirnya seperti memberi harapan palsu dan menyakiti kamu. Tapi, dari
sebelum bertemu Teteh, kamu juga tahu kan kalau Babang gak pernah suka sama
kamu.” Air mata Frieskapun keluar, gadis itu menangis. “Babang mohon jangan
menangis karena Babang. Maaf kalau Babang gak akan pernah bisa membalas perasaan
kamu.”
“Bang, tapi cuman aku. Cuman aku
yang menyukai Babang. Teteh itu gak.”
“Babang tahu. Babang gak apa-apa
selama orang yang disukai Teteh lebih baik. Dan kamu juga, lebih baik mencari
seseorang yang lebih baik dari Babang.”
“Bang…”
“Sekarang berhentilah menangis.
Karena yang Babang tahu, seorang Frieska itu anak yang kuat.”
“Keluarlah. Bawa Elaine pergi dari
sini. Tinggalkan aku.”
“Eh? Kamu udah-”
“Aku udah gak apa-apa. Selamat
atas kemenanganmu Elaine. Aku memang gak ada apa-apanya.” Ghaida dan Elaine sempat
terdiam saling bertatapan. “Udah jangan kelamaan. Cepet pergi!” Ghaidapun
membantu Elaine untuk bangkit dan pergi dari situ.
5 menit berlalu, masih tiduran di
gudang itu, Frieska menangis. Sampai seseorang masuk ke dalam dan menjulurkan
tangan padanya.
“Bangun, Dek. Mau sampai kapan
tidur disini?”
“Te-Teteh?”
“Kamu hebat, Teteh tahu itu.
Terserah orang yang mau bilang apa. Tapi, kamu berada di Rappapa bukan karena
Teteh. Tapi, karena kekuatanmu sendiri.”
“Teh…”
“Sekarang ayo bangkit. Dan tunjukkan,
bahwa kau memang pantas berada di Rappapa.”
Dengan bantuan Melody, Frieskapun
bangkit dan kembali berdiri. Bersiap menghadapi kenyataan atas kekelahannya
atas semua yang telah terjadi…
~~~
Di ruangan Rappapa, Shania duduk sambil memainkan HPnya. Ruangan itu begitu sepi karena hanya ada dirinya dan Beby yang sedang menonton sesuatu di HPnya.
Di ruangan Rappapa, Shania duduk sambil memainkan HPnya. Ruangan itu begitu sepi karena hanya ada dirinya dan Beby yang sedang menonton sesuatu di HPnya.
“Frieska kalah. Berarti besok
giliran aku atau kamu. Mau aku atau kamu dulu?”
“Aaaa, yossha ikuzo! Taiga! Faiya!
Saiba! Faiba! Daiba-”
BRAK!!
“Eh! Mampus lu HP gw jatoh!” Kaget
Beby karena HPnya jatuh. Dijatuhkan Shania.
“BEBY!!!!”
“I-Iya, Nju. Gak usah
teriak-teriak, sih!”
“Habisnya Beby gak dengerin aku.”
“Dengerin kok dengerin. Kamu aja
duluan, tuh udah.”
“Ohh gitu? Oke. Huh.” Shaniapun
bangkit dan meninggalkan Beby seorang diri.
“Ehh? Apaan sih? Nju kok ninggalin
Beby?! Nju!! Errr betewe… duluan apaan, ya?” Tanya Beby pada dirinya sendiri
sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Au, ah. Nju!!” Bebypun lalu
berlari mengejar Shania…
TBC
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nah! Udah pada tahu kan kalau
Hamids meninggal? Hehehe maaf ya yang ngarep GreMids lebih disini :’) maaf
banget.
Nanti gw bikin side storynya
khusus waktu kejadian Hamids meninggal kok. Ditunggu aja ya!
Next: Bebek dan Bebeb, mereka kembar? Jadi, Beby atau Shania dulu? 2 vs
2 lebih adil.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih telah membaca. Ditunggu komennya :)
Sankyuu~~ m(__)m
-Jurimayu14-
Jangan sampe pensiun thor :'v
ReplyDeleteJujur lo inspirasi wa untuk ngarang ff juga
my motivator gitu deh *azekkkk*
kenapa malah gesrek pas bagian beby sama nju marahan -.- pas bagian akhir malah ckck
ReplyDeleteweeeh mantap
ReplyDeleteJangan pensiun kak rui~
ReplyDeleteGimana para readers kalo lo pensiun
kreatifstoryjkt48.blogspot.com